Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Sariamin Ismail dalam Horison Sastra dan Budaya Indonesia (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy
Roman karya Sariamin Ismail yang bertajuk Kalau Tak Untung diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka tahun 1913. Foto: nusantaranews.co

Sariamin Ismail dalam Horison Sastra dan Budaya Indonesia (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy

3. Kegiatan dalam Pendidikan

Tahun ajaran 1915/1916 dia masuk sekolah yang bernama Gouvernement School dan tamat tahun ajaran 1920/1921. Berkat kehidupan orangtuanya yang di samping bertani juga bekerja sebagai pemborong bangunan (yang di tempat itu disebut ‘’andema’’) tapi terutama tentu saja oleh kemampuannya yang cukup cemerlang,

Sariamin dapat bersekolah pada Meisjes Normaalschool di Padang Panjang. Ini adalah sebuah Sekolah Guru Perempuan satu-satunya untuk seluruh daerah/wilayah Sumatera. Sariamin menyelesaikan pendidikannya di sana 1921-1925.

Sariamin telah menyelesaikan pelajaran dengan baik pada sekolah Guru Perempuan tanggal 18 April 1925. Tanggal 1 Maret tahun itu juga dia telah berdiri di muka kelas menjadi guru bantu kepada Meisjes Vervolg School (Sekolah Gadis atau Sekolah Lanjutan untuk Anak Perempuan) di Bengkulu. Pengabdiannya dalam bidang pendidikan telah diawali dengan besluid (surat pengangkatan) Nomor 16205/III bertanggal 18 April 1925.

Tahun 1926 dia dipindahkan ke sekolah yang serupa di Matur, Sumatera Barat yang ketika itu baru saja didirikan. Bulan Maret 1927 dipindahkan pula ke Lubuk Sikaping, untuk membina lagi sekolah yang baru. Setahun kemudian bulan Maret 1928 pindah lagi ke Bukittinggi. Desember 1929 Sariamin pindah ke Padang Panjang Leerschool, sampai mendekati masa tugas delapan setengah tahun.

Bulan April 1939 dia pindah ke Payakumbuh, karena gerakan bawah tanah yang bernama GIM (Gerakan Ingin Merdeka) di mana dia ikut sebagai anggota, mulai dicurigai oleh Belanda. Masa berikutnya yang jatuh pula bulan April 1941dia berumah tangga dan berhenti jadi guru.

Bulan Juni 1941 itu, Sariamin dengan suaminya Ismail, merantau ke Teluk Kuantan, Riau. Lalu jadi guru kembali pada Schahel School kepunyaan Kuantan Institut. Ketika kedatangan Jepang 1942, Kuantan Institut ditutup dan Sariamin ikut mendirikan Meisjesvolg School. Tahun 1945 masih juga di Teluk Kuantan mengajar pada kursus guru dan SMP.

Tahun 1946 dia dipanggil ke Pekanbaru untuk diangkat menjadi Kepala Sekolah Rumah Tangga yang didirikan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Tahun 1952 turut mengajar pada SMA Swasta Setia Dharma. Tahun 1955 didirikan SMA Negeri di Pekanbaru dan Sariamin menjadi guru honorer. Setahun kemudian dia diangkat menjadi guru tetap pada SMA Negeri itu, sampai tahun 1968.

Dengan demikian, Sariamin Ismail telah mengabdi pada pendidikan selama 43 tahun, bukan sebagaimana mestinya, hanya 35 tahun saja. Menurut keterangan seorang Inspeksi SMA di Jakarta, guru wanita pertama di Indonesia yang mengajar di SLTP atau SLTA yang mengajar dalam jangka waktu selama itu, hanya Sariamin sendiri. Dia telah pensiun dalam usia 60 tahun.

4. Kegiatan dalam Kesusastraan

Pada awal tulisan ini telah dikatakan kegiatan yang menjadi titik fokus kehidupan Sariamin. Namun cahaya yang diperlihatkan oleh buah karyanya, ternyata cukup gemilang. Bagaimanapun juga titik sasaran misi kehidupannya, ialah membuat horison yang luas bagi kehidupan bangsanya.

Terutama suatu cakrawala yang relatif layak bagi kaum wanita. Oleh sebab itu, dia juga ingin memberi bukti kepada dunia lingkungannya dewasa itu, bahwa seorang perempuan, bukanlah pertama-tama hanya untuk hidup di dapur, tetapi juga dapat pada bidang lain. Dunia karang-mengarang bukanlah dunia kemampuan lelaki semata. Kaum perempuan bisa berbuat serupa itu.

Mata hatinya melihat dengan tajam, bahwa jumlah tahun di bangku sekolah belum tentu dapat membuat budi manusia jadi halus, meskipun sebagian besar otak manusiatelah banyak yang dapat dilatih pada sekolah itu. Jadi tetap ada satu sisi yang lemah pada bangku sekolah.

Pribadi yang halus, iman yang teguh, dan kemampuan kerja keras yang jujur, masih perlu ditumbuhkan melalui misi lain yang pesannya tidak terbatas oleh tembok dan dinding sekolah. Inilah satu di antara latar belakang lingkaran perhatian Sariamin kepada dunia sastra dan tulis menulis.

Menyadari keadaan itu, maka selepas tamat Sekolah Guru Wanita, tahun 1926 dia mulai menulis. Sejumlah tulisannya, jelas memberi arah kepada satu tujuan yang cukup besar nilainya bagi masyarakat dewasa ini. Perhatikan beberapa tulisannya dewasa itu:

~ Betapa Pentingnya Anak Perempuan Bersekolah
~ Tak Perlukah Ditambah Sekolah Gadis di Sumatera?
~ Tugas dan Kewajiban Guru
~ Bahaya Kawin di Bawah Umur

Sebagian besar dari tulisan-tulisan pengarang ini telah dimuat dalam majalah Assaraq pimpinan Rustam Effendi dan Rasyid Manggis, sebuah majalah kepunyaan perkumpulan wanita di Sumatera Barat ketika itu.

Roman buah kreatif Sariamin bernama Kalau Tak Untung, memberi ikhtiraf kepadanya sebagai seorang pengarang wanita dalam tahun 30-an yang cukup berhasil. Semenjak roman yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1913 itu, maka nama Sariamin tidak lagi sekadar itu, tetapi dikenal pulalah nama Selasih. Bahkan bukan hanya setakat itu, nama samaran Seleguri juga muncul.

Sariamin ternyata mempunyai kemampuan mengarang yang cukup hebat. Dia mengarang buku bukan menunggu angin, yang sering dikatakan menanti ilham atau inspirasi. Dia lebih terikat oleh waktu daripada oleh faktor lain. Begitulah roman Corak Dunia, telah dikarangnya dalam 3 bulan, sedangkan romannya yang paling terkenal Kalau Tak Untung, selesai dalam waktu 6 bulan.

Di samping roman yang dapat dibaca, dia juga menulis naskah untuk dipentaskan. Beberapa karyanya yang serupa itu:

~ Cermin Perbandingan
~ Dahulu dan Sekarang
~ Harapan Ibu
~ Jalan Mana yang Akan Dituruti
~ Adikku Misrani
~ Nasehat Kakak
~ Si Malin Kundang
~ Rancak di Labuah
~ Puti Payung Laut
~ Dan lain-lain

Kegiatan mengarang dalam bentuk fiksi dan puisi sebagian besar berbanding terbalik dengan jalannya usia. Makin lanjut usia, makin sedikit kegiatan mengarang. Itu wajar, dalam batas alam. Begitu juga kegiatan Sariamin. Tetapi bagaimanapun juga, pena Sariamin memang tak pernah kering. Anda akan heran jika dibukakan lagi satu bab kegiatan pengarang ini.

Dalam penghujung masa hidupnya, melewati usia 70 tahun, orang tua ini ternyata masih mampu menggoreskan pena, untuk menghantarkan getaran sukmanya. Dalam masa terakhir ini dia masih mampu menyesaikan karangannya:

~ Kembali ke Pangkuan Ayah (novel dalam bahasa Indonesia)
~ Di Pusara Ibu (novel remaja dalam bahasa Indonesia)
~ Musibah Membawa Bahagia (novel remaja dalam bahasa Indonesia)
~ Rangkiang Luluih (legenda dalam dialek Minangkabau)
~ Bujang Tiaman (roman cara Minang, dalam dialek Minangkabau)

(bersambung)

(Bahasa Melayu dan Kraetivitas Sastra di Riau, UU Hamidy)

Sariamin Ismail dalam Horison Sastra dan Budaya Indonesia (Bagian 3), Oleh: UU Hamidy

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *