Paling kurang ada dua ketegangan dalam kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini. Pertama, ketegangan tentang reformasi. Kedua, ketegangan tentang kenyataan hidup bangsa Indonesia itu sendiri. Reformasi berembus dengan kencang sejak tahun 2000-an, yakni setelah tumbangnya rezim Orde Baru yang pernah berkuasa tidak kurang dari 30 tahun. Reformasi pada awalnya terkesan mempesona menarik hati rakyat, karena akan memberikan angin segar bagi kehidupan, memberi keterbukaan, kebebasan berpendapat serta memperjuangkan nasib. Semua keadaan ini pada masa Orde Baru dikatakan telah dibungkam. Dengan reformasi Indonesia dipandang akan kembali pada posisi demokrasi yang memberikan kran kebebasan pada rakyat. Di ujung jalan demokrasi terbayang kehidupan yang sejahtera. Karena itu rakyat bersedia bahu-membahu menumbangkan akar tunggang Orde Baru — yang dulu pada awalnya juga memakai semboyan demokrasi. Setelah itu rakyat tumpah-ruah berjejal-jejal memberikan suara pada berbagai Pemilu dan Pemilukada, yang disebut sebagai pesta demokrasi.
Sampai masa kini, reformasi telah berjalan lebih dari 10 tahun. Rakyat Indonesia sudah bebas mendirikan partai, bebas pula memilih dalam tiap Pemilu dan Pemilukada, bebas pula menyatakan pendapatnya. Bahkan banyak lagi kebebasan lainnya yang malah telah mendatangkan bencana. Sungguhpun begitu, cobalah secara jujur menimbang bagaimana hasil reformasi ini dibandingkan dengan keadaan Orde Baru sekitar 30 tahun yang silam. Kita harus jujur melihat kenyataan secara obyektif, bagaimana nilai perubahan yang terjadi bagi kesejahteraan hidup rakyat. Terhadap hal itu cukuplah dipakai indikator yang jelas-jelas saja di antaranya: angka kemiskinan, nilai pendapatan rakyat, keadaan sumber alam, keadilan hukum dan hutang negara.
Pemerintah mengakui angka kemiskinan telah turun begitu kentara, tinggal lagi 13,3 persen atau sekitar 31,9 juta jiwa lagi rakyat yang miskin. Batas kemiskinan adalah orang yang punya penghasilan Rp211.726,- per kapita per bulan dengan perkiraan tiap jiwa punya kebutuhan pokok Rp5.500,- tiap hari. Kalau nilai pendapatan ini dihubungkan dengan kenyataan harga-harga yang selalu bergerak naik, maka makanan yang bagaimana yang hanya dapat diperoleh (dibeli) dengan uang sebanyak itu? Kalau tiap orang makan tiga kali sehari, hanya apa yang dapat dibeli dengan uang lebih kurang Rp2.000,- untuk sekali makan? Dari keadaan ini, tidak heran jika rakyat masih terpaksa makan tiwul, walau sudah merdeka 65 tahun.
Pengakuan pemerintah tentang jumlah orang miskin 31,9 juta jiwa itu dengan mudah dapat ditandingi oleh data Jamkesmas (dulu Askeskin) sebanyak 76,4 juta jiwa tahun ini. Jumlah rumahtangga miskin 17,5 juta kepala keluarga atau sekitar 77 juta jiwa. Sementara perkiraan jumlah rakyat miskin Indonesia oleh Bank Dunia mencapai sekitar 100 juta jiwa, dengan dasar penghasilan 2 dolar AS sehari. Di seberang kenyataan orang miskin ini, yang jadi kenyataan lagi ialah 10 persen orang kaya Indonesia menghuntal 65,4 persen kekayaan Indonesia. Dengan kata lain 2 persen penduduk terkaya Indonesia menguasai 46 persen aset nasional. Kalau demikian halnya, reformasi memang telah berhasil mendongkrak jumlah orang kaya di Indonesia.
Selanjutnya, kekayaan sumber alam kita, ternyata juga tak begitu berperanan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat kecil. Lihatlah contoh kecil tentang bahan bakar minyak saja, seperti minyak tanah dan bensin. Di samping harganya mahal, betapa seringnya bahan bakar ini jadi langka, sehingga memberikan pukulan teruk pada ekonomi rakyat miskin. Ini terjadi karena reformasi memberi jalan lapang bagi pemilik modal dan penguasa untuk mengeruk kekayaan alam kita. Pemegang teraju pemerintahan dengan mudah menjual kekayaan alam ini melalui undang-undang yang menguntungkan pihak kapitalis. Diperkirakan hasil kekayaan alam kita yang dikeruk oleh mereka mencapai 1.655 miliar dolar AS atau setara dengan Rp17 ribu triliun tiap tahun. Beriringan dengan itu, kalau pemerintah kekurangan dana, maka muncullah akal menaikkan harga BBM serta membatasi subsidi atau menambah hutang luar negeri. Ini semua berujung pada mencekik rakyat miskin. Sementara gaji para pejabat dan anggota Dewan selalu naik berlipat dengan berbagai kemudahan. Tak pernah terpikir di negara ini bagaimana mengelola sumber-sumber alam dengan hati-hati serta hidup hemat, demi kesejahteraan yang berkelanjutan.
Kemudian perhatikanlah hukum dan keadilan yang punya hubungan erat dengan hutang negara, yang berimbas juga kepada nasib rakyat. Keadilan kita berpijak pada hukum buatan manusia. Ironinya, sudah dibuat menurut hawa nafsu, tetapi celakanya dipakai pula dengan dipermainkan. Maka lihatlah hasilnya. Timbul mafia di mana-mana, pada semua sektor kehidupan. Pemerintah tak berdaya menumpas mafia dan korupsi ini, sebab kaki tangannya terlibat dalam kejahatan itu. Partai-partai yang duduk di DPR juga tak mampu mengoreksi pemerintah sebab tiap partai ternyata punya aib pula. Jika partai A hendak membuka kejahatan pejabat pemerintah dari partai B, maka partai B akan membalas pula dengan membuka aib pejabat partai A. Jadi, mau kemana negara yang sudah terbelenggu seperti itu.
Akibatnya, muncul lagi suatu kenyataan kehidupan bangsa Indonesia. Sang mafia semakin gendut rekeningnya, sementara hutang negara semakin besar menghimpit, sehingga kesejahteraan rakyat makin jauh panggang dari bara api. Koruptor yang sudah kaya raya dapat hidup mewah di penjara, sebab segalanya dapat dibayar. Tidak lama kemudian mereka bebas karena begitu banyak mendapat remisi, sebab mereka dipandang telah dizalimi. Maka keadilan jadi ilusi. Kesejahteraan rakyat jadi fatamorgana. Segala daya upaya dan tindakan jadi percuma. Tiada bekas bagaikan debu ditiup angin. Keadaan itu terbingkai dalam pepatah Melayu ‘’arang habis besi binasa’’.***
Dimuat di Harian Riau Pos, 4 Mei 2011