Rakyat kecil di pedesaan kita sampai hari ini dalam kehidupan yang serba sederhana, masih dapat melanjutkan kehidupan dengan berbagai jalan. Jalan kehidupan mereka, pertama-tama telah diambil dengan cara memanfaatkan alam di sekitar mereka. Sungguhpun begitu, cara mereka mengolah alam, bukanlah dengan teknologi yang rumit dan serakah, yang hasilnya mengubah wajah alam di tempat itu dalam masa yang singkat, sehingga dapat menggoncangkan sumber-sumber kehidupan secara mendadak.
Rakyat kecil di pedesaan, meskipun juga mempunyai tindakan yang merusak wajah alam, namun hal itu benar-benar hanya karena sudah tak ada pilihan lain: hidup dengan cara merusak satu dua wajah alam atau mati karena tak punya alternatif lain untuk hidup. Karena itu, suatu sekrup alam yang rusak oleh rakyat kecil, kebanyakan tidak begitu menggemparkan. Tindakan mereka masih dekat dengan kemampuan-kemampuan potensi alam, untuk memulihkannya.
Satu di antara cara hidup rakyat kecil yang langsung mengambil nafkah dari alam ialah pekerjaan membuat atap daun rumbia. Pekerjaan serupa itu banyak dilakukan oleh kalangan perempuan tua berumur lima puluhan, di daerah pedesaan Provinsi Riau, terutama oleh penduduk suku Melayu di perkampungan di sepanjang Sungai Kuantan, Kampar, dan Siak. Pekerjaan membuat atap daun rumbia sering disebut maanggik atok, sedangkan orang yang mempunyai mata pencaharian dengan pekerjaan tersebut disebut tukang anggik atok.
Ada tiga macam bahan yang diambil dari alam, unntuk pekerjaan membuat atap rumbia, yaitu daun rumbia, buluh (bambu) dan resam. Daun rumbia yang sudah tua merupakan bahan utama. Resam (juga yang sudah tua) dipergunakan untuk penjalin daun rumbia, sehingga tersusun rapi, dan terikat kokoh kepada buluh yang dipakai sebagai bingkai atau pola.
Buluh yang akan dipergunakan, lebih dahulu dikeping-keping, kemudian dibelah menurut ukuran panjang dan tebal yang diperlukan. Biasanya dipotong dengan ukuran sepanjang satu setengah meter. Tiap satu helai atap rumbia memakai dua potong buluh untuk bingkai. Buluh bingkai itu disebut mengkawan, sehingga satu helai atap disebut juga satu mengkawan atap.
Pada tahun 1980, seorang tukang anggik atap dapat membuat atau maanggik atap sekitar 50 mengkawan dalam sehari. Ini berarti, jika satu mengkawan dapat laku seharga Rp60,-, dia akan mempunyai penghasilan sekitar Rp3.000,- sehari. Penghasilan sebanyak Rp3.000,- sehari, atau dihitung dalam sebulan menjadi sekitar Rp90.000,- akan tampak sebagai penghasilan yang cukup memadai bagi seorang wirausaha di desa.
Jika pendapatan itu dapat berjalan lancar, maka dengan mata pencaharian ini, seorang suri rumahtangga dan suaminya, akan mempunyai kehidupan yang mencukupi. Jika kita masih memakai kata ‘’kalau’’, maka Si Tukang Anggik Atok itu kalau penghasilannya berjalan lancar, akan dapat membuat rumah sederhana dalam masa sekitar 10 tahun, dan dapat menyekolahkan anaknya sampai ke tingkat sekolah menengah atas (di kota kecamatan) sekitar dua tiga orang.
Tetapi sungguhpun begitu, realitas kehidupan tidak selalu serupa dengan kenyataan hitungan di atas kertas. Penghasilan Rp90.000,- sebulan, bukanlah hasil dari suatu hitungan yang pasti. Itu belum tentu suatu penghasilan yang bersih. Kebanyakan tukang anggik atap, tidak mempunyai sumber alam yang diperlukan.
Banyak di antara mereka tidak mempunyai pohon rumbia, sehingga harus membeli daun yang akan dianggik. Atau terpaksa bagi hasil. Dalam hal ini –jika daun rumbia dibeli— satu mengkawan atap memerlukan ongkos Rp25,- untuk pembeli daun rumbia. Masih ada lagi yang lain. Buluh untuk bingkai kadangkala juga terpaksa dibeli. Satu batang buluh pada tahun 1980 beharga sekitar Rp500,-, sedangkan untuk satu lembar atap diperkirakan memerlukan buluh bingkai seharga Rp10,-.
Jika resam penjalin dapat diambil ke hutan, tanpa memakan biaya (dalam pengertian tidak dibeli), maka seorang tukang anggik atap hanya akan memperoleh penghasilan sekitar Rp25,- dalam selembar atap. Itu dapat berarti sekitar Rp1.250,- sehari atau sekitar Rp37.500,- sebulan.
Walaupun demikian, jika pasaran berjalan lancar, pendapatan yang tipis serupa itu, tetap menjadi tulang punggung kehidupan, bagi seorang wirausaha lemah di pedesaan. Tulang punggung kehidupan mereka, benar-benar akan patah, ketika suasana pasar semakin sepi, dan para konsumen makin banyak yang lari, pergi membeli atap seng atau jenis atap lainnya yang diproduksi secara massal. Sementara itu, cacing dalam perut mereka semakin ribut, memberi peringatan, betapa kehidupan telah terancam.***