2. Pertumbuhan dan Perkembangan Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia
Sejarah bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia telah mengalami dua hal. Yakni pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan menyangkut aspek bentuk dan kekayaan bahasa (aspek linguistik), sedangkan perkembangan menyangkut peranan dan perluasan masyarakat daerah pemakainya (aspek sosial). Ternyata, dari sekian banyak bahasa dan dialek di Nusantara, bahasa Melayulah satu-satunya bahasa yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang begitu pesat. Ini terjadi antara lain karena daerah pemakai bahasa itu yakni Selat Melaka dan sekitarnya, yang amat bagus sekali letaknya.
Daerah itu dilalui arus pelayaran yang ramai dan memainkan peranan sebagai pusat dagang antar-bangsa. Dengan letak yang demikian, bahasa Melayu bertembungan dengan bahasa dunia, seperti bahasa China, Portugis, Arab, Belanda, Inggris dan lain sebagainya sehingga bahasa Melayu mendapat sentuhan budaya yang relatif tinggi. Keadaan itu mendorong pertumbuhan bahasa tersebut. Sementara itu, orang Melayu semasa itu memainkan peranan sebagai pedagang dan pelaut. Bahkan pusat kekuasaan seperti Melaka, telah membuat bahasa Melayu tesebar luas di kepulauan Nusantara.
Berpegang kepada pertumbuhan dan perkembangan yang melebihi bahasa-bahasa lainnya di Nusantara, maka perjalanan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia dapat diterangkan dari tiga sisi, yakni sejarah, politik dan ilmu pengetahuan. Dari sisi sejarah, bahasa Melayu telah terpakai sejak zaman Sriwijaya abad ke-7 Masehi. Piagam-piagam Bahasa Melayu terentang dari kota Kapur, Karang Berahi, Kedukan Bukit (bertarikh 680-an) sampai Minye Tujuh di Aceh tahun 1380 M.
Pada zaman kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu telah dipakai sebagai bahasa kerajaan (resmi) bahasa dagang dan bahasa agama. Semasa itu, bahasa Melayu telah menyerap unsur-unsur bahasa Sansekerta melalui ajaran Hindu-Buddha serta mengenal huruf Pallawa dan Dewanagari. Hasilnya, antara lain bahasa Melayu menjadi bahasa sastra, yang warisannya berupa mantera, masih cukup dikenal luas dalam sastra Melayu sampai saat ini.
Kebesaran Sriwijaya dari abad ke-7 sampai ke-11 Masehi dilanjutkan oleh kebesaran kerajaan Melaka abad ke-14 sampai ke-16 Masehi; keduanya sama-sama kerajaan kelautan. Jika Sriwijaya punya pengaruh sampai Campa, Siam dan Kamboja, maka Melaka sampai ke Timor-Timur, Tidore dan Ternate. Peranan bahasa Melayu zaman Melaka hampir sama dengan peranan semasa Sriwijaya. Kerajaan Melaka juga memakai Bahasa Melayu sebagai bahasa kerajaan (negara) bahasa dagang serta bahasa agama, yakni Islam.
Sejak zaman Melaka (dan juga Aceh), bahasa Melayu telah diperkaya oleh bahasa Arab dan kebudayaan Islam. Dua sumber Islam yang penting yaitu Quran dan Hadist Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam telah membuka peluang bagi bahasa Melayu memasuki bahasa ilmu pengetahuan. Pengaruh budaya Islam melalui bahasa Arab, telah menyebabkan munculnya tulisan Arab-Melayu, yang kemudian terpakai luas untuk kepentingan pendidikan.
Rentangan pertumbuhan dan perkembangan bahasa Melayu yang begitu panjang, telah menyebabkan bahasa ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat zamannya, yang tersebar luas di pesisir pantai dan kota pelabuhan. Inilah yang menyebabkan bahasa Melayu menjadi bahasa pergaulan antar-suku dan bangsa di bandar-bandar Asia Tenggara, sehingga terkenal sebagai lingua franca. Dengan menguasai bahasa ini, orang dapat melakukan hubungan dengan siapa saja pada setiap kota dagang di rantau ini.
Untuk membicarakan bahasa Melayu di sudut politik (kekuasaan), ada baiknya dimulai dengan kedatangan bangsa Barat, sebab merekalah nanti yang membentuk geopolitik di Nusantara. Bekas kekuasaan Sriwijaya dan terutama Melaka, kemudian tercabik-cabik oleh keserakahan kekuasaan Barat. Meskipun begitu, kedatangan bangsa Barat ternyata juga memberikan peluang yang makin besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan bahasa Melayu. Meskipun hal ini bukan merupakan tujuan kehadiran mereka.
Satu-satunya bahasa yang mendapat perhatian besar oleh orang-orang Barat (terutama Belanda dan Inggris) ialah bahasa Melayu. Ini terjadi karena mereka menjumpai kenyataan bahasa Melayu sudah menjadi bahasa yang dominan, baik pada pusat kerajaan seperti Melaka maupun kota-kota dagang di pesisir pantai. Dengan menguasai bahasa Melayu, mereka dapat berhubungan dengan berbagai suku dan bangsa di kepulauan Nusantara.
Kenyataan sosio-linguistik bahasa Melayu menyebabkan orang-orang Barat merasa perlu membuat kajian terhadap bahasa ini. Pengajian bahasa Melayu itu semula untuk kepentingan dagang, tapi kemudian berpindah kepada kepentingan politik, di samping untuk penyebaran Nasrani. Maka muncullah berbagai kamus dari tangan bangsa Eropa itu.
Tahun 1521 muncullah semacam kamus yang bernama Daftar Kata Melayu (Italian-Malay) olah Pigafetta. Pigafetta sebagai anak buah kapal Victoria dengan Kapten Magelhaens, mengumpulkan kata-kata Melayu di kepulauan Maluku. Tahun 1603 terbit lagi buku percakapan Melayu di Amsterdam, dari Frederick de Houtman dengan judul Spraeck Woordboek in de Malaeycheen Madagaskar Talen.
Tahun 1623 muncul kamus Melayu Belanda dan Belanda-Melayu oleh dua orang bangsa Belanda yakni Caspar Wilten dan Sebastian Danclaerts di Den Haag. Tahun 1677 ada lagi kamus Melayu yang disusun oleh Justus Heurnius. Tahun 1701 selesai pula kamus Melayu-Inggris dan Inggris-Melayu oleh Thomas Bowery di London. Tahun 1895 rampung pula kamus Melayu-Inggris yaitu A Malay English Dictonary karya RJ Wilkinson.
Lalu pada akhir abad ke-19 ada lagi kamus An English-Malay Dictionary oleh WG Shellabear. Deretan kamus itu cukup panjang. Kemudian muncul pembahasan tata bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, dari sudut pandang bahasa fleksi sebagaimana sifat bahasa-bahasa Eropa sebagai bahasa Indo-German, di samping pembicaraan mengenai sastra Melayu seperti pantun dan berbagai hikayat atau syair.
Baik untuk kepentingan dagang maupun kepentingan politik bahkan juga untuk penyebaran agama Nasrani, bangsa-bangsa Eropa tak dapat melepaskan diri dari bahasa Melayu. Agaknya, orang Portugis yang menguasai Melaka sejak tahun 1511-1541 merupakan penguasa Barat yang pertama memakai bahasa Melayu sebagai bahasa kekuasaan. Tetapi aneh, dari tangan orang Portugis tidak muncul buku-buku mengenai bahasa Melayu. Dari sekian penjajah bangsa Eropa, yang paling banyak menentukan jalan nasib bahasa Melayu di Indonesia ialah penjajahan Belanda.
Pada tahun 1799, Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) berakhir. Belanda yang hadir sejak mendaratnya Cornelis de Houtman di Sunda Kelapa tahun 1596 dan menjadi pedagang sampai 1799, kemudian berubah menjadi penjajah. Ini mereka lakukan di samping berpangkal kepada keserakahan kolonial dan mungkin juga untuk balas dendam kekalahan dalam Perang Salib. Perubahan kedudukan dari pedagang menjadi penjajah, menyebabkan Belanda harus mencari bahasa resmi (bahasa pemerintahan kolonial) untuk menjalankan roda kekuasaan. Pada masa itu menurut Umar Junus, Belanda berhadapan dengan 3 pilihan:
a. Memakai bahasa Belanda;
b. Memakai bahasa daerah di Indonesia (Hindia Belanda);
c. Memakai bahasa Melayu
Belanda tentu saja ingin memakai bahasa Belanda untuk kepentingan kekuasaan itu. Tetapi ini tak mungkin, sebab anak negeri (bumi putra) sebagian besar tidak memahami bahasa Belanda. Pilihan kedua juga sulit. Sebab, Belanda akan terpaksa memakai sejumlah bahasa daerah, yang belum tentu sudah mereka kenal. Tetapi bahasa Melayu yang mana yang layak menjadi bahasa resmi itu? Dalam masa itu paling tidak ada tiga macam kualitas bahasa Melayu, yakni bahasa Melayu pasar, bahasa Melayu dialek dan bahasa Melayu Riau.
Bahasa Melayu pasar tak mungkin dipakai sebagai bahasa resmi, karena bentuknya yang begitu banyak ragamnya, sebab bercampur-baur dengan berbagai bahasa asing, terutama bahasa China, dalam struktur yang tidak dipelihara. Bahasa ini memang hanya sebatas untuk kepentingan pasar, dalam batas jual beli yang dapat dipahami satu sama lain.
Bahasa Melayu dialek pada beberapa daerah, juga sulit dipakai. Di samping pengucapannya amat buruk, karena terpengaruh oleh dialek setempat, juga terlalu banyak bermuatan kosa-kata bahasa daerah. Maka ternyata bahasa Melayu yang baik dan terpelihara itu adalah bahasa Melayu yang terbina di Riau, yang sebelumnya sudah menjadi bahasa resmi oleh kerajaan Melaka hampir 300 tahun.
Tindakan Belanda menjadikan bahasa Melayu yang terpelihara di Riau sebagai bahasa resmi, menyebabkan bahasa ini dikenal juga sebagai bahasa Melayu Tinggi. Mendapat predikat tinggi, di samping menunjukkan kualitasnya yang tinggi dari bahasa Melayu lainnya, juga karena terpakai dalam kegiatan pemerintahan oleh pejabat dan pegawai Belanda, yang relatif tinggi dari pada kalangan orang kebanyakan yang sering hanya memakai bahasa daerah setempat atau bahasa Melayu rendah seperti bahasa Melayu pasar dan bahasa Melayu dialek.
Kenyataan ini memberi bukti bahwa peranan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi (kerajaan) tetap dapat dipertahankan sejak zaman Sriwijaya, Melaka sampai penjajahan Belanda. Kedudukan ini juga menjadi peluang makin besar kelak untuk menjadikan bahasa Melayu yang terpelihara di Riau itu menjadi bahasa kebangsaan dan bangsa negara (resmi) oleh bangsa Indonesia.
Belanda punya tujuan mestilah bahasa Belanda yang dominan dalam kehidupan bangsa Indonesia yang masa itu disebut bumi putra Hindia Belanda. Mereka memakai bahasa Melayu Riau sebagai bahasa resmi hanyalah untuk keadaan darurat. Oleh sebab itu Belanda tetap memperlakukan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi kelas satu, sementara bahasa Melayu dengan kedudukannya sebagai bahasa resmi kelas dua.
Untuk mencapai tujuan itu Belanda menyusun politik bahasa kolonial yang pada pokoknya berbunyi, ‘’Menolong bangsa Hindia (bangsa Indonesia) membangun masa depan dan menolong bangsa Belanda mempertahankan masa silam’’. Dalam pelaksanaannya, Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk bumi putra agar kalangan terpelajar segera menguasai bahasa Belanda.
Di antara firman Allah bermaksud, ‘’Engkau membuat tipu daya, sesungguhnya tipu daya Kami lebih hebat’’. Firman ini berlaku untuk tipu daya Belanda. Sebenarnya di sekolah-sekolah bumi putra itu, kata A Teeuw, Belanda hanya memberi jalan pilih satu di antara dua: pakai bahasa Belanda atau bahasa daerah. Tetapi dalam kenyataannya, yang dapat diterima ialah bahasa Melayu.
Akibatnya, Belanda terpaksa membuat surat keputusan (Koninklijk Besluit) yakni K.B. No. 104 Tahun 1871 yang berbunyi, ‘’Pengajaran dalam sekolah-sekolah bumi putra dilakukan dalam bahasa rakyat; jika tak dapat dipakai, baik oleh sebab kurang kemajuannya, baik karena tak ada alat-alatnya, pengajaran diberikan dalam bahasa Melayu’’.
Jalan darurat yang dilalui Belanda dalam bidang politik, ternyata juga harus dilakukan dalam bidang pendidikan atau ilmu pengetahuan. Belanda terpaksa lagi memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat dewasa itu. Tahun 1851, Belanda membuat sekolah guru untuk bumi putra. Pada tahun 1879 dibukalah sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempuan. Ketika itu dipakailah bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Keadaan ini semuanya tentu saja memberi keuntungan yang besar bagi kemajuan bahasa Melayu.
Melihat kenyataan serupa itu, Belanda berusaha mengurangi peran bahasa Melayu. Pemakaian bahasa ini segera dikurangi, setelah semakin banyak bangsa Indonesia menguasai bahasa Belanda. Pemakaian bahasa Melayu akhirnya bersifat mana suka (fakultatif). Sementara itu, terhadap pemakai bahasa Belanda terbuka berbagai kemudahan, sehingga orang sampai mengatakan, ‘’Met Holandalles, zonder Holandniet’’ (dengan bahasa Belanda tercapai apa saja, tanpa bahasa Belanda jangan mengharap).
Bagaimanapun bahasa Belanda memberikan cakrawala kehidupan bagi pemakainya, tetapi ternyata di mata bumi putra bahasa itu tetaplah bahasa penjajah. Di sebelahnya, bahasa Melayu tetap bertahan, bahkan semakin kuat. Bahasa ini dirasakan sebagai milik sendiri, berbeda dengan bahasa Belanda. Inilah yang mendasari bahasa Melayu yang pernah terpelihara di Riau itu, diangkat menjadi bahasa kebangsaan dalam Sumpah Pemuda tahun 1928.
Jika Belanda hanya memakai bahasa Melayu sebatas bahasa resmi kelas dua dan bahasa pengantar, maka kalangan terpelajar yang berjiwa kebangsaan, memakai bahasa itu dalam muatan politik. Bahasa ini menjadi alat pemersatu bangsa untuk menghadapi Belanda. Tentulah atas pertimbangan ini, redaksi Melayu atau Melayu Riau tak mungkin dipertahankan lagi. Sebab tanah tumpah darah atau tanah air itu tidak lagi bernama Melayu, tetapi bernama Indonesia. Maka dari peranan sebagai bahasa kebangsaan, bahasa tersebut juga dikokohkan menjadi bahasa negara atau bahasa resmi, sebagai mana ditetapkan dalam Bab XV Pasal 125 36 UUD ‘45: Bahasa negara ialah bahasa Indonesia. (bersambung)
(Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau, UU Hamidy)