Masyarakat Melayu tradisional mempunyai empat macam pemegang teraju kepemimpinan. Pertama, tokoh tradisi yakni dukun, bomo, pawang, kemantan dan guru silat. Kedua, tokoh adat seperti datuk, batin dan penghulu. Ketiga, teraju kerajaan yakni Yang Dipertuan Besar atau Sultan dan Yang Dipertuan Muda serta para pembesar kerajaan. Yang keempat, pembimbing kehidupan beragama seperti mufti, tuan guru, orang alim, orang siak, lebai dan pakih. Semua pemegang teraju kepemimpinan itu disebut orang patut, karena dipandang patut dalam bidangnya.
Orang patut itu merujuk kepada orang yang cerdas yakni dari kata fathonah, yang merupakan satu di antara empat sifat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam : siddik, jujur, tabligh dan fathonah. Dengan kecerdasan itulah dia menyelesaikan berbagai perkara dalam kehidupan dengan bimbingan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tokoh tradisi menjaga hubungan dengan alam; tokoh adat mengawal pergaulan masyarakat; teraju kerajaan memelihara kehidupan kerajaan. Pembimbing kehidupan beragama memandu kehidupan umat agar selamat dunia akhirat.
Konsep orang patut Melayu membuat kategori pemimpin Melayu yakni cerdas (tajam berpikir) dan taat melaksanakan ajaran Islam. Kecerdasannya dalam pandangan tradisional tampak dalam kemampuannya membedakan ruas dengan buku, tempat dengan kedudukan, batas dengan hingga. Dia dapat membedakan kilat cermin dengan kilat beliung.
Kilat cermin adalah tanda-tanda kebaikan dan kekurangan, sedangkan kilat beliung adalah tanda marabahaya serta kejahatan. Sedangkan dalam ketaatan beragama Islam, orang patut itu mengikuti panduan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Inilah yang membentuk perangainya condong kepada arif bijaksana, sehingga dia akan melindungi yang lemah dari penindasan orang yang kuat.
Kategori pemimpin Melayu sebagai orang yang cerdas dan taat kepada ajaran Islam semakin lama semakin redup dalam dunia Melayu. Wajah orang patut dengan citra Islam itu tersingkir oleh pemimpin hasil demokrasi yang diamalkan oleh negara. Dengan berlakunya sistem demokrasi oleh negara, maka arah dan tujuan kepemimpinan dunia Melayu terpesong demikian rupa, sehingga nilai kecerdasan dan taat kepada ajaran Islam semakin terdesak oleh pandangan demokrasi yang bersifat sekuler yang hanya mementingkan kehidupan dunia, serta memandang enteng kehidupan beragama yang akan jadi tumpuan di akhirat.
Masyarakat Melayu tradisional heran, ketika melihat pemerintah dengan sistem demokrasi melakukan pemilihan umum untuk mendapatkan pemimpin. Mengapa untuk mendapatkan seorang pemimpin yang seyogianya seorang yang cerdas, harus melibatkan semua rakyat?
Padahal hanya berapa orang yang cerdas dari mayoritas rakyat yang ikut memilih itu. Logikanya, memilih orang yang cerdas untuk jadi pemimpin, tentu semestinya dipilih oleh orang yang cerdas pula. Tidak oleh semua orang, baik cerdas maupun tidak. Karena demokrasi memberi peluang kepada semua orang, baik cerdas maupun tidak, maka hasil Pemilu tidak menampilkan orang yang cerdas, tetapi orang yang cerdik.
Kegagalan demokrasi mendapatkan pemimpin yang cerdas itu tidak mengherankan. Demokrasi menampilkan pemimpin yang cerdik, karena watak demokrasi memang menjurus ke situ. Pemilu demokrasi yang memberi peluang kepada semua orang, baik cerdas maupun tidak, bahkan buta huruf asal tidak gila, boleh memberikan suara. Kenyataan ini dikatakan sebagai keadilan demokrasi. Padahal ini adalah penilaian keadilan yang justru tidak pada tempatnya. Maka niscaya akan lebih banyak suara orang yang tidak cerdas. Akibatnya tentulah akan terpilih bukan orang yang cerdas.
Dari para calon (yang akan jadi pemimpin), mereka ini sebenarnya bertanding memperebutkan kekuasaan melalui memperebutkan suara para pemilih. Maka tak heran para calon itu memakai akal cerdik, agar banyak dapat suara. Akal cerdik para calon itu tergambar dengan jelas dalam proses Pemilu.
Para calon mula-mula menggantungkan gambarnya pada tiang listrik atau dipakukan kepada pohon sepanjang jalan (seperti anak-anak bermain-main). Kemudian menggoda para pemilih dengan kata manis dan janji-janji yang indah. Selanjutnya memberikan berbagai uang atau benda dengan kedok bantuan kepada kelompok masyarakat bahkan kepada jamaah masjid. Sudah itu membeli suara dengan tipu muslihat, sampai akhirnya intimidasi dan bermain curang dalam penghitungan kertas suara.
Jadi, agar banyak dapat suara, harus cerdik menipu. Sedangkan yang mudah ditipu itu tentulah orang yang tidak cerdas. Orang yang cerdas, yang tajam berpikir dan jujur memegang kebenaran, niscaya akan sulit ditipu. Inilah sebabnya Pemilu dalam demokrasi, suara orang yang cerdas akan kalah secara kuantitatif oleh yang tidak cerdas.
Demokrasi telah menampilkan orang meminta jabatan, bukan orang yang diminta menduduki jabatan. Karena meminta jabatan, maka calon pemimpin demokrasi itu tidak segan-segan memuji dirinya atau minta dipuji melalui lidah orang lain yakni para pendukungnya yang menjajakan dirinya bagai barang dagangan.
Maka tampillah pemimpin yang cerdik, bukan yang cerdas. Padahal, untuk menyelesaikan perkara dunia ini diperlukan orang yang cerdas. Berpikir dengan akal sehat, jujur dan berpegang teguh kepada kebenaran yang terbentang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Bukan orang yang cerdik, yang pandai memecahkan masalah dengan akal licik, tak hiraukan kebenaran dan kejujuran.
Dan terakhir, jangan berharap kepada demokrasi mendapatkan pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, yang akan mengatur negara dan kehidupan umat dengan syariat Islam, sebagaimana ditampilkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan para sahabat yang telah melahirkan umat yang terbaik di muka bumi.
Mereka mencari jabatan atau memegang teraju kekuasaan bukan dengan niat amal makruf nahi mungkar, tetapi untuk mendapatkan kekayaan, popularitas dan berbagai kemudahan untuk melepaskan kehendak nafsunya. Pemimpin demokrasi bukan menjadi pemimpin dengan niat beribadah kepada Allah, sehingga dia amat takut akan siksa Allah di akhirat sekiranya tidak menunaikan tugasnya dengan adil. Pemimpin demokrasi hanya takut kepada hukum buatan manusia, yang dapat dipermainkan dengan kekuasaan dan uang.***