Perjalanan nasib daerah Riau perlu dibentangkan kepada khalayak, terutama kepada budak-budak Melayu sebagai pewaris tradisional daerah ini, agar mereka punya pemahaman yang jernih tentang duduk perkara yang sebenarnya. Indonesia merdeka yang direbut dengan darah dan air mata dalam persaudaraan beragam suku, ternyata setelah merdeka jatuh pada penjajahan elit bangsa sendiri. Mulai dari pemerintahan Soekarno, berlanjut dengan pemerintahan Soeharto yang ditaja Golkar, selama 30 tahun lebih, sumber-sumber kekayaan Tanah Air tak mampu memberikan kesejahteraan pada rakyat.
Yang terjadi ialah, negara jatuh bangkrut oleh hutang dan korupsi, sedangkan sumber-sumber kekayaan terkuras dan binasa. Indonesia telah gagal berbangsa dan bernegara, karena negara dan bangsa dibiarkan bagaikan belantara tanpa hukum. Siapa yang berkuasa, kuat, cerdik dan bagak, dialah yang menikmati kekayaan Tanah Air ini. Orang Melayu di Riau yang memelihara harga diri takkan mendapatkan apa-apa. Meskipun sumber kekayaan itu berada di daerahnya sendiri.
Masyarakat adat puak Melayu di Riau lumpuh, berhadapan dengan permainan curang para pejabat, elit partai, kaki tangan pemerintah, pemilik modal dan sejumlah orang bagak yang bekerja sama mempermainkan hukum. Riau disadap darah dan nafasnya, sehingga hidup terlunta-lunta. Padahal leluhurnya meninggalkan kekayaan alam yang melimpah. Kehadiran reformasi yang ditandai dengan pemerintahan Abdurrahman Wahid, juga tak mampu memperbaiki bangsa dan negara yang sudah terpuruk. Ini terjadi karena pemegang teraju negara dan bangsa masih bermental Orde Baru, yang bila diberi kekuasaan bertindak zalim.
Mereka tidak bisa disebut pemimpin, tapi hanya elit politik. Sebab, bila mereka mencapai kedudukan, bukan hendak meninggalkan jasa baik, tetapi mencari kekayaan sebanyak mungkin. Sementara itu muncul otonomi daerah yang sepintas lalu memberi angin segar kepada daerah seperti Riau. Tapi kenyataannya, otonomi bukan atas kesadaran memberi peluang pada daerah untuk memberikan kesejahteraan pada rakyatnya. Otonomi daerah diberikan atas dasar pertimbangan siasat. Pemerintah Pusat khawatir, Indonesia akan bubar, karena daerah yang selama ini jadi sapi perahan seperti Riau, Aceh, Kalimantan Timur dan Papua akan memisahkan diri.
Siasat itu menjadi jelas, setelah daerah yang berani melawan Pemerintah Pusat seperti Aceh dan Papua mendapat otonomi khusus, suatu status istimewa. Sedangkan Riau dengan penduduk tradisional Melayu selalu dipermainkan, sehingga tidak berhasil mendapatkan kesejahteraan dari sumber kekayaannya. Ini harus disadari, bukan hanya oleh puak Melayu sebagai pewaris tradisional daerah ini, tetapi juga oleh perantau yang telah berazam menjadikan Riau sebagai kampung halamannya. Sebagai bumi Allah, siapa saja tentu boleh mencari kehidupan ke Riau. Tapi demi kesejahteraan bersama, tentu seyogianya perantau itu tidak sampai melumpuhkan potensi puak Melayu di rantau ini.
Beberapa hal yang dibentangkan dalam buku ini: ” Rentangan Kehidupan Orang Melayu di Riau”, ”Dimensi Gender dalam Tradisi Melayu Riau”, ”Pola Jodoh dan Nikah Kawin dalam Tradisi Melayu di Riau”, ”Riau sebagai Padang Perburuan”, ”Riau Kini (Orde Baru-Reformasi)”, ”Bayangan Masa Depan” serta masih banyak lagi.