Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana menciptakan manusia dari setetes air yang hina untuk mengujinya dengan perintah dan larangan. Untuk melaksanakan perintah dan larangan, Allah Yang Maha Kuasa menurunkan Al Quran kepada Junjungan Alam Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam menyampaikan Al Quran kepada para sahabat dengan as-Sunnah sehingga para sahabat menjadi generasi umat manusia yang terbaik di muka bumi.
Para sahabat hidup dengan panduan Al Quran dan as-Sunnah, memakai Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan mulai dari pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Maka Islam menampilkan suatu negara yang terhormat dan disegani sehingga adidaya dunia Romawi dan Persia ditaklukkan, terbebas dari jahiliyah yang tidak bertauhid kepada Allah Yang Maha Esa.
Marilah kita lihat kebesaran Allah dalam gambaran sederhana kehidupan orang Melayu melalui rumah dan kampungnya sebagai potret jejak langkah kenang-kenangan masa silam. Perkampungan orang Melayu sampai tahun 1950-an terdiri dari lebuh (jalan sepanjang kampung) mengikuti aliran sungai. Sebab sungai menjadi sarana perhubungan lalu-lintas orang dan barang.
Orang Melayu membuat rumah menghadap ke lebuh sedangkan antara rumah dengan lebuh terdapatlah halaman atau pekarangan yang bersifat serba guna. Di sekitar rumah ada tanah yang disebut parolak (ingat kata ‘’perlak’’ dipakai sebagai nama kerajaan di Aceh). Di parolak ini ditanam berbagai tumbuhan seperti kelapa, buah-buahan, pisang, pakis yang tumbuh sendiri serta tanaman obat yang tumbuh di tepi halaman.
Rumah orang Melayu yang terbuat dari kayu memakai kayu pilihan untuk tiang, gelegar dan peran, yakni kayu kulim dan kuras. Dinding dan lantainya pakai papan dari kayu medang dan mentangur. Rumah ini punya tiga bagian utama yaitu rumah, lebuh kuda (sulur pandan), dan dapur.
Lebuh kuda menghubungkan rumah dengan dapur. Disebut lebuh kuda sebab lebarnya hanya sebatas kuda berlabuh (lewat) lebih kurang satu setengah meter. Kiri kanan lebuh kuda digunakan untuk meletakkan piring mangkuk yang dipakai sehari-hari.
Rumah itu paling kurang punya satu bilik tidur. Di situ ada katil/katir (ranjang kayu atau semacam dipan), lapik serta kasur dan bantal. Di depan bilik ada ponte (pentas) tempat berhias. Ponte ini dapat ditutup dan dibuka seperti layar pada pentas pertunjukan. Di situ ada almari pakaian dan cermin pada almari yang akan berguna untuk berhias. Waktu berhias, ponte ditutup, setelah selesai, ponte dibuka. Inilah asal kata ‘’pentas’’ dalam bahasa Indonesia.
Di dapur yang utama adalah kungkung. Kungkung adalah tempat memasak pakai kayu. Kungkung terbuat dari papan, panjang lebih kurang satu setengah meter dan lebar 1 meter. Dasarnya juga dari papan. Sedangkan tinggi tanah dalam kungkung lebih kurang setinggi kepingan papan, kita-kira 30 Cm.
Di atas tanah dalam kungkung itulah dipasang tungku yang tahan api seperti besi dan batu. Kungkung dapat dibuat pada lantai dapur. Tapi lebih baik diberi empat tiang sehingga orang memasak berada dalam posisi yang kreatif. Di atas kungkung dibuat selayan, tempat menyalai ikan dan mengeringkan makanan. Di selayan itu juga tempat memeram pisang serta meletakkan gula enau agar selalu segar, tidak mengulang (mencair).
Karena kungkung ini tak dapat dipindahkan ke mana-mana, atau karena tanah dalam kungkung itu tak dapat tertumpah ke luar, maka inilah asal kata ‘’terkungkung’’ yang dipakai dalam bahasa Indonesia. Kungkung juga amat diperlukan tempat kucing membuang kotorannya. Sebab abu kungkung dapat dengan mudah dipakai kucing untuk menimbun kotorannya sehingga menghilangkan bau busuknya.
Rumah dan dapur masing-masing punya tangga. Pada tangga rumah ada pelantar tempat meletakkan alas kaki. Di kiri atau kanan tangga ada tersedia tukil dari buluh untuk menyimpan air pembasuh kaki sebelum naik ke rumah. Jika tangga rumah itu tangga batu biasanya akan tersedia kulah tempat menampung air hujan. Digunakan untuk berwudhuk dan cuci kaki. Kaum kerabat dan teman akrab dapat datang melalui tangga rumah dan tangga dapur. Sedangkan para tamu akan datang melalui tangga rumah.
Jika anak perempuan yang tua sudah menikah maka bilik rumah akan dipakai oleh anak dan menantunya itu. Jika tidak ada lagi bilik lain, orangtua itu akan pindah tidur ke dapur. Itulah sebabnya dapur Melayu tempo dulu cukup besar. Sebab di situ dapat lagi dipakai tempat tidur.
Di atas tempat tidur di dapur itu ada salang (semacam loteng terbuat dari papan) untuk menyimpan tikar (lapik), bakul, kembut serta alat penangkap ikan seperti jala, posok, sarokok, ambung dan sebagainya. Pindahnya orangtua tidur ke dapur menjadi tamsil pula pindahnya kemudi rumah tangga kepada menantunya.
Perkampungan Melayu sepanjang daerah aliran sungai itu biasanya terdiri dari beberapa gugus. Tiap gugus biasanya menempati tanah ulayat pesukuannya serta mempunyai satu surau. Di surau itu berlaku shalat berjamaah Maghrib dan Isya. Selesai Maghrib, budak-budak Melayu belajar mengaji Al Quran sampai masuk Isya.
Malam hari, surau itu dipakai lagi tempat tidur anak bujang sehingga dia terpisah tempat tidurnya dengan saudara perempuannya. Di surau ini, dapat juga tidur para lelaki yang bermasalah dnegan isterinya sehingga dapat peluang menenteramkan hatinya. Juga orang tua-tua yang lanjut usia dapat tidur di surau sambil memberikan pelajaran berbagai pengalaman hidup kepada anak bujang itu.
Pada tiap pekan, yakni hari pasar yang diadakan sekali dalam seminggu, pergilah perempuan Melayu belanja ke pasar. Suaminya mungkin juga ikut berjualan ke pasar. Mereka menjual ikan salai, gula enau, kelapa, pisang, serta buah-buahan yang sedang musim.
Rumah Melayu yang merupakan rumah panggung itu di bawah gelegarnya akan jadi reban ayam dan itik. Kalau mereka pelihara kambing dan jawi (sapi) mereka buatkan kandangnya tidak jauh dari rumah. Sementara kerbau dibuatkan kandangnya secara khusus pada suatu tempat karena akan digembalakan dengan bergiliran tiap musim menanam padi.
Di bawah rumah ini juga diletakkan perahu dan pengayuh, lesung dan antan untuk menumbuk padi serta sapu sarok (penyapu halaman). Halaman disapu tiap petang hari oleh anak perempuan. Pada halaman rumah sering dibuat balai-balai terdiri dari buluh. Inilah tempat bermain anak-anak sambil bonti ponek (istirahat).
Pada malam hari, ketika cuaca terang bulan, mereka sering duduk di balai-balai itu. Mereka mungkin memandang bulan dengan awan yang berlalu. Sambil barangkali mengenang masa silam yang sudah jauh berlalu serta mengingat k e m a t i a n yang akan tiba.***