Allah Maha Kuasa, Maha Pencipta, Maha Pemelihara, Maha Bijaksana lagi Maha Perkasa menciptakan bumi dan seisinya untuk kehidupan umat manusia. Melalui Al Quran, Allah Yang Maha Penyanyang berpesan, bila selesai shalat bertebaranlah di muka bumi mencari rezeki yang telah Allah sediakan. Carilah rezeki di jalan Allah dengan panduan Syariah Islam yang telah memberi batas hak-batil, halal-haram serta dosa-pahala. Jangan melampaui batas dari hukum Allah dan Rasul-Nya itu, agar tidak menimbulkan kerusakan dan kejahatan di muka bumi.
Maka, masyarakat Melayu di Rantau Kuantan yang membuat perkampungan di sepanjang Batang Kuantan pada masa dulu (sampai tahun 1950-an) telah menangkap ikan dengan panduan Syariah Islam, sehingga tidak merusak alam semula jadi. Paling kurang ada 5 cara yang khas dan unik untuk menangkap ikan yang insya Allah dapat membuat ikan tidak akan binasa dan punah.
Pertama, guntang, terbuat dari labu air atau basung yang bisa timbul di air. Tali kail yang pendek diikatkan pada labu atau basung. Setelah mata kail diberi umpan, maka guntang dihanyutkan. Umpan guntang sering diberi sedikit tahi, agar merangsang ikan patin, buwan (juaro) dan kepiat untuk makan. Setelah sejumlah guntang dilepas, tukang guntang (nelayan) mengikuti dengan perahu kecil.
Mana guntang yang mengena (dimakan ikan) akan tampak dari guntang yang timbul-tenggelam ditarik ikan. Tukang guntang akan memegang guntang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan mengait ikan masuk ke dalam perahu. Ikan biasa diikat dengan g e s i r, yakni tali rotan yang dimasukkan dari insang lalu keluar di mulut ikan.
Kedua, bunbun, terbuat dari pelepah pisang dengan daunnya yang sudah jadi kerisik (kering). Dibuat begitu rupa mirip piramid, sehingga ada tempat mengintai ikan dalam bunbun itu. Ikan kalui (gurami) juga ikan lainnya akan suka bermain dalam bunbun di tepi sungai yang tenang airnya.
Ketika ikan bermain-main, tukang bunbun (nelayan) akan melontarkan tempuling (tombak piarit yang pendek) yang telah diberi tali rotan yang panjang. Ikan yang kena akan dibiarkan lari membawa tempuling sampai tidak berdaya. Bila ikan tidak berdaya lagi, barulah tali rotan ditarik, sehingga ikan dengan mudah ditangkap.
Ketiga, rumbuk, terbuat dari s e r a m p i n g, yaitu belahan batang rumbia yang banyak sagunya. Seramping itu diletakkan dalam lubuk sungai yang biasanya banyak ikan di situ. Ikan akan memakan sagu pada batang rumbia itu, biasanya ikan sitam (karena sisiknya hitam), kuning sisik, kelabau, ikan lemak dan tebang alan. Ketika ikan diperkirakan sedang banyak makan, maka rumbuk diserak dengan jala dari atas. Ikan yang sedang makan seramping akan kena oleh jala.
Keempat, cemetik, adalah sejenis kail yang dapat bingkas (menyentak sendirinya) ketika umpan yang dipasang ditelan serta ditarik oleh ikan. Kail ini mempunyai buru (alat penyentak) dari bambu kecil yang lentur. Buru alat penyentak itu ditancapkan pada tebing sungai.
Tali kail ditarik ke dalam air, sehingga alat penyentak ini melengkung, lalu disangkutkan pada sesuatu yang dapat nanti terlepas ketika umpan dimakan serta ditarik ikan. Ketika umpan dimakan dan ditarik ikan, maka tali cemetik akan melenting ke atas, sehingga mata kail mengena pada ikan.
Kelima, anggua, berupa jaring kecil dengan ukuran lebih kurang 1 x 1 meter. Terbuat dari benang yang kasar dengan mata jaring kurang lebih 5 x 5 Cm. Jaring ini diikatkan pada sebatang bambu kecil, lalu diberi rantai pada bagian bawah untuk pemberat ke dalam air. Tukang anggua (nelayan) akan menebarkan anggua di permukaan air sungai, ketika melihat ada ikan besar (biasanya patin dan juga ikan lainnya) sedang menaikkan kepalanya ke permukaan air.
Sengat dan ridai ikan akan tersangkut pada jaring, sehingga ikan dapat ditangkap, lalu dimasukkan ke dalam perahu. Tukang anggua biasanya akan pakai perahu kecil bergerak menghilir sungai mengamati ikan yang dapat segera ditangkap dengan anggua.
Dalam dunia menangkap ikan ini terkenal sebutan kata a n y i r a n kepada penangkap ikan yang selalu mendapat tangkapan yang banyak. Disebut dengan kata ‘’anyiran’’, sebab orang yang sering banyak mendapat ikan itu, bau badannya sudah sama dengan bau ikan yakni anyir.
Irama waktu menangkap ikan ini sesuai dengan waktu menunaikan shalat –yang dulu disebut sembahyang. Tukang guntang akan pergi mengguntang setelah shalat Subuh sampai waktu Dhuha kira-kira pukul 8 sampai 9 pagi. Rumbuk akan diserak dengan jala selepas waktu Subuh serta selepas waktu Ashar.
Bunbun akan ditunggui atau dijaga sebelum waktu Zuhur serta dapat disambung lagi selepas Zuhur sampai masuk Ashar. Cemetik dipasang setelah shalat Ashar. Dapat ditengok selepas shalat Isya serta sambil mengambil air wudhu shalat Subuh di Batang Kuantan. Sedangkan anggua dapat ditebarkan selepas waktu shalat Zuhur sampai masuk shalat Ashar.
Demikianlah dapat kita bayangkan sejahteranya kehidupan orang Melayu dengan negerinya yang terpelihara, punya alam yang segar lagi indah dengan kicau burung serta pemandangan belantara yang enak dipandang mata. Ini berlaku karena kehidupan mereka tunduk kepada hukum Allah Yang Maha Adil yakni Syariah Islam sebagaimana tergambar bagaimana mereka menangkap ikan sesuai dengan pembagian waktu beribadah serta menyembah Allah Yang Maha Pemurah.
Tapi setelah Indonesia merdeka memakai hukum buatan manusia dengan demokrasi sekuler yang menuhankan suara orang banyak lalu menantang Syariah Islam, maka negeri dan hutan tanah mereka rusak binasa diharu-biru oleh pejabat dan kaki tangan negara yang zalim bekerjasama dengan para cukong pemilik modal yang buas lagi serakah, maka anak negeri sepanjang Batang Kuantan itu kehilangan pedoman hidup yang diridhai Allah Yang Maha Bijaksana. Mereka mengikuti orang banyak di muka bumi, diatur oleh demokrasi sekuler yang hanya mencari bendawi untuk hidup sehingga mereka dipermainkan oleh hidup yang sia-sia.***