Allah Swt memerintahkan umat manusia setelah beribadah salat carilah rezki yang telah ditebarkan-Nya di muka bumi. Jadi, rezki dari Allah Swt itu sangat banyak, berada di mana-mana, karena Allah memang telah menjamin semua rezki segala makhluk. Umat manusia tinggal berusaha atau ikhtiar untuk menemukan rezkinya masing-masing. Sungguhpun begitu, tidak mudah umat manusia mendapatkan rezkinya. Kesulitan itu terjadi, karena umat manusia banyak yang membangkang. Tidak mau memakai hukum dari Allah Yang Maha Adil, lebih suka memakai hukum buatan manusia yang mudah dipermainkan.
Peta kehidupan umat manusia abad ini dapat dibagi 4 bagian besar, yakni penguasa (pejabat) pengusaha (pemilik modal) pemegang senjata (alat negara) dan rakyat. Demokrasi buatan manusia telah membuat semacam pembagian tugas. Penguasa mengendalikan teraju pemerintahan, pemilik modal membuat bermacam barang. Pemegang senjata menjaga keamanan. Sedangkan rakyat mendapat perlindungan atau pemeliharaan.
Sepintas lalu peta kehidupan tersebut cukup bagus. Begitulah kira-kira gambaran kehidupan dalam demokrasi, sehingga dunia telah terpukau oleh sistem ini. Tetapi karena demokrasi hanya bersandar pada logika akal manusia tidak mau tunduk kepada wahyu Allah, maka gambaran itu hanya menjadi angan-angan dalam kehidupan rakyat jelata. Mengapa hal ini terjadi, dapat diterangkan dari beberapa perkara. Pertama, segala undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh sistem demokrasi, tidak ada jaminan akan keselamatan. Apalagi keselamatan dunia akhirat. Berbeda dengan Syariah Islam dijamin oleh Allah mendatangkan kesejahteraan baik di dunia, apalagi akhirat. Hukum buatan demokrasi sekuler, hanya membuat orang takut kepada manusia, bukan kepada Allah Yang Maha Perkasa.
Perkara kedua, demokrasi punya watak memihak kepada yang dominan (berkuasa) bukan kepada yang benar. Karena itu demokrasi selalu tampil dengan wajah koalisi. Membentuk kekuatan bersama, bukan membentuk keadilan dan kebenaran. Anggota atau partai koalisi dipandang teman, yang diluar koalisi dipandang lawan. Dengan demikian, sebenarnya demokrasi itu bersifat agresif, sebab koalisi diarahkan kepada pihak lawan. Setelah koalisi terbentuk, segala kebijakannya dipandang benar, meskipun menyimpang dari aturan yang telah dibuat.
Peta kehidupan yang dirancang demokrasi tadi segera berubah bagaikan metamorfosa. Tiga pihak pertama penguasa, pengusaha (kapitalis) dan pemegang senjata telah membentuk semacam koalisi pula. Dalam koalisi itu mereka punya ketergantungan yang saling menguntungkan secara materi. Koalisi ini memang tidak dibentuk secara formal, seperti koalisi partai yang diumumkan kepada publik. Koalisi lapis kedua ini terjadi di belakang layar. Tinggallah rakyat jelata di luar koalisi. Dengan demikian, peta kehidupan menjadi tiga lawan satu.
Kemudian terjadilah pertarungan tiga lawan satu memperebutkan sumber kehidupan. Tiga pihak yang pertama telah membuat kerjasama yang rapi. Penguasa membuat berbagai kebijakan yang memudahkan pemilik modal menguasai sumber-sumber alam. Pemegang senjata memberikan penjagaan atau keamanan. Maka sang kapitalis membalas jasa kepada penguasa dan pemegang senjata berupa materi dan jasa. Pada zahirnya, sang kapitalis membalas budi, pada hakekatnya penguasa dan pemegang senjata diperalat oleh kapitalis.
Ketika sumber kehidupan rakyat seperti hutan tanah jatuh ke tangan kapitalis, rakyat menentang dengan protes dan demonstrasi. Namun betapapun hebatnya unjuk rasa, kemenangan tetap berada di pihak koalisi dengan kapitalis sebagai pihak yang dominan. Rakyat akan dihadapi oleh pemegang senjata, mulai dari cara yang halus sampai jalan kekerasan. Jika tak berhasil juga, penguasa dan pemegang senjata akan mencari jalan yang licik, rakyat dihadapkan kepada berbagai norma hukum yang dapat dipermainkan. Akhirnya, rakyat letih dan kehilangan semangat. Ini terjadi karena perjuangan rakyat membela nasibnya hanya didasari oleh kepentingan bendawi, tidak berpijak pada akidah yang kokoh jihad fisabilillah. Maka mana mungkin, menghadapi para thagut yang juga berbuat demi harta benda.
Koalisi tiga pihak itu sebenarnya adalah minoritas. Rakyatlah yang mayoritas. Tapi, demokrasi telah membuat keajaiban. Semula dimenangkan mayoritas. Namun ternyata suara terbanyak yang dapat dibeli dengan culas itu, tak berdaya berhadapan dengan pemilik modal. Sang kapitalis memperalat penguasa dan pemegang senjata menjadi perisai, kemudian dengan perisai itu menindas rakyat. Keadaan berbalik 180 derajat. Demokrasi bukan lagi dari, oleh dan untuk rakyat, tapi dari penguasa, dijaga oleh pemegang senjata untuk sang kapitalis. Maka, patutlah Allah menyuruh kita memperhatikan, bagaimana nasib manusia yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan.
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Riau Pos, Senin, 26 Maret 2012