Bung TA Sakti yang tekun dan kreatif,
Surat Bung tanggal 20 Februari 2000, saya terima pada hari Selasa tanggal 7 Maret 2000 di Pekanbaru. Semua kiriman Bung itu memang sudah sampai pada saya. Karya-karya Bung cukup bermakna sebagai dokumentasi, tapi jika Bung suka mendengar penilaian saya, karya itu masih belum memadai untuk memberikan gambaran budaya Aceh dengan semangat masyarakat yang pantang menyerah menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sebab itu, dalam kesempatan yang akan datang karya serupa itu sebaiknya Bung berikan ulasan, di antaranya dengan hubungan karya itu dengan karya lainnya, nilai karya itu bagi masyarakat dan budaya Aceh serta bagaimana karya ini mampu memberikan pencerahan bagi budaya Melayu Nusantara.
Untuk model itu, alangkah baiknya Bung membaca hasil penelitian saya mengenai masyarakat Aceh, melalui kajian cerita rakyat. Mengapa hasil penelitian saya itu dipandang yang terbaik oleh para peneliti ilmu-ilmu sosial (terutama oleh LIPI) karena saya melalui kajian cerita rakyat itu dapat membentangkan bagaimana budaya, masyarakat dan agama Islam di Aceh. Ini adalah suatu hal yang jarang dilakukan orang, sebagaimana biasanya untuk kepentingan itu orang hanya langsung melakukan kajian antropologi dan sosiologi.
Jika model itu Bung kembangkan, maka dari rangkaian kajian terhadap naskah Aceh serta sastra lisan Aceh, Bung akan mempunyai bahan yang melimpah untuk menulis buku belakang hari. Jika nanti telah memadai, Bung bisa menurunkan beberapa judul buku yang telah saya tulis di Riau, yang untuk Aceh dapat diberi judul antara lain:
1. Masyarakat dan Budaya di Aceh
2. Islam dalam Masyarakat Aceh
3. Masyarakat Terasing (Pedalaman) di Aceh
4. Kamus Antropologi Bahasa Aceh
5. Teks dan Pengarang di Aceh
6. Aceh sebagai Pusat Budaya Melayu Nusantara, dan seterusnya
Kalau buku-buku serupa itu telah turun dari pena Bung, maka nama Bung sebagai peneliti, budayawan dan pengamat budaya Aceh, akan melampaui nama-nama terdahulu seperti A Hasjmy (rahimahullah). Dan tampaknya jalan ke situ sedang terbuka lebar bagi Bung dewasa ini.
Saya juga mengharapkan, dalam kajian Bung hendaknya juga terkesan ada perbandingan dengan kajian terdahulu, misalnya dengan kumpulan kajian Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh oleh LP3ES, Sejarah Aceh (oleh M Said) Seulawah Antologi Sastra Aceh dan sebagainya.
Sepanjang saya baca kajian Bung, buku-buku itu jarang Bung pakai sebagai pembanding, sehingga hasil kajian Bung diasumsi (?) kurang memberikan informasi yang luas tentang Aceh, juga menjadi agak sempit. Boleh kita membuat kajian yang sempit tapi dengan ciri yang khas.
Mengenai belajar di Malaysia, sebenarnya bukanlah sulit mencari informasi. Teman saya dulu Nurdin (yang pernah jadi Bupati Pidie) juga bisa memberi gambaran. Tapi pokoknya beasiswa di sana ya hanya cukup untuk hidup di Malaysia. Kalau kita mau hidup seperti orang Malaysia, malah beasiswa itu tak cukup.
Saya dulu dalam tahun 1980, bisa mendapat sedikit simpanan karena saya tinggal di kampung orang Melayu dengan sewa rumah yang murah. Kemudian saya mendapat kepercayaan untuk memeriksa ujian akhir anak SMA di sana (sijil tinggi). Jika hal itu tak berlaku, wallahu a’lam bhissawab.
Tentang keadaan Bung sekarang, niscaya akan memberikan muatan semangat yang besar untuk berkarya lebih banyak dan lebih menarik lagi. Keadaan Bung yang boleh dikatakan cacat, tentulah akan memberikan semangat dan cara kerja yang tekun.
Lihatlah, orang-orang cacat telah melahirkan karya yang agung, seperti Alva Edison yang tuli, Churcil yang pendek, Taha Huseein yang buta dan banyak lagi. Dengan kegiatan Bung sekarang, maka nama Bung sudah masuk mata rantai sejarah di Aceh. Apalagi setelah karya Bung nanti dicetak dan diterbitkan.
Kalau Bung mau, sebenarnya Bung sendiri mampu mengasah pisau sendiri. Kalau kita bersekolah itu artinya kita minta asahkan pisau (otak) kita pada orang lain. Bung bisa mempertajam diri dengan banyak membaca, banyak berpikir tentang objek kajian Bung serta jangan lupa beribadah dengan baik agar mendapat pencerahan dari Tuhan Seru Sekalian Alam. Mengapa Rumi dan Iqbal menjadi bintang dalam dunia Islam, bukanlah oleh gelar kesarjanaan, tetapi oleh karyanya yang jolong dan mengagumkan, yang tak terlintas oleh alam pikiran orang lain.
Nah, begitulah dulu. Bahagialah dengan apa yang telah kita terima dan berusahalah kita menambah karya kita, sebagai cara membuat amal saleh dalam rangka membaca kebesaran Allah dan kekayaann-Nya di alam jagat raya ini. Fak tabiru ya ulil abshar.
Wassalam
UU Hamidy
Catatan: Surat ini diterima Kamis, 30 Maret 2000