Dalam bidang sastera, masyarakat Melayu di Riau membedakan antara seniman sebagai orang yang mengarang atau menggubah suatu karya dengan seniman yang hanya sekadar menampilkan karya itu dalam realisasi yang artistik. Seniman yang menggubah karya sastera disebut sebagai ‘’pengarang’’, sedangkan seniman yang menampilkan karya sastera itu disebut dengan ‘’tukang’’.
Yang tergolong kepada seniman pengarang ini tentulah para penulis syair dan hikayat. Sebagian di antara mereka ini merupakan pengarang dari abad ke-19, seperti Engku Haji Tua, Raja Ali Haji, Raja Abdullah alias Abu Muhammad Adnan, Raja Aisyah Sulaiman dan sebagainya. Sebagian lagi tentulah tak dikenal lagi, namun berbagai syair dan hikayat itu telah diterjemahkan atau disadur oleh para pengarang Riau, atau mungkin lagi telah mereka salin.
Kelompok pengarang ini sebagian besar berasal dari kaum yang pandai tulis baca, terutama pada masa dulu tulis baca Arab-Melayu. Sebab itu kelompok ini biasanya mempunyai panca indera yang baik atau tidak cacat. Tetapi meskipun demikian, mereka sendiri belum tentu dapat menampilkan karya tulisanya itu untuk didengar oleh orang ramai, dalam suatu penampilan yang indah.
Lain halnya dengan kelompok seniman tukang. Mereka ini misalnya tukang kayat (pembaca hikayat), tukang koba (pembaca khabar, cerita), tukang berdah dan sebagainya. Kelompok ini mempunyai keistimewaan dalam kemampuan suara yang indah serta daya ingat yang tahan lama. Rupanya, suara yang indah dan daya ingatan yang tahan lama, banyak dimiliki oleh orang buta dalam masyarakat Melayu di Riau.
Dewasa ini, di antara seniman dengan kualitas tukang ini, tidak kurang tiga orang di antaranya dalam keadaan buta, namun mempunyai penampilan suara yang banyak disenangi oleh masyarakat. Pertama dapat disebutkan Jumat, yaitu seorang tukang kayat di Rantau Kuantan. Jumat telah menjadi tukang kayat tidak kurang dari 45 tahun. Dia dengan temannya Juman dapat membawakan Hikayat Hasan dan Husin (yang terkenal dengan kayat porang), Syair Kanak-kanak dan kayat pantun.
Yang kedua ialah Ganti, seorang seniman atau tukang baca koba di daerah Rokan. Ada bermacam koba di daerah itu, satu di antaranya yang terkenal ialah Koba Dalong. Seorang pembaca koba itu yang bernama Jama, sampai mendapat panggilan Jama Dalong. Seniman yang buta lagi ialah Hasyim, seorang pembaca atau tukang lamut di daerah Tembilahan, Inderagiri Hilir. Lamut adalah semacam kesenian tradisional Banjar.
Tampilnya orang-orang buta sebagai seniman dalam dunia Melayu (di Riau) telah memberi jalan kepada mereka untuk mendapatkan lapangan kehidupan. Dengan cara ini, orang-orang cacat itu tidak lagi menjadi beban ekonomi sanak keluarga dan masyarakat. Seniman dari kalangan buta ini mendapat sambutan yang hangat dalam masyarakat Melayu di Riau, karena dengan memanggil mereka menampilan pembacaan hikayat atau syair, dipandang sebagai cara menolong mereka memperoleh nafkah. Di samping itu, pembacaan hikayat dan syair tersebut kebanyakan mengandung nilai-nilai ajaran Islam, sehingga kehadiran mereka sebagai seniman juga telah memberi nilai dakwah bagi umat, terhadap ajaran Islam.
Jika dibandingkan masyarakat pedesaan dengan perkotaan di Riau dalam hal teks sastera ini, maka akan kelihatan beberapa hal. Tradisi lisan tampak masih bertahan di pedesaan. Begitu juga pemakaian huruf Arab-Melayu masih dipergunakan oleh beberapa seniman dalam menyalin beberapa hikayat dan syair—meskipun jumlah mereka semakin berkurang.
Berbagai hikayat dan syair yang bernafaskan Islam seperti berdah, hikayat Hasan dan Husin, berzanji, zikir serta syair atau nazam kanak-kanak, masih bertahan dalam kehidupan pedesaan di Riau. Hikayat Tengkorak Kering, kembali mendapat perhatian, sehingga beberapa upacara agama maupun permintaan keluarga semakin banyak terhadap hikayat tersebut. Daya tariknya untuk menyadarkan orang agar beragama dengan sungguh-sungguh, dipandang cukup hebat. Rupanya gambaran kematian dan azab kubur yang dilukiskan oleh hikayat itu, telah banyak membangkitkan kembali semangat iman bagi orang-orang yang lalai.
Di belahan perkotaan, tampak gejala yang merosot daripada penampilan teks serupa itu. Hal itu tampaknya berkaitan dengan beberapa hal. Kehidupan kota yang individualis dan relatif lebih sibuk dari pedesaan, serta banyaknya media cetak seperti suratkabar dan majalah, telah banyak mendesak mereka begitu rupa, sehingga semakin terbatas kesempatan untuk mendengarkan berbagai teks secara lisan bersama-sama. Juga tekanan masyarakat kota yang relatif lebih kuat terhadap aspek material ikut mempengaruhi sedikit banyak, akan minat mereka untuk mendengarkan penampilan teks secara lisan, yang biasanya banyak memberikan peringatan betapa ajaran agama tak dapat dilupakan, jika masih menyadari betapa kematian akan datang setiap saat.
Menipisnya kemampuan orang Melayu menguasai huruf Arab-Melayu dalam generasi muda sekarang ini, sudah mulai menimbulkan kecemasan betapa jumlah kekayaan budaya bisa terlantar di belakang hari. Sebab itu, dewasa ini mulai dianjurkan kepada sekolah dasar di Riau agar memberikan kembali pelajaran membaca dan menulis huruf Arab-Melayu. Jika hal ini mendapat perhatian sehingga kemampuan tulis baca Arab-Melayu menjadi satu budaya yang penting oleh orang Melayu di Riau, niscaya berbagai teks lama yang tertulis atau tercetak dalam huruf Arab-Melayu, akan dapat lagi memperoleh penyegaran dalam budaya Melayu di rantau ini. Jika hal itu tidak berhasil, maka sekurang-kurangnya tindakan mengalihkan aksara dari Arab-Melayu kepada Latin, hendaklah dilakukan dengan segera terhadap semua teks yang memakai aksara tersebut, sebelum teks atau naskah itu rusak dimakan zaman.***
(Teks dan Pengarang di Riau, UU Hamidy)