Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Karya Budaya Hanya untuk Tumpangan Hidup, Belum Tentu Dapat Ditumpangi untuk Kematian, Oleh: UU Hamidy
Foto: @twt_kelate

Karya Budaya Hanya untuk Tumpangan Hidup, Belum Tentu Dapat Ditumpangi untuk Kematian, Oleh: UU Hamidy

Potensi budaya manusia telah dapat memenuhi keperluan hidup manusia dalam bidang obyektif, etik dan estetik. Jika kita balik kepada konsep budaya sebagai amanah Tuhan, jelas sekali kebudayaan manusia belum mampu sepenuhnya memberikan kebenaran, akhlak dan kehalusan hati kepada manusia. Segala aktivitas budaya manusia belum dapat memberikan satu jalan hidup yang sempurna kepadanya.

Tetap ada misteri, bahkan memang suatu misteri yang amat besar. Perhatikan misalnya bagaimana misteri hidup dan mati yang tak dapat dijangkau oleh kemampuan potensi budaya. Jangkauan pengetahuan atau ilmu tentang hal-hal serupa itu hanya sampai kepada gejala-gejala lahiriah. Hal ini terbukti dari kenyataan, betapa yang disebut ilmu jiwa, bukanlah ilmu yang mempelajari jiwa, tetapi hanyalah tingkahlaku, yang dipandang sebagai manifestasi daripada jiwa.

Betapapun juga tingkahlaku dapat mencerminkan kejiwaan, namun sifat lahiriah itu tidaklah sama dengan jiwa itu sendiri. Oleh sebab itu jiwa dan ruh tetaplah gelap bagi ilmu pengetahuan. Sejajar dengan hal ini adalah ilmu ketuhanan atau teologi, yang dipelajari bukanlah Tuhan sebagai satu obyek, tetapi gejala atau sifat-sifat Tuhan, sehingga bagaimana sebenarnya Tuhan sebagai semacam Zat atau Ruh, tetaplah tak akan mampu dijangkau oleh alam pikiran.

Kita mungkin dapat mengatakan bahwa kebudayaan telah mampu menjawab  kepentingan hidup manusia, tetapi kita tetap akan menyerah dan mengatakan bahwa potensi budaya tak dapat menjawab fenomena kematian. Dengan demikian jelaslah bahwa budaya manusia dapat ditumpangi untuk hidup, tetapi belum tentu dapat ditumpangi menuju kematian.

Dengan menerima wahyu Allah yang diterima oleh Rasul, manusia dapat memperoleh kebenaran yang sempurna. Dengan wahyu Ilahi, kebenaran yang diperoleh manusia tidak lagi sebatas kebenaran obyektif (yang terbatas pada realitas suatu obyek) tetapi suatu kebenaran yang hakiki yang meliputi seluruh jagad kehidupan. Kebenaran Ilahi itu pula yang mampu memberikan etik yang benar, sebab etik buatan manusia itu belaku secara subyektif, sepihak dan terbelah-belah dalam bermacam puak dan rumpun bangsa.

Etik buatan manusia itu bukan suatu sistem nilai yang sempurna yang dapat diterima oleh seluruh makhluk dalam jagad raya ini, sehingga tidak mampu memberikan sistem hubungan yang lestari baik antara sesama makhluk itu sendiri maupun dengan Penciptanya. Begitu juga nilai estetika yang dirancang oleh manusia.

Keindahan yang dikatakan oleh manusia itu hanyalah keindahan lahiriyah atau keindahan yang diraba oleh panca indra, sedang keindahan yang sebenarnya indah adalah suatu keindahan yang melampaui batas panca indra. Maka kalaulah manusia terpaku kepada keindahan yang indrawi itu, dia tidak akan mampu melihat keindahan Yang Maha Indah.

Oleh sebab itu, ujud aktivitas budaya manusia hanya paling-paling setengah perjalanan untuk hidupnya. Inipun merupakan suatu perhitungan yang dibesar-besarkan, karena masih atas perhitungan manusia yang serba terbatas, sedangkan dari sisi Sang Khalik, budaya manusia bisa menjadi suatu yang maya sekali. Sebagian besar lagi dari perjalanan hidupnya tidak akan pernah diperolehnya melalui kemampuan budayanya, kecuali melalui titian wahyu dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Potensi budaya manusia dengan mempergunakan panca indra hanya melihat alam raya ini bagaikan roda. Dari potensi budaya manusia manusia mengatakan roda itu berputar, padahal seperti kata Syed Husain Nasr, pada hakikatnya bukan roda yang berputar, tetapi sumbulah yang berputar. Dan apa yang menjadi sumbu alam semesta tak akan dikenal oleh manusia hanya melalui potensi budaya, tetapi hanya dapat diperkenalkan oleh Tuhan melalui wahyu, yang kemudian diterangkan oleh Rasul-Nya.

Perjalanan hidup manusia dengan kreativitas budaya tanpa mengindahkan wahyu hanya akan menyebabkan manusia semakin terikat kepada benda-benda. Dalam keadaan yang ekstrim manusia bukan lagi dipandang sebagai subyek atau pribadi unik, tetapi cuma dipandang sebagai sekeping benda.

Hanya wahyu yang kemudian tersusun dalam Kitab suci yang kemudian diajarkan penerapannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang dapat kembali membebaskan manusia dari belenggu kebendaan. Sebab dalam pandangan Ilahi, segala materi atau benda hendaklah dipakai sebagai alat untuk mengabdi kepada Yang Maha Agung itu, bukan sebagai tujuan. Manusia hendaklah menyembah kepada Yang Memberi Nikmat dan Rahmat, bukan menyembah nikmat atau rahmat yang ujud dalam bentuk benda-benda itu.***

(Kebudayaan sebagai Amanah Tuhan, UU Hamidy)

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *