Seulas Pinang :
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bertepatan peringatan Isra’ Mi’raj, Sabtu 27 Rajab 1431 H/27 Apam 1431/10 Juli 2010 M, mulai hari ini saya postingkan surat-surat Bapak UU Hamidy kepada saya sejak 1403 H/1983 M sampai dengan 1429 H/2008 M. Walaupun surat-surat itu pernah berlumur-lumpur ie beuna/tsunami, 26 Desember 2004. Tetapi setelah saya jemur berhari-hari, terselamatlah dia.
Dalam surat-surat itu, beliau telah memompa semangat kreativitas saya begitu rupa; seolah-olah buat melahirkan UU Hamidy kedua di Tanah Aceh. Tapi apa hendak dikata, balon pikiran saya yang dengan susah payah dipompa beliau ternyata selalu kempes; bahkan meletus! Kalau UU Hamidy telah mewujudkan lebih 50 buku tentang dunia Melayu, saya sendiri belum satu buku pun–yang pantas disebut buku–dapat saya tuliskan tentang Aceh.
Karena itulah, tergerak batin saya buat mempostingkan semua surat beliau ke dalam blog https://tambeh.wordpress.com/. Bila ditapis segala yang menyangkut pribadi saya, isi surat itu cukup bermakna bagi mendorong kreativitas siapa saja yang berniat menjadi ilmuwan, budayawan atau sastrawan ulung. Ketik ulang surat-surat ini banyak dibantu oleh ketiga anak saya, terutama yang bungsu. Selamat membaca! Wassalam, TA Sakti.
Pekanbaru, 4 Ramadhan 1403
16 Juni 1983
Bung TA Sakti yang baik,
Saya telah membaca surat Bung tiga hari sebelum saya menulis surat ini. Surat Bung memberi pertanda kepada saya bahwa Bung merupakan seorang intelektual yang mempunyai suatu garis dalam disiplin yang Anda pelajari. Saya menghargai pandangan yang serupa itu dan pada hemat saya semestinya seorang yang mau mempunyai predikat ilmuwan, mestilah memandang sejarah demikian.
Pertama-tama, kita harus jujur kepada sejarah, inilah yang sering diabaikan, yaitu kejujuran intelektual. Yang kedua, kita mempunyai moral dalam tindak ilmiah kita, yang sebenarnya inilah yang disebut moral akademis. Namun sementara itu, ilmuwan di negara kita (jika masih dapat disebut demikian) telah lama keracunan pengaruh berbagai ideologi, sehingga memandang suatu objek ilmu, selalu tidak dengan jujur, tetapi dengan mata sentimen.
Kedudukan kebudayaan Melayu di Indonesia, secara historis telah terbukti demikian rupa sebagai satu kebudayaan yang kokoh. Oleh sifatnya yang moderat demikian rupa, dia telah menjadi kebudayaan yang modern, bergerak dari nafas Animisme kepada Hindu Buddha, kemudian melejit dengan baik dalam nafas Islam.
Pada tangga modernisasi yang terakhir itu, budaya Melayu telah melahirkan orang-orang terkemuka dalam dunia Melayu dan sekaligus membina semangat nasionalisme di sepanjang kawasan Nusantara. Bersamaan dengan itu, maka budaya Melayu telah meluas demikian rupa dalam horison yang amat meyakinkan, mulai dari pulau-pulau di lautan Hindia terus ke pulau-pulau di Pasifik dan ke Utara paling kurang berawal dari Pattani Thailand dan terakhir di Selatan pada Pulau Cocos pada pertemuan Samudera Hindia dengan Pasifik.
Apakah atas segalanya itu dalam pandangan Bung? Apa yang Bung kemukakan, sebagian besar merupakan jalan sejarah yang telah terjadi hingga akhir abad ini. Namun berbalik kepada ketidakjujuran intelektual hari ini, orang mau mencoba mengisar arah ‘sampan’ kebudayaan Melayu kepada orientasi lain, yang bukan berakar lagi pada identitasnya.
Dalam masalah bahasa, saya telah pernah menurunkan tulisan di Merdeka tanggal 2 Juni 1982, bagaimana bahasa Indonesia seyogianya kembali dibina dengan akar-akar bahasa Melayu (di Riau, Sumatera pesisir timur dan Minangkabau, Semenanjung Malaya, dan sebagainya) tidak dibuatkan suatu identitas begitu saja, atas acuan bahasa lain. Namun apa jawab Pusat Pembinaan? Tak ada satu jawaban pun tentang itu, padahal Merdeka langsung memberikan subtitel: untuk Pusat Pembinaan Bahasa.
Apa yang kita lihat hari ini–dan Bung tentu jauh lebih arif dari saya–ialah persaingan atau kompetisi antar budaya daerah di Indonesia, di mana satu dua budaya mencoba mendapatkan monopoli pada media massa, termasuk televisi dan penerbitan. Ini tidaklah akan membuahkan budaya nasional Indonesia, yang rangkanya saja belum tampak sampai hari ini. Ini akan menjadi pangkal perbantahan kemudian hari pada generasi kita dan itu merupakan tanggung jawab kita untuk berbuat hari ini.
Lalu tampaknya, Bung merupakan orang muda yang cukup merasa bertanggung jawab dalam hal itu. Meskipun demikian, kita tentu tidaklah akan hadir ke depan dengan penuh rasa sentimen atau penuh emosi, dalam usaha melihat jejak sejarah yang sebenarnya dalam hal kebudayaan.
Kita tentu pertama-tama hanya memberitahukan, bahwa identitas Indonesia semestinya dibangun dari kadar tanah airnya. Sedangkan satu di antara tanah air budaya Indonesia itu, yang telah begitu lama mengendap dalam tubuhnya sehingga dirasakan milik nasional hari ini, adalah akar-akar budaya Melayu. Lalu jika benar demikian, mengapa kita mau meruntuhkan kembali sesuatu yang telah kita punyai?
Satu di antara sifat umum orang Melayu (Melayu dalam pengertian luas, yaitu penduduk Nusantara pendukung bahasa Melayu-Polinesia) ialah tingkat emosinya yang tinggi, hal mana menyebabkan peranan pikiran kadangkala lebih tipis dari peranan perasaan dalam melakukan perbuatan dan tindakan. Ini juga satu hal, di mana begitu mereka tergoda sedikit saja, bisa terjadi perubahan dalam garis-garis pandangan hidup mereka.
Bung, saya memang agaknya seorang di antara yang merasa bertanggung jawab dalam hal menggali, merekonstruksi dan mengumpulkan kembali berbagai rupa budaya dan tradisi Melayu, yang sebagian sudah punah, sebagian diancam kerusakan dan sebagian dalam keadaan bertahan begitu rupa menghadapi arus dan cabaran. Tapi saya juga bukanlah seorang yang ambisi. Saya tetaplah berbuat dalam batas-batas yang patut saya lakukan, terutama dalam hal yang dapat menjadi sebagai amal ibadah saya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, semenjak tahun 1973 saya telah melakukan berbagai penelitian, yang hasilnya sebagian telah diterbitkan dan sebagian belum. Usaha itu secara keseluruhan ialah:
1973, Sejarah Sosial Bahasa Melayu Riau (terbit 1973, cetak ulang 1981)
1974, Cerita Rakyat Aceh (terbit tahun 1977 dalam bentuk kumpulan khas penelitian)
1975, Kesenian Jalur di Kuantan Riau (hasil penelitian untuk LBN, Jakarta)
1976, Sastra Melayu Abad 19 (terbit 1981 oleh Pusat Pembinaan Bahasa) dengan judul Pengarang Melayu dalam Kerajaan Riau
1977, Geografi Budaya Daerah Riau (hasil penelitian untuk Dirjen Kebudayaan)
1977, Komunikasi Pedesaan (hasil penelitian dengan kerja sama LSPK UGM (Peranan Cerita Rakyat dalam Komunikasi di Desa)
1978-1980, Randai dalam Kehidupan Masyarakat Melayu Riau (tesis MA pada Fakulti Sastra dan Sains Sosial, Universiti Malaya, Kuala Lumpur)
1981, Peranan Suku Banjar di Inderagiri Hilir, Riau (hasil penelitian)
1982, Dukun Rantau Kuantan (hasil penelitian yang belum terbit)
1982, Naskah Kuno Daerah Riau (belum diterbitkan, naskah 180 halaman)
1981, Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu (Bumi Pustaka Pekanbaru Jalan Pelajar 157, cetakan kedua 1983 sudah terbit dan beredar @ Rp2.500)
1981, Sikap Orang Melayu Terhadap Tradisinya (idem, cetak ulang 1982 oleh Biro Kesra Kantor Gubernur Riau) harga Rp2.000 (tapi mungkin sudah habis)
1982, Agama dan Kehidupan dalam Cerita Rakyat (idem, harga juga Rp2.000 tapi mungkin juga telah habis)
Sistem Nilai Masyarakat Pedesaan di Riau (idem, mungkin juga hampir habis, harga Rp2.500)
Kedudukan Kebudayaan Melayu di Riau (idem, cetak ulang tahun itu juga oleh kantor Gubernur Riau, untuk buku hadiah pada sekolah-sekolah)
1983, Pembahasan Karya Fiksi dan Puisi (idem, harga Rp2.500, masih beredar)
Insya Allah akan menyusul: Tradisi Kepenyairan di Indonesia
Menyangkut masalah objek kajian Bung, saya dapat menyebutkan Syair Perjalanan Sultan Mahmud dari Lingga ke Johor, dapat Bung jadikan sebagai bahan. Syair ini ada di Museum Pusat dengan kode V.d.W 274. Begitulah dahulu, semoga hasrat Bung akan berkembang dan mendapat jalan yang lapang serta hasil yang bermanfaat.
Selamat berpuasa
Wassalam
UU Hamidy
Bilik Kreatif dan Sains Sosial
Universitas Riau Pekanbaru