- Medan Magnet Spiritual
Karya sastra telah ditandai dengan bentuk dan isi, sehingga pembicaraan terhadap karya sastra telah berkisar pada dua aspek tersebut. Sungguhpun begitu, pembicaraan tentang keindahan karya sastra biasanya terlalu ditekankan pada aspek bentuk.
Keindahan bentuk menjadi lebih dominan sehingga keindahan isi hampir dilupakan oleh pengamat. Maka keindahan bentuk telah diarahkan pada susunan atau komposisi, seperti jalinan konflik pada tokoh dalam prosa (diksi) sedangkan pada puisi terarah pada pola baris dan persajakan.
Estetika isi sebenarnya juga harus mendapat pembahasan yang memadai. Pembicaraan tentang hal ini, bisa dipandang sebagai bagian yang terdalam dari karya itu, karena dapat memberikan semangat baru pada khalayak untuk memperbaiki dirinya. Keindahan isi akan menjadi keindahan batin karya itu. Ini akan dapat diteroka melalui sisi lambang dan kiasan, yang sering termasuk kategori metafor karya sastra.
Melalui lambang yang dipakai oleh pengarang, dapat dikesan aspek keindahan karya sastra. Bagaimana perbandingan lambang dengan yang dilambangkan dalam karya itu, akan dapat terbayang keindahannya. Semakin sesuai dan sepadan antara lambang dengan yang dilambangkan, akan semakin indah pantulan isi karya itu. Kemudian ke mana arah kiasan lambang akan membuat keindahan batin karya tersebut semakin cemerlang. Semakin kuat kiasan itu menggugah hati pembacanya (khalayak) akan semakin terasa indah pancarannya.
Dalam keadaan terakhir itulah bisa ditandai medan magnet spiritual suatu karya sastra. Karya itu setelah dibaca memberi dayatarik bagaikan magnet. Tapi bukan hanya daya tarik sebatas perasaan yang dangkal yang hanya memberikan hawa panas kepada selera nafsu. Daya tarik yang dibangkitkannya bersifat keruhanian, yakni bagian yang terdalam dari jiwa manusia.
Medan magnet spiritual karya itu mendesak pembaca melakukan penjelajahan batin, sehingga yang terpandang tidak hanya sebatas hidup dunia, tapi juga menembus bayangan kehidupan akhirat. Karya sastra serupa ini memberi arah kepada pembaca untuk merenung dan tafakur, sebenarnya apa makna hidup ini yang sejati. Karena itu karya ini di samping memberikan hiburan yang jernih, juga mampu memberikan pencerahan, sebab dapat meluruskan hati pembacanya.
- Empat Pengarang Besar Melayu
Empat pengarang besar jagad Melayu dalam tulisan ini ialah Hamzah Fansuri, Tun Sri Lanang, Raja Ali Haji dan Tuan Guru Abdurrahman Siddik bin Muhammad Apip. Mereka disebut sebagai pengarang besar, sebab mereka adalah pengarang yang memelihara budi pekertinya. Ini sesuai dengan kategori orang besar menurut Raja Ali Haji, yaitu orang yang memelihara budi pekertinya: bukan orang yang berkuasa maupun orang yang kaya yang budi pekertinya jahat.
Keempat pengarang ini sudah terbukti tingkahlakunya terpelihara daripada jerat dunia, sehingga apa yang disampaikannya dalam karyanya juga tecermin dalam penampilan hidupnya. Mereka bukan pengarang munafik, yang karyanya tidak sejalan dengan budi pekertinya.
Karya dan dirinya tidak bercanggah. Mereka juga ditandai sebagai pengarang besar, karena ketajaman penanya membuat lambang dan kiasan dapat menembus dunia menuju akhirat. Karangan mereka tidak hanya sebatas guna, tetapi dapat memberi makna.
Hamzah Fansuri; Syair Perahu:
Wahai muda kenali dirimu
ialah perahu tamsil tubuhmu
tiada berapa lama hidupmu
ke akhirat juga kekal diammu
Perhatikanlah betapa indahnya lambang perahu untuk batang tubuh manusia. Al Ghazali membuat lambang kuda untuk tubuh manusia, sesuai dengan dunia padang pasir, sedangkan Hamzah Fansuri memakai perahu sesuai pula dengan wilayah perairan Nusantara.
Kemudian perhatikanlah keadaan perahu, sebagai lambang yang juga dapat berlaku bagi batang tubuh manusia. Perahu adalah alat, terutama untuk menyeberang, tubuh manusia juga ibarat perahu yang akan mengantarkan manusia menuju akhirat. Perahu akan rusak, begitu pula batang tubuh akan binasa oleh ruang dan waktu.
Perahu punya medan berupa arus, gelombang dan badai, sementara batang tubuh akan menghadapi cobaan: susah-senang, sakit-derita, tenang-gelisah dsb. Menghadapi medan itu perahu bisa selamat, tapi juga bisa karam dan tenggelam.
Begitu pula batang tubuh manusia, bisa selamat, tapi juga bisa mendapat malapetaka. Perahu harus dipelihara, dibersihkan diberi cat agar kuat. Sedangkan batang tubuh manusia diberi makan-minum serta dibersihkan hatinya dengan akidah dan iman yang kuat.
Perahu memerlukan kemudi agar dapat berlayar serta memerlukan pedoman agar dapat menuju tempat yang dimaksud. Batang tubuh manusia juga harus punya dasar berupa akidah yang kokoh serta pedoman yang jelas, yakni kawalan iman yang teguh dalam perjalanannya dari dunia menuju akhirat.
Perahu pada suatu ketika akan hancur, begitu pula batang tubuh manusia akan sampai pada ajal sebagai akhir dari hidupnya di dunia. Perjalanan hidup setelah kematian akan diteruskan, dimulai dari hari berbangkit, lalu timbangan amal, kemudian disusul dengan titian siratal mustaqim berakhir dengan masuk surga atau neraka. Dengan perbandingan itu, terkesanlah betapa tepat dan indahnya lambang perahu untuk batang tubuh manusia. Perlambangan yang benar-benar harmonis.
Tun Sri Lanang; Sejarah Melayu: — Mutiara segala cerita dan — Cahaya segala perumpamaan
Sejarah Melayu atau Sulalatus Salatin, karangan Tun Sri Lanang, adalah mutiara segala cerita dan cahaya semua perumpamaan. Dikatakan mutiara segala cerita, karena karya ini telah memuat cerita yang pilihan, yang terbaik dari segala cerita. Cerita-cerita itu ada yang berupa sejarah, ada yang fiksi dan juga ada yang khayalan.
Cerita sejarah merupakan contoh atau pelajaran dari kenyataan hidup. Cerita fiksi adalah abstraksi kehidupan itu sendiri. Sedangkan cerita khayal membayangkan segala sesuatu yang tak mungkin jadi kenyataan, kecuali Tuhan menghendakinya.
Begitulah, 5 macam cerita itu telah dirangkai oleh Tun Sri Lanang dengan susunan yang begitu harmonis, sehingga ujud suatu aliran cerita yang menarik lagi indah. Tapi tidak hanya sampai di situ. Rangkaian cerita yang indah itu juga dapat menjadi cahaya segala perumpamaan. Sebab dalam rangkaian cerita ini terdapat sejumlah iktibar, pelajaran, pedoman bahkan bahan renungan peri kehidupan.
Ketiga macam cerita itu, terutama tentang sejarah, pada zahirnya merupakan pergulatan manusia di medan hidupnya. Pada batinnya, semua cerita itu memberikan gambaran perjalanan nasib manusia di dunia, yang kelak akan berlanjut di akhirat.
Inti cerita dari mutiara dan cahaya segala cerita ini, menegaskan betapa pentingnya syari’ah dalam pergaulan hidup manusia. Apabila syari’ah sebagai aturan hidup yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, menjelaskan yang hak dan yang bathil, diabaikan oleh pemerintah sebagai pemegang teraju kehidupan, maka niscaya negeri dan rakyat akan rusak binasa. Inilah pesan terdalam dari Sejarah Melayu terhadap pemegang kendali pemerintahan.
Raja Ali Haji; Gurindam Duabelas: Barangsiapa mengenal akhirat tahulah dia dunia melarat
Umat manusia harus menyadari bahwa muara kehidupan dunia ini adalah satu, yakni surga atau neraka. Surga dan neraka adalah konsekuensi kehidupan dunia, yang sering diabaikan oleh umat manusia. Allah dan Rasul-Nya telah membuat perintah dan larangan.
Perintah harus dikerjakan, sedangkan larangan harus ditinggalkan. Barangsiapa yang menjadikan perintah dan larangan menjadi pegangan hidupnya, maka insya Allah, dia akan dibalas dengan surga. Sebaliknya siapa saja yang engkar terhadap perintah dan larangan itu, maka ganjarannya adalah neraka jahannam.
Dengan demikian, umat manusia benar-benar harus menyadari dan menghayati, bagaimana sebenarnya keadaan di akhirat. Dia harus mampu membandingkan keadaan dunia dengan akhirat dengan membaca firman Allah dalam Al-Qur’an serta Hadist Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jika hal ini mendapat pemahaman yang memadai, maka dia dapat menyimpulkan, bahwa kehidupan dunia ini sebenarnya melarat dibandingkan dengan kehidupan akhirat.
Mengapa dunia dikatakan melarat berbanding akhirat? Perhatikanlah sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, betapa dunia yang banyak membuat orang terpesona ini, hanya bagaikan setetes air yang berada pada jari manusia, ketika jari itu dicelupkan ke dalam lautan.
Begitulah, kesenangan dunia ini baru hanya bagaikan setetes air dari lautan kesenangan di akhirat. Bagaimanapun juga manusia mereguk nikmat dunia ini, itu baru 1 persen daripada nikmat yang tersedia dalam surga di akhirat kelak.
Selanjutnya, perhatikan bahwa segala obyek kenikmatan dunia semakin lama semakin luntur, rusak dan binasa lalu akhirnya hancur atau mati. Sedangkan segala sesuatu yang dinikmati dalam surga, justru semakin lama semakin indah, semakin menarik sehingga semakin nikmat. Sungguh di akhirat, tersedia oleh Allah Swt nikmat yang tiada tara, yang tak pernah terbayang oleh mata serta tak pernah terlintas dalam hati.
Kemudian perhatikan manusia yang terlena oleh dunia. Dia lalai, sehingga di samping dapat melarat di dunia, bisa lebih melarat lagi di akhirat. Melarat di dunia baru hanya bilangan ruang dan waktu yang terbatas, sedangkan melarat di akhirat yakni masuk neraka suatu siksaan yang dahsyat.
Dikatakan demikian, karena siksaan di neraka belum tentu akan dibatasi oleh ruang dan waktu. Kalaupun ada batas waktu bagi orang Islam yang berdosa untuk membasuh dosanya, tapi hitungan waktu di akhirat sangat panjang sekali. Sedangkan tubuh yang rusak oleh siksaan akan segera diganti, lalu disiksa lagi, begitu seterusnya.
Dengan demikian, Gurindam Duabelas pada satu sisi telah memberikan penjelajahan ruhani, betapa indah dan nikmatnya surga. Sementara pada sisi lain memberikan ancaman yang dapat menimpa umat manusia jika dia tidak memperhitungkan dunia terhadap akhirat. Maka pantaslah Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an, bahwa dunia hanya senda gurau yang melalaikan, sebagaimana banyak berlaku pada umat manusia.
Sebab itu, kesadaran akan pentingnya akhirat itulah yang telah diberikan oleh medan magnet spiritual karya Raja Ali Haji tersebut. Akhirat harus lebih utama daripada akhirat, sebab dunia akan semakin menjauh, sedangkan akhirat akan semakin dekat. Dunia harus jadi ladang amal saleh agar dapat dituai kebahagiaan di akhirat.
Tuan Guru Abdurrahman Siddik bin Muhammad Apip; Syair Ibarat dan Khabar Akhirat:
Angan-angan jangan terlalu panjang
Kasihkan dunia bukan kepalang
Diri sendiri tidak disayang
Di akhirat titian halus terbentang
Umat manusia begitu tergoda oleh dunia, sehingga angan-angannya tentang nikmat dunia itu tak kunjung habis. Manusia sibuk dengan urusan dunianya sehingga tidak dapat lagi membayangkan tantangan yang akan dihadapinya di akhirat. Manusia hanya gelisah oleh penyakit jasmaninya. Hampir tak pernah mengetahui apalagi menyadari tentang penyakit ruhaninya.
Padahal akibat penyakit ruhani (hati) jauh lebih berbahaya daripada penyakit ragawi. Dia tak sadar bahwa tantangan dunia sebenarnya hanya sebatas ruang dan waktu. Dengan kata lain tetap akan berakhir. Sementara tantangan di akhirat adalah abadi.
Sepintas lalu, dengan angan-angannya manusia seakan-akan menyayangi diri sendiri. Padahal sebenarnya, dia hanya menyayangi hawa nafsunya. Sedangkan angan-angan yang didikte oleh hawa nafsu itu malah akan menjeruskan nasib malang baginya di akhirat. Manusia harus menyadari siapa dia sebenarnya.
Dia tak lain daripada hamba Allah yang tugasnya adalah mengabdi kepada Sang Khalik, bertindak amal makruf nahi mungkar, agar selamat meniti titian yang halus terbentang di akhirat. Bekal untuk meniti itu bukanlah harta kekayaan, jabatan dan rupa yang dapat dibanggakan. Bekalnya ialah akidah yang kokoh, iman yang teguh dan amal saleh. Ini semuanya tak dapat dicapai hanya dengan angan-angan.
- Karya Sastra Kuda Buta
Demikianlah secara sederhana lintasan medan magnet spiritual karya 4 pengarang besar Melayu, melalui cuplikan karyanya masing-masing. Marilah kita bandingkan sedikit dengan karya pengarang Melayu masa kini. Pengarang kontemporer sekarang ini kebanyakan hanya memperhatikan keindahan yang bersifat indrawi.
Mereka pada umumnya mengarang tentang keindahan watak yang dapat dikesan oleh panca indera. Karena itu karya serupa itu sering membangkitkan hawa nafsu kepada pembaca atau khalayak. Bukan menyentuh batin untuk melakukan penjelajahan ruhani yang indah.
Kalau hal ini dibandingkan dengan karya sastra yang mampu memberikan penjelajahan batin pada pembaca melalui medan magnet spiritual yang dipantulkannya, maka dapat dikenal tentang niat seorang pengarang. Apakah pengarang bertolak dari niat baik, apakah sekadar main-main pengisi waktu luang, bahkan mungkin dengan niat menyisipkan kejahatan kedalam karyanya.
Kebanyakan karya sastra dewasa ini, sangat didominasi oleh nilai benda, sehingga gersang akan nilai-nilai ruhani. Tujuannya, hanya sebatas guna, yakni untuk mendapatkan keuntungan materi lalu menghibur diri dengan kesombongan serta melepaskan selera rendah. Bukan untuk memainkan peranan dalam kehidupan manusia agar menjadi makhluk yang bermartabat, sehingga mampu memberi pesan yang bermakna.
Maka, karya sastra masa kini kebanyakan menjadi alat hiburan yang memabukkan. Tidak mendatangkan ketentraman hati. Karya serupa ini bagaikan kuda tunggangan yang buta. Pemilik (pengarang) kuda hanya sibuk memperbaiki dan memperindah batang tubuh kuda seperti sepatunya, pelananya dan kekangnya.
Mata kuda tidak diperhatikan apakah dapat melihat dengan tajam atau sudah bular alias buta. Maka, ketika sang kuda dipacu, kuda buta itu berlari tak tentu arah. Berputar-putar tak menentu, lalu akhirnya terjerembab ke tanah dalam keadaan menyedihkan serta memalukan.
Kira-kira demikianlah kiasan karya sastra yang hanya ditulis sebatas materialis sekuler, yang hanya mampu merangsang selera ragawi serta mendorong kepada perbuatan munafik. Hal itu berlaku dengan dalih kebebasan bekarya.
Karya-karya serupa ini bukan memberi arah kepada keselamatan serta kehormatan umat manusia. Tetapi mendorong kepada perbuatan melampaui batas. Perbuatan melampaui batas adalah perbuatan konyol. Sebab berarti menghancurkan diri sendiri.***
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Sagang Edisi Istimewa Oktober 2009