Jika kita memandang orang Melayu sebagai salah satu belahan suku bangsa dalam masyarakat Melayu-Polinesia (Austronesia) di Nusantara ini, maka dalam kesejarahannya puak Melayu Riau telah menerima dengan baik beberapa suku lainnya, terutama yang amat penting dalam pembicaraan ini adalah orang Bugis dan Banjar.
Orang Bugis telah hadir di kerajaan Riau melalui perjalanan sejarah begitu rupa. Mereka bukan hanya sekedar melakukan perkawinan dengan orang Melayu, tetapi juga telah memperoleh kedudukan yang penting dalam teraju pemerintahan kerajaan Melayu, dengan mendapat jabatan sebagai Yang Dipertuan Muda Riau, bagaikan kekuasaan Perdana Menteri dewasa ini. Sultan yang berasal dari garis keturunan Melayu bertindak sebagai Yang Dipertuan Besar, lebih banyak memperlihatkan diri sebagai simbol kerajaan Melayu.
Empat orang bangsawan Bugis—Daeng Merewa, Daeng Celak, Daeng Kamboja dan Daeng Perani—telah diterima sebagai warga kerajaan Melayu oleh kerajaan Riau. Pada tahun 1722, Daeng Merewa menduduki jabatan Yang Dipertuan Muda I. Sementara awal asimilasi biologis dimulai Daeng Celak dengan menikahi adik Sultan Sulaiman dalam tahun itu juga.
Suku Banjar telah merantau ke Indragiri semasa pemerintahan Sultan Isa, sekitar tahun 1885. Orang Banjar telah berhasil membuat daerah (bekas kerajaan) Indragiri bagian hilir menjadi penghasil kelapa serta padi. Dalam bidang pemerintahan, seorang ulama keturunan Banjar telah diangkat menjadi Mufti Kerajaan Indragiri. Beliau adalah Tuan Guru Abdurrahman Siddik bin Muhammad Afif, menjabat Mufti Kerajaan dalam tahun 1930-an, wafat pada tanggal 10 Maret 1939 di Sapat.
Yang menarik untuk dicatat dalam membentangkan kertas ini, ialah bagaimana pendatang Bugis dan Banjar itu telah hidup dengan penampilan budaya Melayu. Setelah mereka diterima sebagai warga di rantau itu disusul dengan nikah-kawin dengan orang Melayu, kemudian mereka mendukung kebudayaan Melayu dengan nafas Islam. Kehadiran dua macam perantau itu dan keturunannya dengan orang Melayu di Riau, ternyata telah melahirkan generasi Melayu yang cukup kreatif dalam dunia karya tulis.
Kebiasaan orang Bugis membuat catatan harian bertemu rapat kepada tradisi Melayu yang suka bercerita dan berpuisi, sebagai salah satu cara mendidik budi pekerti generasi muda. Inilah yang menjadi pangkal daripada niat para ulama pengarang Riau untuk menulis kitab-kitab sejarah, agama dan berbagai syair. Anak cucu atau umat tidak hanya sekedar mendapatkan ilmu pengetahuan dari tulisan itu, tetapi mendapatkan pula semacam ‘’baju kehidupan’’ yaitu akhlak yang mulia.***
(Teks dan Pengarang di Riau, UU Hamidy)