Malu, inilah kata yang dibuang bagaikan sampah. Padahal inilah benteng akhlak mulia. Dalam tradisi Melayu tua, malu menjadi adat, sedangkan pada Melayu muda, malu bersehati dengan iman. Seorang lelaki yang mau ke tepian, dia harus mendehem lebih dahulu, memberi tanda kepada orang yang mandi, barangkali perempuan yang bukan mahramnya.
Minta air kepada perempuan yang tiada mahram di rumahnya, hanya boleh menjemput air sampai anak tangga ketiga. Begitulah adat Melayu di Riau, yang bersandar kepada Syariah Islam, memandu orang agar malu kepada manusia, lebih-lebih terhadap Allah Yang Maha Mengetahui.
Sekarang, perhatikan malu dalam pergaulan globalisasi. Malu sudah disingkirkan sehingga tampillah manusia tidak bermalu. Inilah yang menghancurkan martabat umat manusia abad ini. Penampilan tidak bermalu merusak segala sektor kehidupan.
Timbullah huru-hara kejahatan di mana-mana. Sungguhpun begitu, banyak orang tak tahu di mana punca masalah ini. Perilaku tidak-bermalu abad ini berpangkal pada sistem demokrasi, yang dipuja bagaikan tuhan.
Demokrasi menampilkan orang pandai bicara yang munafik, sebagaimana diperlihatkan oleh pesta demokrasi. Lahirlah pemimpin yang sombong, yang menyeret rakyat membangkang terhadap hukum Allah yang akan memberi keselamatan dunia akhirat.
Perhatikanlah, bagaimana demokrasi tampil sebagai sistem kehidupan yang tidak bermalu. Lihat 4 macam penampilan demokrasi yang membuat orang tidak bermalu. Pertama, tingkahlaku liberal, membuat orang bertindak diluar akhlak mulia.
Kemudian tingkahlaku kapitalis, telah memberi peluang membuat barang apa saja, asal laku dijual. Apa akibatnya barang itu terhadap perilaku orang, tidak diperhatikan. Sang kapitalis juga tak perlu malu mengangkangi hak masyarakat sehingga sampai menindas tanpa kasihan.
Gedoran yang paling hebat menghantam malu adalah sekulerisme. Inilah wajah demokrasi yang benar-benar tidak bermalu. Dengan sekulerisme manusia tak perlu bertuhan. Bahkan kalau perlu menghina Utusan Tuhan dan Tuhan itu sendiri.
Padahal malu terhadap Tuhan adalah inti harga diri manusia. Dengan sekularisme, muncullah pornografi, budaya tak bermalu membuka aurat. Mengapa orang Melayu menyebut alat kelamin dangan kata kemaluan, karena mereka malu auratnya dilihat orang.
Dalam sekularisme malu dipandang ketinggalan zaman. Maka tak pelak lagi, terbitlah majalah Playboy, khusus memamerkan aurat, Majalah Only for Man khusus membuka aurat perempuan untuk merangsang lelaki. Majalah Only for Woman khusus membuka aurat lelaki agar merangsang perempuan.
Demokrasi telah membuat benteng yang kuat untuk melindungi dirinya. Benteng itu bernama Hak Asasi Manusia (HAM). Suatu nama yang mengagumkan, sehingga hatinurani manusia jadi tumpul melihat kebenaran Allah. HAM adalah pedang jenawi bermata dua, kiri dan kanan. Dapat dipakai membela yang benar, tetapi lebih banyak gunanya untuk membela kejahatan.
Ketika HAM kebetulan membela yang benar, akan terkesan selaras dengan nilai agama. Inilah yang membuat umat Islam membabi buta membela HAM. Padahal HAM itu tidak berlaku terhadap kejahatan Amerika Serikat dan Yahudi Israil serta sekutunya.
Umat Islam yang berada di bawah ketiak pemuja demokrasi, telah bular (kabur) matanya, sehingga tak melihat bagaimana HAM melindungi perilaku bejat seperti homoseksual, pelacuran, minuman keras, perjudian, ribawi, penyiksaan tanpa pengadilan, menginjak kitab suci Alquran sampai menghina Junjungan Alam Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Mereka tidak menyaksikan bagaimana Syariah Islam melalui sistem khilafahnya melindungi darah, harta dan kehormatan umat manusia.
Di dunia ini HAM tidak akan berlaku tanpa kekuatan Amerika dan sekutunya. Lihatlah, bagaimana pedang jenawi HAM telah diarahkan kepada siapa dan negara mana yang tidak mau mengekor kepada Amerika dan sekutunya. HAM harus disadari sebagai topeng untuk membenarkan hawa nafsu manusia serta alat penjajahan, yang sekaligus menafikan hak Allah.
Jika hak Allah terhadap manusia kita tantang, maka sebenarnya apa nilai hidup manusia ini. Karena itu setelah demokrasi membuat kita tidak bermalu, kita akhirnya jadi durhaka kepada Allah Yang Maha Kuasa. Padahal kita akan kembali kepada Allah untuk mempertangungjawabkan segala perbuatan kita.***
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Riau Pos, Senin, 30 April 2012