Islam membenarkan jual beli harta benda. Sebab jual beli harta benda pada pokoknya adalah perubahan ujud benda saja. Sedangkan perubahan ujud benda itu hanya sebatas untuk kepentingan hajad hidup jasmani. Jika perubahan atau pertukaran ujud benda seperti uang menjadi barang atau sebaliknya, tidak dibenarkan, tentulah keperluan hidup jasmani akan terganggu. Akibatnya keberlangsungan hidup menurut sunnatullah kurang berjalan lancar.
Sementara itu jual beli hati nurani tak mungkin dapat diterima oleh Islam bahkan mungkin juga oleh agama lain yang menghargai kemanusiaan. Mengapa demikian? Perhatikanlah etimologi kata hati nurani yang terdiri dari kata hati dan nurani. Di sini kata hati bukan semata-mata merujuk kepada semacam benda kasat mata berupa organ tubuh atau isi perut yang kadangkala disamakan juga dengan jantung.
Makna hati dalam rangkai kata itu lebih terarah kepada sesuatu yang amat halus dan lembut, yang belum tentu dapat diraba oleh pancaindra, sebagaimana pernah diterangkan oleh Imam Al Ghazali tentang keajaiban hati. Meskipun ada hubungan antara hati biologis (yang kasat mata) dengan hati yang tak dapat diraba, namun yang terakhir merupakan komponen utama manusia. Sebab, di situlah tempat singgah nur atau cahaya ketuhanan, sehingga hati berupa itu, disebut juga rumah Allah. Jadi pantaslah dirangkai dengan nurani, sehingga menjadi hati nurani.
Mereka itu sebenarnya lalai, sehingga tak sadar, bahwa yang dijualbelikan itu adalah hakikat manusia itu sendiri. Jika hakikat kemanusiaan dipermainkan dengan jual beli, maka martabat manusia akan hancur.
Hati nurani punya daya tanggap atau persepsi, sehingga dapat dimintai pertimbangan atau tanggungjawab. Maka tak mungkinlah sebenarnya diperlakukan sebagai barang jual beli. Sebab, segala sesuatu yang dijualbelikan, lazimnya dapat ditangkap oleh pancaindra, dipandang sebagai barang, sehingga dapat diperlakukan menurut selera hawa nafsu. Hati nurani tidak demikian halnya. Hati nurani sebagai bagian manusia yang terdalam adalah tempat iman terlukis, tempat menerima cahaya dari Allah. Sementara pengukur iman, bukanlah ala tukar buatan manusia, tetapi adalah cobaan dari Allah, sebagaimana ternukil dalam Surah Al Ankabut ayat 2: ’’Apakah manusia akan dibiarkan berkata “kami sudah beriman” padahal mereka belum diuji?”
Hati nurani sebagai bagian manusia yang terdalam, tempat iman terlukis, sebab di situ dapat singgah cahaya keperluan, memainkan peranan sebagai jati diri insane itu sendiri. Karena itu pada dasarnya tak layak dijualbelikan.
Tetapi budaya manusia telah membuat permainan begitu mengherankan, sehingga dalam Pemilu hati nurani dapat diperdagangkan. Inilah yang telah menampilkan peluang munculnya pemilih yang munafik. Sedangkan pemilih yang munafik niscaya memberi peluang pula kepada munculnya pemimpin yang munafik. Sebab, pada orang munaifiklah yang zahir tidak sejalan dengan yang batin.
Mereka mungkin berdalih bahwa yang dijualbelikan itu adalah kertas tanda suara, bukan hati nurani yang dapat memikul beban batiniah. Pada zahirnya memang kertas suara. Tetapi kertas suara yang mana yang akan dipilih, niscaya memakai hati nurani. Sebab, hati nuranilah yang dapat memberikan panduan dan pertimbangan. Mereka ini memang telah mendapat akal licik dari syetan, sehingga kejahatan dilihat tidak apa-apa, bahkan dipandang indah. Padahal syetan itu menurut firman Allah adalah musuh manusia yang nyata.
Mereka itu sebenarnya lalai, sehingga tak sadar, bahwa yang dijualbelikan itu adalah hakikat manusia itu sendiri. Jika hakikat kemanusiaan dipemainkan dengan jual beli, maka martabat manusia akan hancur. Menghancurkan martabat adalah perbuatan konyol. Apalagi bukan martabat orang seorang tetapi marbat suatu bangsa. Wallahualam.***
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Riau Pos, 30 Maret 2004