Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang menciptakan manusia menjadi khalifah atau pemelihara di muka bumi. Bagaimana menjadi khalifah yang memelihara segenap makhluk itu, Allah turunkan para Nabi dan Rasul dengan dibekali wahyu yang akan menjadi pedoman mengatur kehidupan umat manusia. Allah Yang Maha Bijaksana benar-benar telah merancang kehidupan yang terpelihara dengan kedatangan para Nabi dan Rasul yang membawa syariah atau aturan Allah.
Manusia hanya menyembah dan beribadah demi Allah semata serta hidup dengan pedoman dari Allah yang disampaikan para Nabi dan Rasul. Manusia tidak mungkin membuat aturan yang benar untuk memelihara kehidupannya, karena hanya diberi ilmu sedikit oleh Allah Yang Maha Bijaksana.
Manusia mustahil tanpa petunjuk Allah dapat membedakan hak-batil, halal-haram serta dosa dengan pahala. Akhirnya Allah Yang Maha Kuasa mengutus penutup para Nabi dan Rasul dengan kedatangan Junjungan Alam Nabi Muhammad Saw, untuk seluruh umat manusia dan juga jin dengan Syariah Islam yang berlaku untuk memelihara segenap alam sampai hari kiamat.
Sungguhpun demikian, dibidas oleh Alquran ternyata hanya sedikit umat manusia yang mau terpelihara oleh hukum Allah yang disampaikan para Nabi dan Rasul. Alquran mencatat hanya sedikit manusia yang bersyukur kepada Allah. Hanya sedikit manusia yang memakai akal sehat menerima kebenaran Allah Ta’ala. Kebanyakan manusia memilih jadi pembangkang alias kafir dan musyrik. Kebanyakan manusia tidak bersyukur serta menolak kebenaran Allah, tidak mau diatur dengan Syariah dari Allah Yang Maha Bijaksana.
Kenyataan ini menarik diperhatikan bagi insan yang melalui hidupnya selamat dunia akhirat. Pertanyaan besar ialah mengapa banyak manusia menolak aturan dari Allah yang disampaikan oleh Rasul-Nya? Padahal itulah jalan hidup yang menjamin manusia akan terpelihara di dunia serta selamat di akhirat tempat kembali selama-lamanya.
Mengapa manusia tidak mau berfikir dengan akal sehat, bahwa Allah Yang Maha Perkasa benar-benar memberi peluang terpelihara hidup di dunia dan kelak akan mendapat hidup bahagia di akhirat dengan masuk surga yang mempunyai 99 rahmat sehingga nikmat surga itu belum pernah dipandang mata, tak pernah didengar telinga serta belum pernah terlintas dalam hati.
Pembangkangan dari kebanyakan manusia ini telah didedahkan oleh Alquran. Setelah Iblis terkutuk tidak taat kepada Allah lantaran memandang dirinya lebih mulia daripada Adam, maka dia meminta tempo kepada Allah sampai hari kiamat, untuk menyesatkan anak cucu bani Adam. Allah memberi tempo kepada Iblis, tapi Allah juga menjamin hamba-Nya yang beramal dengan ikhlas tidak akan terpedaya oleh Iblis.
Sejak itu Iblis dengan syaitan bertekad menyesatkan umat manusia dengan menggoda mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan. Iblis memulai tipu daya dengan membuat manusia lebih percaya kepada akalnya daripada wahyu Allah Yang Maha Bijaksana. Setelah akalnya menolak kebenaran Allah, maka manusia segera jatuh pada maksiat, karena akalnya dikalahkan lagi oleh nafsunya yang liar.
Meskipun Iblis telah berhasil menyesatkan sebagian besar umat manusia dengan menggoda manusia melalui dunia yang palsu, namun dia belum puas. Masih ada manusia yang berpegang kepada Syariah Islam yang bersandar pada Alquran dan as-Sunnah. Iblis ingin menyesatkan semuanya, terutama yang masih taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Iblis menggiring manusia yang sesat membuat tandingan terhadap Syariah Islam dan sistem khilafah yang memeliharanya. Muncullah aturan atau hukum yang dibuat manusia atas dasar suara terbanyak manusia itu.
Itulah demokrasi yang tampil menandingi Syariah dan khilafah. Dengan demokrasi, ketaatan manusia digeser dari taat kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi hanya taat kepada pemimpin saja. Dengan jalan ini demokrasi menuhankan pemimpin atas dasar suara terbanyak. Keadaan ini membuat manusia kembali kepada keadaan kaum Yahudi yang menuhankan para rahib mereka seperti dapat terbaca dalam Hadis Nabi Saw terhadap Adi bin Atim, yang semula beragama Yahudi kemudian masuk Islam.
Lihatlah sistem demokrasi benar-benar menghancurkan kehidupan umat manusia dengan membuat mereka hidup dalam keadaan tertipu lalu berbuat maksiat serta durhaka kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Dalam Syariah Islam, pemimpin yang akan memelihara kehidupan umat itu ditentukan beberapa syarat seperti beriman, balig, berakal, adil, mampu memegang amanah melaksanakan Syariah Islam serta punya martabat dengan akhlak yang mulia.
Sedangkan dalam demokrasi hampir tidak ada syarat keruhanian bagi orang yang akan jadi pemimpin. Sebab semua orang diberi peluang jadi pemimpin, apakah dia baik kelakuannya maupun para penjahat dan pelaku maksiat. Syaratnya cukup satu saja: asal tidak gila. Asal tidak gila, semua orang dapat dipilih jadi pemimpin dalam alam demokrasi. Begitu pula yang akan memilihnya, boleh siapa saja: asal juga tidak gila.
Jadi tak heran, jika demokrasi hanya membuat umat manusia hidup dalam keadaan tertipu, melupakan akhirat tempat hidup yang sebenarnya serta tak bersyukur kepada Allah yang menentukan hidup dan mati. Sementara itu, sebagian besar hidup manusia dalam keadaan tertindas dan sengsara oleh penguasa yang zalim, para kapitalis yang buas, pemegang senjata yang kejam serta orang bagak yang bengis.
Pemimpin umat itu semestinya bukan orang sembarangan, karena akan diberi tanggung jawab yang amat berat. Dia harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah telah menurunkan perintah dan larangan sedangkan Rasul-Nya menyampaikan berita gembira dan peringatan. Inilah yang akan membuka peluang kepada setiap insan mendapat ridha dan rahmat Allah masuk ke dalam surga dengan nikmat yang abadi. Sedangkan dalam demokrasi, orang tak pernah bicara surga dan neraka, karena tertipu oleh gemerlap dunia yang palsu.***