Kedatangan bulan puasa atau bulan Ramadan telah dinanti oleh orang yang beriman dengan rasa gembira. Dinanti dengan rasa gembira, karena dalam bulan Ramadan itu terbuka peluang melakukan ibadah yang sangat besar ganjarannya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Inilah bulan yang terbaik dalam setahun, bahkan bernilai 1.000 bulan dalam amalan.
Melakukan ibadah dalam bulan puasa benar-benar dapat mengharapkan untuk menghapus segala dosa, sehingga kematian dapat dinanti dengan hati yang tentram mengingat Allah. Sementara di akhirat dapat diharapkan terlepas dari siksa neraka yang amat dahsyat. Kemudian dengan keridhaan Allah dapat menikmati surga sebagai tempat kembali orang beriman yang tiada tara.
Sungguhpun demikian, kategori amal saleh bukanlah terdiri dari syarat yang ringan sebagaimana syarat-syarat buatan manusia dalam dunia demokrasi sekuler. Kategori amal saleh paling kurang harus memenuhi niat yang ikhlas, dilakukan dengan sungguh-sungguh demi mendapat ridha Allah serta menurut tuntunan syariat Islam sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Melakukan dengan ikhlas adalah perkara yang berat. Hal ini amat berbeda dengan niat dalam alam demokrasi yang tindakan hanya ditujukan untuk mencari kekayaan, kekuasaan, kemashyuran, penampilan yang gemerlap dengan berbagai aksesori dunia lainnya. Sebab tujuan hidup dalam dunia demokrasi bukan pertama-tama untuk beribadah dengan ikhlas kepada Allah, tetapi untuk mendapatkan kesenangan dunia yang menipu.
Maka niat yang ada dalam hati orang beriman akan mendapat cabaran dari demokrasi sekuler yang memuja dunia. Sebab itu niat yang kokoh dan suci dari segala noda, benar-benar mendapat tantangan dari iklim hidup demokrasi yang memuja syahwat dan syubhat.
Syarat kedua dilakukan dengan sungguh-sungguh menurut tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bisa lebih berat lagi daripada syarat niat yang ikhlas. Ini terjadi karena melakukan ibadah puasa dengan sungguh-sungguh, berhadapan dengan kenyataan hidup dunia demokrasi sekuler yang mencampakkan hukum-hukum Allah.
Demokrasi sekuler hanya mau memakai hukum kehendak manusia yang diragukan kebenarannya. Tidak mau memakai hukum Allah yang tiada diragukan lagi kebenarannya. Demokrasi membuat segala sesuatu menjadi syubhat alias samar-samar. Tidak jelas beda hak dengan bathil, tidak jelas beda yang haram dengan yang halal, sehingga yang haram jadi halal, yang halal jadi haram.
Karena itulah demokrasi yang tidak mau dipandu dengan hukum Allah itu, hanya membuat aturan khusus selama bulan puasa dengan menutup tempat-tempat maksiat siang hari. Padahal maksiat dunia demokrasi di luar tempat maksiat jauh lebih hebat lagi.
Lihatlah dalam dunia demokrasi, perempuan berpakaian di mana-mana membuka auratnya dengan merangsang, bagaimana lelaki beriman akan menundukkan pandangannya. Kemudian perhatikan transaksi riba hampir berlaku pada segala sektor keuangan, jual-beli di berbagai pasar serta pada hampir segala perdagangan dan perusahaan.
Maka ke mana orang beriman bisa mendapatkan transaksi keuangan yang tidak mengandung unsur riba. Kemudian perhatikanlah dunia layar kaca menggoda hawa nafsu, penampilan laman internet, film-film porno yang karut-marut, juga laman suratkabar dan majalah yang selalu mendedahkan aurat, perkelahian yang sadis, ditambah lagi dengan kata-kata yang vulgar (kasar dan cabul). Hanya berapa yang layak dipandang oleh orang beriman yang berpuasa.
Orang beriman ingin beramal saleh dengan sungguh-sungguh dalam berpuasa, tetapi dunia demokrasi menyambutnya dengan berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh pula. Dalam dunia demokrasi, agama Islam bukan dipandang sebagai rahmat bagi alam semesta, tetapi Islam dicemooh, dihina dengan sinis, dipermainkan dengan karikatur yang konyol dan akhirnya dipandang sebagai ancaman. Dengan demikian, alangkah senangnya setan memakai demokrasi untuk menyesatkan orang-orang beriman.***