Begitulah, rarak gondang godang mengawali raraknya dengan lagu ’’Ciek-ciek’’. Ciek untuak dunio ciek untuak akhirat. Satu untuk dunia satu untuk akhirat. Satu untuk dunia yaitu minum dengan makan. Satu untuk akhirat yaitu amal dengan ibadah. Itulah sebenarnya dua tugas manusia yang utama, yang harus ditunaikannya. Maka dalam dua tugas pokok itu manusia hendaklah mengusahakan mencari minum-makan, pakaian dan perumahan (untuk kepentingan dunia) serta amal ibadah bagai bekal menuju akhirat.
Manusia yang tidak mengarahkan hidupnya terhadap dua perkara pokok itu, akan dipandang sebagai manusia yang tidak menunaikan tugas hidupnya dengan sempurna. Inilah batas minimal kewajiban tiap pribadi. Hanya dengan melaksanakan kewajiban minimal itu seseorang dapat menunaikan kemanusiaannya.
Berpesan orang tua-tua kepada anak cucunya di Rantau Kuantan, “Nan parolu kito buru tigo parakaro: untuak busuak (untuk busuk, yakni barang makanan), untuak lapuak (untuk lapuk, yakni pakaian dan rumah) dan untuak isuak (untuk besok, yakni amal ibadah menuju akhirat). Itulah pitua (nasehat dan amanat) generasi pendahulu di Rantau Kuantan. Petuah itu dikunci dengan sebuah pantun:
Limau mani di muaro koto
Abi dijuluak budak-budak
Abi manangi di pintu surugo
Nak masuak amalnyo tidak
(Limau manis di muara kota
Habis dijuluk budak-budak
Pada menangis di pintu surga
Mau masuk amalnya tidak)
Rarak kemudian pindah kepada lagu ’’Kitang-kitang’’. Lagu ini adalah suatu sindiran kepada orang yang tidak mau diajak kepada jalan yang benar. Jika seseorang mengajak dia, ”Poi ka Surau la kito” (marilah kita pergi ke surau), dia akan menjawab, “Kalian jo la’’ (kalian sajalah). Untuk orang serupa itu telah dibuat pula sebuah pantun untuk bahan renungan.
Ongku oji babaju juba
Ka rimbo mamikek balam
Duduak tamonuang Rasulullah
Mandongar carito Nobi Adam
(Engku haji berbaju jubah
Ke rimba memikat balam
Duduk termenung Rasulullah
Mendengar cerita Nabi Adam)
Kok nan omua kan omua juo nyo Rasulullah, nan indak kan indak juo. Tapi jangan bonci lo kek enyo (yang mau niscaya akan mau juga Rasulullah, yang tidak tentu juga tidak, tetapi janganlah benci kepada mereka).
Apa yang disebut sebagai cerita Nabi Adam ini sebenarnya adalah kata lain dari firman Allah dalam Al Quran surah al-Baqarah ayat 6, “Sesungguhnya orang yang tidak mau beriman itu sama saja atas mereka. Engkau ancam mereka ataupun tidak, mereka tetap tidak akan beriman.’’
Suda itu digugua pulo rarak tigo-tigo. Selepas itu dimainkan pula rarak lagu ‘’Tiga-tiga’’. Maknanya, ada tiga perkara di dunia ini yang amat penting. Pertama, hidup dan mati. Kedua, adat sebagai pedoman pergaulan dalam masyarakat. Yang ketiga, sorak (syarak, hukum agama) yang memberikan jalan lurus menuju akhirat. Jika orang itu hidup, hiduplah dia hendaknya dengan adat yang mulia. Jika dia mati, matilah hendaknya dalam jalan Allah.
Ka mudiak ka Minangkabau
Ka ulak ka Inderagiri
Ka mudiak kan bajarojau
Ka ulak kan dihabisi
(Ke mudik ke Minangkabau
Ke hilir ke Inderagiri
Ke mudik kan bajarojau
Ke hilir kan dihabisi)
Pantun ini memberi isyarat bahwa dalam pandangan adat dan agama tidak seorang pun yang akan dibedakan. Keduanya telah berpijak atas prinsip; adat berdasarkan pengalaman hidup, sedangkan agama adalah kebenaran dari Allah. Tiap orang akan dituntutnya sesuai dengan undang dan garis kebenaran.
Nan badoso dibunua, nan balaku diutangan. Jatua dek panjeknyo, anyuik karono dek ronangnyo. Doso nan mambao mati, laku nan mambao barutang, tangannyo nan manconcang, bahunyo nan mamikual. Takuik karono sala, barani karono bonar. (Yang berdosa dibunuh, yang berlaku dihutangkan. Jatuh karena panjatnya, hanyut karena renangnya. Dosa yang membawa mati, laku yang membawa hutang, tangannya yang mencencang, bahunya yang memikul. Takut karena salah berani karena benar).
Rarak kemudian berkisar kepada lagu ’’Kandidi’’. Kandidi adalah sejenis burung yang suka bermain sambil mencari makan di tepi sungai. Sambil mencari makan burung ini selalu melenggang-lenggokkan ekornya, sehingga penampilannya berlagak terus-menerus. Burung ini tampaknya lebih mengutamakan lenggang-lenggoknya daripada urusan mencari makan.
Sebab itu judul lagu ini memberi bayangan pula akan tingkahlaku yang demikian. Lagu ini hendak menyindir perempuan tua yang tidak menyadari ketuaannya. Dia tak menyadari bahwa umurnya telah mendekati senja, sehingga masih berlagak seperti anak gadisnya. Maka disindirlah penampilan orangtua serupa itu dengan sebait pantun.
Kandidi mudiak an tobiang
Garudo la mamandian anak
La malili cirik kotiang
Nak mudo juo samo jo anak
(Kendidi memudik tebing
Garuda sudah memandikan anak
Sudah meleleh berak di keting
Mau muda juga seperti anak)
Puak Melayu Rantau Kuantan, jika mandi di Batang Kuantan, suka sekali mempermainkan kakinya di dalam air, sehingga menimbulkan beberapa bunyi. Gerakan kaki yang demikian disebut bakacimpuang. Tingkahlaku ini telah menjadi salah satu pula dari nama lagu rarak, ’’Bakacimpuang’’.
Kacimpuang (kecimpung) adalah permainan. Perbuatan itu suatu seni. Tiap perbuatan di dunia ada seninya: kacimpuang pamainan mandi, baulam pamainan makan, bamimpi pamainan tiduar, malenggang pamainan bajalan, bamuluik mani pamainan mangecek.
Peranan seni amat penting dalam perbuatan kita, agar kita disenangi orang. Jika kita bicara, gunakanlah seni bicara yaitu mulut yang manis, kata-kata yang indah dengan iringan muka yang manis pula. Dalam hamparan inilah orang tua masa silam merangkai bidal: nan kuriak kundi, nan mera sago; nan bayiak budi nan inda baso (yang kurik kundi, yang merah saga; yang baik budi yang indah bahasa).
Sungguhpun demikian, permainan itu ada batasnya. Tidaklah patut suatu pekerjaan hanyut dalam permainan saja, sehingga terbengkalai. Permainan dunia ini tak ada ujungnya. Kita akan dipermainkan oleh dunia terus-menerus. Orang yang tidak menyadari hal ini akan jatuh dari satu permainan kepada permainan lainnya. Karena itu untuk menghadapi permainan dunia, orang tua-tua masa silam berpesan lagi melalui pantun.
Mako tagogaula siamang di rimbo
Makannyo si manggi utan
Mako kan abi carito di ruma tanggo
La tasira tana pakuburan
(Maka gemparlah siamang di rimba
Makanannya si manggis hutan
Maka barulah habis cerita rumah tangga
Setelah merah tanah pekuburan)
Rarak gondang godang biasanya menyudahi raraknya dengan lagu ’’Gelang-gelang’’. Gelang-gelang adalah suatu keadaan yang dapat terjadi pada suatu benda yang terapung di atas air. Jika benda terapung itu bergerak-gerak oleh alunan ombak atau tiupan angin, maka benda tersebut dikatakan dalam keadaan tergelang-gelang. Kelapa, basung dan berbagai benda yang terapung di air, akan tergelang-gelang bila berada di atas air kemudian hanyut atau dibawa ombak ke mana saja.
Keadaan tergelang-gelang itu memberikan gambaran tentang sesuatu yang tak tentu arahnya. Ada gerakan atau upaya, tapi tak jelas apa sasarannya. Atau suatu usaha yang tidak sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan. Seseorang yang ingin menjadi orang alim, tentu tidak akan berhasil jika dia tidak sungguh-sungguh mengaji.
Dia akan tergelang-gelang antara sampai dengan tidak. Dia akan terkatung-katung ke manakah jadinya arah hidupnya. Antara orang siak (alim) dengan tidak siak. Dalam keadaan serupa itu, dia telah korban oleh sikap dan perbuatannya sendiri. Batinnya sebagai pangkal pandangan hidup tidak padu. Orang yang berusaha tanggung-tanggung serupa itu dilukiskan oleh sebait pantun seperti dirangkai di bawah ini.
Tuak Mongguang baladang padi
Dijomuar di ate bawak
Siak tangguang kafiar ndak jadi
Masuak naroko dek laku awak
(Tumenggung beladang padi
Dijemur di atas bawak
Siak tanggung kafir tak jadi
Masuk neraka oleh laku awak)
Uraian di atas membendangkan kepada kita bagaimana rarak di Rantau Kuantan telah berbicara tentang dunia dan kehidupan. Rarak membuat semacam lukisan tentang dunia dalam beberapa lekuk-likunya. Bukan membuat pernyataan. Rarak membayangkan tingkahlaku dunia yang pada dasarnya perbuatan manusia, yang dapat dilihat dalam kenyataan serta dirasakan oleh hati.
Rarak tidak menilai dunia dengan suatu pernyataan, sebab suatu pernyataan terlalu singkat, sehingga sulit dipahami. Meskipun rarak Rantau Kuantan menjelaskan arti dunia dengan metafor, lambang dan kiasan, yang sepintas lalu agak tersamar, namun di belakang lambang dan kiasan itu terdedahlah semacam tafsiran tentang dunia dan kehidupan.
Rarak Rantau Kuantan sengaja mengindari pemakaian kata-kata dalam penyampaian makna dunia dan kehidupan. Penyampaiannya telah melalui titian lambang dan kiasan. Ini memberi pertanda bahwa orang patut masa silam sebagai perancang adat dan resam di rantau itu menyadari bahwa pesan dengan memakai kata-kata yang bersifat verbal amat sulit dipertahankan nilainya.
Kata-kata mempunyai suatu kecenderungan yang kuat untuk bergeser. Sebab, kata-kata tak bisa menghindari diri dari erosi makna, karena perubahan ruang dan waktu serta selera nafsu manusia pemakainya. Hal itu berbeda sekali dengan lambang dan kiasan. Konsep dunia dan kehidupan yang dituangkan melalui lambang dan kiasan bisa terhindar dari tafsiran yang melampaui batas. Konsep itu dapat terhindar sedikit banyak dari kemunafikan kata-kata. Konsep tentang ‘tafsir’ dunia bisa selamat dari kemerosotan nilai kata.
Dengan memakai lambang dan kiasan, maka konsep tentang dunia dan kehidupan dari generasi yang arif masa silam yang tertuang ke dalam adat dan resam, dapat berlanjut dan diwariskan dengan utuh kepada generasi berikutnya. Dengan membaca adat dan pusaka yang dikemas dalam bentuk lambang dan kiasan, maka tiap orang akan dapat menemukan ‘mutiara’ leluhurnya dalam keadaan bening, setelah dia kehabisan nafas mencari makna kehidupan ini.***
One comment
Pingback: Potret Dunia dalam Rarak Melayu Rantau Kuantan (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy – Bilik Kreatif