Banyak orang yang memandang enteng terhadap Riau, karena Riau dengan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah telah diperlakukan sebagai padang perburuan. Bahkan, seorang presiden republik ini dengan ringan lidah mengatakan ‘’Riau tak ada apa-apanya’’.
Demikianlah masyarakat demokrasi sekuler yang tidak mau diatur dengan hukum Allah, telah menampilkan pemimpin yang zalim. Dalam negara demokrasi sekuler, hukum dipakai seperti gergasi memakai hukum rimba. Hal ini tak mengapa, sebab Riau dalam arti masyarakat Melayu tradisional yang memeluk Islam tidak mencari kemegahan dunia yang palsu. Mereka hanya mencari harga diri di sisi Allah Yang Maha Perkasa.
Namun dengan jujur –bukan untuk membanggakan– pada abad ke-18, Riau telah berperang lawan Belanda paling kurang dua babak. Babak pertama dimulai 18 Juni 1783 ketika kapal perang Belanda dibawah komando Togar Abo melanggar Riau dengan pernyataan perang. Panglima Raja Haji dari Riau menjawab pernyataan itu pada 21 Juni. Kemudian pada 25 Juni, laskar Riau di bawah komando Raja Haji menyerang kapal Belanda yang punya kekuatan 1.500 personil. Pada 17 Januari 1784, perang babak pertama di perairan Riau berakhir.
Perang babak kedua dimulai 13 Februari 1784, pasukan Riau mendarat di Teluk Ketapang menyerang Melaka. Belanda mempertahankan Melaka dengan 6 kapal perang, 326 meriam dan 2.130 personil. Pada 18 Juni, terjadilah pertempuran habis-habisan, sehingga Melaka hampir jatuh ketangan Riau. Namun Allah Yang Maha Bijaksana berkehendak lain. Panglima perang Riau, Raja Haji, tewas di medan jihad, lalu kemudian digelar orang Raja Haji fi Sabilillah.
Sungguhpun secara fisik Riau kalah lawan Belanda, namun harus diakui Riau telah bertarung secara jantan dan insya Allah telah gugur sebagai syuhada. Kenyataan ini membuat ruh jihad tetap membara dalam dada umat Islam di Riau. Meskipun Riau telah berada di bawah kekuasaan Belanda, namun penjajahan orang kafir itu tetap diingkari dalam dada orang mukmin yang beriman teguh. Setelah Riau punya Perkumpulan Cendikiawan Muslim yang bernama Rusydiah Klab yang ditaja tahun 1892, semangat jihad melawan Belanda itu kembali berkibar.
Ini berlaku karena Rusydiah Klab sebagai majelis orang berilmu, memandang kebenaran yang hanya dari Allah itu tak dapat dilanyau begitu saja oleh orang kafir. Sebab itu, meskipun mereka mayoritas menganut tarekat Naksyabandiyah, namun tetap sadar agama (Islam) sebagai fondasi kehidupan hendaklah dilindungi dengan perisai kekuasaan yang memakai syariat Islam. Rusydiah Klab tentulah memandang ilmu yang berpunca kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tak dapat dipisahkan dari politik yang tunduk kepada hukum Allah.
Begitulah pada 7 Oktober 1903, para ahli (anggota) Rusydiah Klab dengan pemegang teraju Raja Ali Tengku Kelana, Raja Khalid Hitam dan Raja Haji Abdullah alias Abu Muhammad Adnan al-Naksahbindi al-Khalidi, berkumpul di Gedung Rusydiah Klab untuk berzanji. Pertemuan ini tentu juga dalam rangka mempererat persaudaraan untuk menghadapi musuh yakni Belanda yang menjajah dengan sistem kufur. Pada 10 Februari 1904, para anggota Rusydiah Klab mengadakan pertemuan di rumah tokoh utama Raja Ali Tengku Kelana untuk membicarakan sikap Belanda yang hendak membubarkan Kerajaan Riau.
Rusydiah Klab yang setia mendampingi Kerajaan Riau menghadapi Belanda yang licik, mendapat peluang membangkitkan semangat jihad ketika Jepang mengalahkan Rusia dalam perang laut di Teluk Tsusima 1905. Dalam perang itu, Jepang dengan Laksamana Togo menghadang 38 armada Rusia, sehingga 25 armada dapat dilumpuhkan. Rusydiah Klab dengan umat Islam di Riau menyaksikan bahwa kaum kafir Nasrani di Barat dapat juga rupanya dikalahkan oleh penyembah matahari di Timur. Maka Rusydiah Klab membuat brosur tentang kemenangan Jepang ini untuk meningkatkan semangat percaya diri kepada umat Islam.
Dalam tahun 1906, Rusydiah Klab dengan tokoh Raja Khalid Hitam dibantu oleh Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin dan Haji Abbas bin Muhammad Taha menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura. Majalah ini diterbitkan untuk menggalang kekuatan umat Islam di rantau Asia Tenggara. Dengan semboyan ‘’Memandu Pemikiran Islam ke Jalan yang Suci, Benar dan Ikhlas’’ maka majalah ini juga telah memainkan peranan sebagai perang pemikiran tarhadap ideologi kapitalis penjajahan Belanda.
Memanasnya pertarungan siasat antara Riau yang didampingi oleh Rusydiah Klab melawan Belanda telah mencapai titik krisis dengan dimakzulkannya Sultan Abdurrachman Muazam Syah di Gedung Rusydiah Klab oleh Belanda tahun 1911. Kenyataan pahit ini membuat Rusydiah Klab mengambil kata putus untuk mengutus Raja Khalid Hitam ke Jepang sebagai utusan diplomatik Kerajaan Riau tahun 1912 untuk meminta bantuan dan dukungan Jepang kepada Riau agar bebas dari penindasan Belanda.
Diplomat Riau ini berhasil bertemu dengan Kaisar Jepang. Tetapi sebelum misi diplomatik Raja Khalid Hitam tuntas, dia kabarnya telah tewas karena diracun oleh Konsul Belanda di Jepang. Dengan demikian, tokoh Rusydiah Klab ini insya Allah juga telah syahid di jalan Allah.
Kegigihan perlawanan sayap Rusydiah Klab inilah yang membuat Belanda mengambil kata putus membubarkan Kerajaan Riau tahun 1913. Dengan demikian, sekali lagi harus ditegaskan bahwa Riau dengan sayap Rusydiah Klab telah berjihad melawan Belanda secara jantan. Jika ternyata Riau kalah tetapi sudah kalah dengan terhormat di mata dunia, sedangkan di sisi Allah semoga akan mendapat ganjaran yang tinggi di sisi-Nya.***