Allah Maha Perkasa, Maharaja Umat Manusia menciptakan hidup dan mati untuk menguji siapakah yang terbaik amalnya. Allah Maha Kuasa menciptakan pula surga dan neraka untuk pembalas amal umat manusia. Dengan dua perkara itu, terbentanglah perjalanan hidup umat manusia yang sangat panjang. Yang menuju surga merupakan perjalanan yang amat indah, sedangkan yang menuju neraka menjadi perjalanan yang amat mengerikan lagi menakutkan. Keadaan ini dihayati oleh puak Melayu yang beriman dengan menyandang agama Islam menjadi pegangan hidup dan mati. Hanya agama Islam yang dapat dipakai untuk mengatur kehidupan serta dapat ditumpangi untuk menghadapi maut.
Berkenaan dengan itu, budaya Melayu di Riau telah menggambarkan perjalanan hidup dari dunia fana menuju akhirat yang kekal. Gambaran itu terlukis dalam pantun Melayu, mulai dari pantun kanak-kanak disusul oleh pantun bujang gadis lalu berakhir dengan pantun orang tua. Masa kanak-kanak yang banyak bermain dan bergelut telah menampilkan pantun teka-teki. Teka-teki adalah permainan berpikir. Berpayung bukanlah raja. Bersisik bukanlah ikan. Kalau tahu cobalah terka ! Awak ketek, tapi dikatakan gedang, apa itu? Panjang-panjang putus, apa pula itu?
Pada masa kanak-kanak merupakan masa yang penting pula menanamkan ajaran Islam agar membekas baginya bagaikan menulis di atas batu. Karena itu dibuatkan pula pantun pergi mengaji. Sinurak sinurai mandi, mandi bertimba kulit upih. Anak dilepas pergi mengaji, lengkap dengan jubah serban putih. Marilah kita pergi mandi. Mandi jangan berkubang tanah. Marilah kita pergi mengaji. Mengaji jangan membuat fitnah. Tebang tebu sampai ke ujung. Ujung menjulai ke Melaka. Tuntut ilmu kan ganti payung. Payung pendinding api neraka. Kayu ketek rimbun daun. Sama rimbun dengan bunganya. Sejak ketek berbilang tahun. Tidak sembahyang apa gunanya.
Karena syariat Islam belum berlaku dengan sempurna dalam kehidupan puak Melayu di Riau sebagaimana juga berlaku sekarang ini, maka orang Melayu menyampaikan rasa rindunya melalui pantun. Dengan memakai pantun, sentuhan lawan jenis dapat dihindarkan, sehingga dapat terhindar dari dosa besar yang mengundang bencana. Air selupak dalam talam, air di geluk dimandisi. Kuning dirindu tengah malam, bantal dipeluk ditangisi. Tetak rotan tiga hasta, aku bawa ke koto Kari. Ombak di laut berketika, ombak di dada sepanjang hari. Elang-elang si Malin Deman, beri berekor berkepala. Adik sepantun arloji tangan, setiap detik takkan dilupa.
Masa remaja bujang gadis merupakan babak kehidupan yang banyak mencabar hawa nafsu. Keadaan ini menyebabkan anak bujang dan gadis mudah terjerumus oleh setan berbuat keji dan mungkar. Perilaku yang mengabaikan akhlak mulia itu dibidas pula dengan pantun untuk memberi peringatan kepada mereka. Sejak berburu di atas bukit, banyak anjing makan tulang. Sejak bersepatu tinggi tumit, bulu ketiak dilihat orang. Jangan dipaut anak biawak, nanti anjing datang menyalak. Perut gendut belaki tidak, pada siapa anak memanggil bapak.
Hari tua adalah masa mendekati ajal. Hari sudah rembang petang. Sebentar lagi matahari tenggelam alias ajal datang menjemput. Karena itu harus dicari jalan ke akhirat serta tinggalkan petuah dan pesan kepada anak sucu agar tetap berpegang teguh kepada jalan yang lurus. Masa tua dengan kiasan rembang petang itu amat mencemaskan. Cemas terhadap bekal amal ibadah yang tak memadai untuk menghadapi maut. Dan lebih cemas lagi terhadap dosa-dosa yang telah dilakukan, kalau tidak diampuni oleh Allah Yang Maha Pengampun. Ruh akan meninggalkan badan dan jasad akan hilang di balik kain kafan.
Saat perpisahan ruh dengan jasad berpuncalah hendaknya dengan ucapan terakhir Lailahailallah. Marilah kita pergi berburu, rusa nan banyak di dalam rimba pandan. Marilah kita pergi berguru, penghapus dosa di dalam badan. Apabila nyawa akan melayang, malaikat maut segera datang. Dengan segera nyawa melayang, seperti aur dihela sungsang. Terbang pipit dari jagung. Singgah mengisap bunga pandan. Angin bertiup ombak bersabung, nyawa kan pergi dari badan. Pico picik sinurai mandi. Mandi bertimba kulit lokan. Hilang ke mana kan dicari, hilang di balik kain kafan.***