Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Hidup Bagaikan Berdagang, Oleh: UU Hamidy
Foto: cimbbank.com.my

Hidup Bagaikan Berdagang, Oleh: UU Hamidy

Allah menciptakan manusia, maka ada yang kafir dan ada pula yang beriman. Barangsiapa yang kafir, dia sendirilah yang menanggung akibat kekafiran itu. Sedangkan barangsiapa yang dikehendaki Allah diberi petunjuk, niscaya Dia lapangkan dadanya memeluk agama Islam. Dalam upaya meraih keselamatan dengan memeluk Islam itu, Allah menggambarkan manusia bagaikan berdagang.

Perdagangan bisa untung, bisa pula rugi. Begitu pulalah kehidupan manusia. Dalam surah As-Shaff Allah memberi petunjuk, bahwa perdagangan yang dapat menyelamatkan manusia dari azab yang pedih ialah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa raganya.

Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya berarti manusia mempercayai dan melaksanakan apa yang diperintahkan serta meninggalkan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya. Ini juga bermakna menerima Alquran sebagai pedoman hidup dan meneladani kata serta perbuatan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam perikehidupan. Itulah modal utama seorang insan menempuh jalan hidupnya. Dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, seorang pedagang yakin bahwa perdagangannya hendaklah mencari keuntungan yang dapat kelak diterima di akhirat.

Maka syariah Islam harus menjadi aturan dalam berdagang, agar tidak terjadi kecurangan yang menyebabkan dagangan jadi bangkrut. Insan yang bertakwa itu mempergunakan umur atau waktu untuk melakukan amal kebajikan yang keuntungannya dapat diharapkan berlipat ganda di sisi Allah. Dia harus teliti terhadap kata, perbuatan dan tindakannya jangan sampai mendatangkan kerugian ruhani dan bendawi yang belum tentu dapat diatasinya.

Seorang insan yang memandang hidupnya bagaikan berdagang terhadap Allah menyadari potensi jiwa dan raganya haruslah diatur oleh syariah Islam, agar segala kemampuan itu tidak sampai digunakan untuk perbuatan maksiat. Kemampuan ruhani dan ragawi itu harus ditingkatkan kualitasnya dengan mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Semakin banyak ilmu yang dapat diterapkan dari Al-Qur’an dan as-Sunnah, maka semakin besar peluang berbuat amal saleh yang sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, semakin lalai memahami pesan Alquran dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, akan menyebabkan makin banyak pula amal perbuatan yang sia-sia, bahkan dapat menyebabkan hanya menjadi rangkaian perbuatan maksiat yang akan mengumpulkan dosa mengundang azab.

Sekarang, perhatikanlah bagaimana masyarakat Melayu yang telah lama memeluk Islam dari leluhur mereka. Lihatlah bagaimana kenyataannya mereka mempergunakan umur atau waktu serta kemampuan dirinya. Kebanyakan masyarakat Melayu telah lalai memperhitungkan hidupnya, sehingga hampir tak menyadari lagi hidup yang pendek ini akan berakhir dengan kematian.

Dan kematian akan disusul oleh perhitungan amal yang baik dan amal yang buruk. Mereka terlena oleh gemerlap dunia yang palsu lagi menipu. Maka umur yang tersedia untuk mencari keuntungan di akhirat jadi terpesong mencari keuntungan dunia semata. Segalanya dipandang demi dunia sehingga akhirat dipandang enteng. Padahal akhirat itulah punca segala perkara dan itulah muara kehidupan.

Di perkampungan Melayu hampir tak ada masjid yang dipakai untuk 5 kali salat fardhu berjamaah. Mereka paling-paling hanya salat berjamaah pada waktu Maghrib, Isya dan Subuh. Itupun dengan jumlah jamaah yang amat sedikit, hanya kalangan yang berusia lanjut 50 tahun ke atas. Surau tempat belajar mengaji selepas Maghrib sampai Isya, banyak tidak hidup lagi. Sedangkan yang masih terpakai sudah semakin redup.

Redup karena sulit mencari guru surau serta anak-anak yang semakin tidak mau pergi mengaji ke surau, lebih suka menonton televisi. Pada malam hari, lelaki dewasa banyak membuang waktu berbual-bual di kedai sambil nonton televisi. Sementara yang tinggal di perkotaan hanyut oleh menonton sepak bola dan pertunjukan lainnya. Dengan demikian terbuanglah umur, karena tidak digunakan untuk amal saleh.

Ketaatan orang Melayu terhadap Allah dan Rasul-Nya, benar-benar berbanding terbalik dengan ketaatan mereka kepada pemimpin hasil Pemilu demokrasi. Perhatikanlah ketika ada Pemilihan Umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat, bupati, gubernur dan presiden. Mereka mau mati-matian membela calon pejabat yang akan mendapat kursi kekuasaan. Dia mau memanjat pohon dan tiang listrik sepanjang jalan untuk pasang poster tanda gambar calon yang dipujanya.

Kemudian gambar calon itu ditempelkan lagi sepanjang jalan pada tembok dan pagar, sehingga kota jadi kumuh oleh gambar calon yang berserakan itu. Kemudian mereka mau pergi ke mana-mana ikut kampanye partai, berdiri berjam-jam sambil berteriak-teriak berbagai slogan dan memuji calon pujaannya. Lalu ketika pemungutan suara, mereka bersedia tidak salat demi untuk menjaga kotak suara.

Padahal mereka dapat menyaksikan sendiri pejabat (penguasa) hasil Pemilu demokrasi itu adalah pejabat yang zalim, sebab tidak mau memakai hukum Allah untuk mengatur negara. Karena itulah hasil pemerintahannya hanya mendatangkan bencana, sebab tidak diridhai oleh Allah Yang Maha Bijaksana.

Maka kembali kepada hidup bagaikan berdagang, mempergunakan jiwa dan harta berbuat kebajikan di jalan Allah, yakni dengan memakai pedoman Al-Qur’an serta mencontoh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam segala dimensi kehidupan, rupanya tidak menjadi perhatian yang sungguh-sungguh oleh kebanyakan orang Melayu.

Mereka mengikuti selera orang banyak di muka bumi memakai demokrasi sebagai pedoman dalam segala perbuatan. Mereka cuai, tidak memperhatikan sudah lebih 50 tahun negara ini memakai jalan demokrasi, bahkan diberi lagi merek demokrasi Pancasila, namun hasilnya segala sumber daya alam sudah terkuras dan berantakan, pindah kepada tangan pemilik modal, sedangkan negara nyatanya makin besar hutangnya di tengah kehidupan rakyat yang makin sengsara.

Inilah hasil kehidupan tanpa perhitungan untung-rugi, yang sudah lama dibidas oleh bidal Melayu dengan ‘’dagang Pak Kasab’’. Padahal jika insan itu membaca Al-Qur’an, dia akan mengetahui betapa Allah benar-benar membuka jalan yang lapang bagi hidup sejahtera di dunia dan akhirat. Allah hanya membalas kejahatan secara setimpal, tapi perbuatan baik dibalas 10 kali lipat, bahkan bisa melebihi deret ukur.

Sebab satu kebajikan dapat menghasilkan 7 arai, sedangkan tiap arai ada 100 biji, sehingga akan mendapat balasan 700 kali kebaikan di sisi Allah. Tapi sayang, umat manusia tak mau menerima janji Allah ini, sehingga perdagangan hidupnya tanpa perhitungan, yang dapat membuat hidupnya bermuara pada azab yang pedih.***

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *