Saya berkenalan dengan Pak Rawi Kunin, pertama-tama tentu sebagai sesama dosen di Universitas Islam Riau (UIR). Ia memberi kuliah di Fakultas Hukum dan saya orang pertama di Fakultas Hukum yang memberi mata kuliah Ilmu Budaya Dasar. Dalam pergaulan kami pernah terjadi suatu hal yang ‘’istimewa’’.
Ia pernah bertanya mengenai sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara yang ia hadapi sebagai pengacara. Ia bingung, bagaimana memenangkan perkara tersebut sambil menyerahkan kepada saya dua dokumen. Saya katakan, ‘’Itu mudah, Pak Rawi! Lihat saja dokumen mana yang memakai ejaan lama ’dj’ dan dokumen mana yang sudah memakai ejaan baru ‘j’. Yang tertulis memakai ejaan lama berarti sebelum 1971.’’
‘’Oh, begitu,’’ kata Pak Rawi. Beberapa waktu kemudian, ia dating lagi kepada saya dan mengatakan, ‘’Kita menang, Pak UU.’’ Inilah awal ketertarikan saya kepadanya.
Kemudian, ia menjadi rektor. Ada kejadian, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang baru tiga bulan menjabat, mengundurkan diri karena menjadi anggota DPRD. Pak Rawi terkejut, masa diberi jabatan bagus kemudian dibuang lagi.
Saya waktu itu dikenal sebagai orang yang tidak suka jabatan. Maka dimintanya Pak Tengku Dahril menemui saya di rumah. Pak Tengku Dahril menyampaikan ‘ultimatum’ Pak Rawi, ‘’Bilang sama UU, kalau ia tidak juga mau duduk di meja Dekan, kopiahnya saja taruh di situ.’’ Maka, jadilah saya Dekan FKIP.
Saya memang terkesan dengan Pak Rawi Kunin. Dengan menggunakan mata hati, saya melihat ia orang yang berpikiran ‘’lapang ke depan’’. Saya senang memberi istilah ini kepada Rawi Kunin. Jika berbicara, ia jarang mengemukakan kerumitan atas apa yang akan terjadi. Itu satu hal yang membuat saya senang bertukar pikiran dengan dia.
Rawi Kunin melihat masa depan itu bukan sebagai sesuatu yang remang-remang, ataupun menakutkan. Masa depan itu rahmat! Karena itu, ia mengemukakan gagasan-gagasannya dengan kelapangan melihat ke depan. Ia senang melihat sesuatu itu secara sederhana, tidak dengan cara atau teori yang berbelit-belit. Jadi langsung melihat fakta, setelah itu memakai akal sehat dengan bersandar kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalam buku yang pernah saya tulis (Perjuangan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam di Riau: Riwayat 38 Tahun YLPI Daerah Riau dan 26 Tahun Universitas Islam Riau), Rawi Kunin mengatakan bahwa masalah UIR harus diselesaikan melalui persaudaraan kaum muslimin, yaitu melalui musyawarah orang-orang yang terpandang pikirannya untuk mengembangkan UIR. Bukan melalui perdebatan menggunakan dalih-dalih, yang pada akhirnya jatuh pada kepentingan pribadi pihak yang menentukan. Dengan memakai narasi ‘’persaudaraan kaum muslimin’’, sudah dipertimbangkan bahwa UIR itu didirikan untuk kepentingan umat. Jadi dalam setiap keputusan yang akan dibuat, haruslah mempertimbangkan sejauh mana UIR, Insya Allah akan memberikan dukungan dan bantuan kepada kaum muslimin.
Berkenaan dengan perpindahan kampus UIR, tentu banyak sekali yang dilakukan. Tetapi sepanjang yang saya tahu, tidak ada masalah-masalah yang mengganggu kegiatan belajar dan mengajar. Misalnya, di atas gedung Fakultas Hukum yang dipakai waktu itu adalah ruang rektorat. Jadi, rapat-rapat rektor dan dekan lebih mudah karena berada di suatu tempat.
Setahu saya, pembangunan kampus UIR dilakukan oleh YLPI yang dipimpin dan dikendalikan oleh kakandanya, Pak Haji Zaini Kunin. Zaini Kunin lebih banyak menggunakan pendekatan emosional sebagai orang Islam. Ia senang mendatangi orang-orang tertentu untuk mendapatkan bantuan dana.
Pak Rawi orangnya ramah, suka tertawa, argumentasinya cukup tajam, menarik dan logis. Tetapi, ia menyampaikan pikirannya secara santai, sehingga kita tidak merasa terpaksa untuk menerima gagasannya. Ia mengandalkan akal sehat yang bersandar kepada keimanan dan agama. Walaupun waktu itu dia rektor, tidak terkesan ia memaksakan pendapatnya.
Ada contoh lain. Suatu hari, di FKIP Jurusan olahraga, ada mahasiswa melawan dosennya, sampai-sampai dosennya mau ditikam. Pasalnya, si mahasiswa akan ikut ujian negara, tapi namanya tidak tertera. Sebagai dekan, tentu saya harus mengambil tindakan. Untuk sementara saya menonaktifkan dosen tersebut, Pak Syamsuddin, yang waktu itu juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Olahraga.
Ia pergi ke Pak Rawi, mengadu bahwa Pak UU memberhentikan dia. Saya dengar, kemudian Pak Rawi kira-kira mengatakan begini: ‘’Pak Syam, bagi saya, Pak UU memberhentikan Anda untuk sementara, itu wewenang dia sebagai dekan. Tapi saya yakin maksudnya kurang lebih ingin mencari ikan di dalam air yang keruh. Setelah air itu jernih kembali, akan menjadi jelas mana yang ikan mana yang ular, tentu keadaan akan ditinjau ulang.’’
Saya kemudian juga menghadap Pak Rawi untuk menjelaskan kasus tersebut. Ia tidak akan ikut campur dan menyerahkan sepenuhnya kepada saya. Demikianlah, setelah ‘airnya jernih’, Pak Syamsuddin saya angkat kembali sebagai Ketua Jurusan.
Rawi Kunin haruslah ditempatkan sebagai orang yang punya peran penting dalam mengemudikan UIR. Dan sebagai orang yang memimpin dan mengendalikan UIR selama sepuluh tahun, ia telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan cukup baik. Karena tidak ada hal-hal ataupun kejadian-kejadian yang mengganggu kegiatan akademis maupun masyarakat, dan tidak ada ketegangan-ketegangan serius antara sesama dosen.
Terakhir, ada yang ingin saya tambahkan. Haji Jufri Effendi (Buya Jupen), dosen Fakultas Ushuluddin yang waktu itu baru tamat program magister dari Universitas Islam Madinah (UIM), Arab Saudi, diangkat sebagai Pembantu Dekan I (1985-1991) Fakultas Ushuluddin. Waktu itu ada seminar bagaimana ‘’Membangkitkan Citra Islam di UIR’’. Misalnya, bagaimana agar para mahasiswi memakai jilbab.
Pada 1980-an memang masih sedikit sekali mahasiswi UIR yang memakai jilbab. Saya sebagai Dekan FKIP sampai-sampai menulis di depan pintu: ‘’mahasiswa yang ingin berkonsultasi atau bertemu harus mengenakan jilbab’’. Sebagai tamatan Madinah, Pak Jufri kental sekali Islamnya. Ia sangat benci dengan mahasiswi yang tidak pakai jilbab. Pak Jufri meminta agar dibuat instruksi yang mengharuskan mahasiswi UIR mengenakan jilbab. Logika Pak Jufri sudah benar. UIR kan universitas Islam, kok mahasiswinya tidak berjilbab.
Apa kata Pak Rawi Kunin? Sekali lagi saya melihat beliau sebagai tokoh yang berpandangan lapang ke depan. Pak Rawi memakai ungkapan Melayu yang bijak sekali, ‘’Begini Pak Jufri, jangan sekali tetaklah.’’ Itu ungkapan Melayu sekali. Jangan sekali tetak, jangan sekali pancung, jangan sekali kapak, jangan sekali parang, yang langsung putus.
Pak Rawi yang cukup lapang hatinya, mungkin sudah membayangkan bahwa pada waktunya mahasiswi UIR semuanya memakai jilbab, sebagaimana kita saksikan sekarang ini. Meskipun ia punya gagasan untuk membangun citra Islam di UIR, gagasan yang sesungguhnya sangat menarik, ia tidak mau menggunakan otoritasnya sebagai rektor. Selain iman, Islam, ia juga mengandalkan akal sehat manusia.***
(Wawancara Rustam Ibrahim dengan UU Hamidy pada 3 Oktober 2018 di Pekanbaru. Hasil wawancara ini dimuat dalam buku yang ditulis Rustam, bertajuk Haji Rawi Kunin SH: Tokoh Pendidikan Universitas Islam Riau 1936-1992, UIR Press 2019)