Dia bernama gunung. Tapi sebenarnya menurut ukuran ilmu bumi, bukanlah gunung. Dia disebut kasiangan, yang berarti ‘’kesiangan’’ sebagai lawan kemalaman. Namun dia juga sesungguhnya bukanlah benda hidup yang bergerak, yang dapat menghitung perjalanan waktu.
Dia dikenal dalam alam nyata sebagai suatu misteri. Dalam kenyataan, dia kelihatan sebagai kenyataan alam yang biasa. Tapi dalam mitosnya, dia akan dipandang sebagai suatu keajaiban. Itulah dia Gunung Kasiangan. Nama sebuah bukit di tepi Batang Kuantan di Kenegerian Siberakun, Rantau Kuantan, Riau.
Menurut cerita yang dikenal dari orang tua-tua pada zaman dahulu, di dekat lubuk Karak –kira-kira 300 meter di mudik Gunung Kasiangan—pernah ada usaha untuk membuat pematang di sungai atau Batang Kuantan itu. Apa maksud membuat pematang itu tidaklah jelas. Tapi besar kemungkinan untuk dipakai sebagai pengganti jembatan.
Pekerjaan itu nyatalah berat, hingga tak mungkin akan dapat dikerjakan oleh manusia biasa. Karena itu pekerjaan ini dikerjakan oleh orang halus, yang dapat berbuat di luar kemampuan manusia. Apalagi pematang itu rupanya hendak diselesaikan pula hanya dalam tempo satu malam sahaja.
Syahdan, pembuatan pematang itupun dimulailah. Pematang itu dewasa ini dinamakan oleh penduduk setempat ‘’tobek’’, yang berarti tebat atau pematang. Tanah untuk penimbun membuat pematang tersebut diambil dari sebuah bukit tidak jauh dari tempat pematang itu. Orang halus pun bekerjalah secara bergotong-royong dengan maksud pematang itu akan selesai sebelum hari siang.
Para ‘pekerja’ bekerja sekuat tenaga. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Sewaktu mereka akan mengambil tanah timbun yang terakhir, begitu mereka muncul di atas bukit itu, cahaya fajar bersinar mentertawakan mereka. Sesungguhnyalah mereka telah kesiangan. Itulah sebabnya menurut cerita, tempat itu bernama Gunung Kasiangan.
Gunung Kasiangan lebih agung lagi dalam alam pikiran masyarakat sekitarnya, kalau dihubungkan dengan kisah silat di daerah itu. Menurut cerita yang amat sukar sekali diperoleh, guru silat yang pertama yang turun ke Kuantan dari Lintau Buo Minangkabau, juga telah mendarat dengan muridnya Sutan Nan Garang, di Gunung Kasiangan dalam perjalanannya menuju Koto Tuo Siberakun. Maka itulah sebabnya halaman silat di Siberakun dibuat berhadapan dengan Gunung Kasiangan, untuk memudahkan ingatan kepada sejarah kedatangan guru yang keramat itu.
Dan untuk saat ini, Gunung Kasiangan sama sekali tak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat di tepi Batang Kuantan di daerah itu. Tempat ini merupakan terminal penting bagi penduduk setempat dalam mencari nafkah kehidupan. Bukit ini telah menjadi pusaran bagi seluruh kegiatan pertanian di daerahnya.
Mengapa Gunung Kasiangan mendapat tempat tertentu dalam sejarah perlawanan gerilya di daerah rantau Kuantan, tidak dapat dilepaskan dari nilai strategis tempat itu. Bukit ini mempunyai ketinggian dari permukaan air Batang Kuantan, jika sungai itu ditimpa kemarau kira-kira setinggi 50 meter. Dalam musim penghujan, bukit ini paling kurang masih mempunyai ketinggian dari permukaan air sungai tersebut, paling kurang 25 meter.
Dengan keadaan ini, maka kaum gerilya yang berada di atasnya dengan mudah dapat melihat dan mendengar kedatangan itu, juga memberi peluang yang baik untuk memberikan perlawanan kepada Belanda. Di samping itu, Gunung Kasiangan langsung bersinggungan dengan hutan karet dan hutan rimba. Para gerilya jika mendapat serangan dari Belanda, dengan mudah dapat bersembunyi ke dalam hutan tersebut.
Tapi masih ada satu hal lagi yang penting. Gunung Kasiangan dengan mudah memberi jalan singkat ke arah Koto Rajo Baserah dan ke arah Teluk Kuantan dan Lubuk Jambi. Jalan kedua tempat yang penting itu dengan mudah dapat dilalui, aman dan pendek.
Demikianlah, dalam perjalanan yang pertama kaum gerilya dari Kenegerian Siberakun telah bertolak dari tempat tersebut menuju Koto Rajo Baserah. Di Baserah, seluruh gerilya dari beberapa kampung dikumpulkan. Adapun kenegerian yang mengirimkan calon gerilya ialah:
1. Kari
2. Koto Taluk
3. Seberang Taluk
4. Kopah
5. Sentajo
6. Benai
7. Siberakun
8. Simandolak
9. Baserah
Setelah dikumpulkan di Koto Rajo, mereka akan diberangkatkan ke Cerenti, melawan agresi Belanda, yang di daerah kekuasaan militernya dewasa itu (kira-kira di penghujung tahun 1949) telah sampai ke Air Molek. (bersambung)
Catatan: Deskripsi mengenai perlawanan gerilya dalam tulisan ini merupakan rangakaian dari beberapa keterangan bekas gerilya Kenegerian Siberakun.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Canang Nomor 11 Tahun 1978
Gunung Kasiangan dalam Mitos dan Perang Gerilya di Kuantan (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy
One comment
Pingback: Selamat Berkat Menyamar Pakai Nama Nabi Muhammad, Oleh: Purnimasari – Bilik Kreatif