1. Buku mati
Yang dimaksud dengan buku mati dalam tulisan ini ialah buku-buku yang telah diterbitkan dan telah beredar dalam kalangan masyarakat melalui pemasaran toko buku, tapi kemudian buku itu dilarang dipakai oleh pemerintah atau ditolak oleh masyarakat oleh satu dan lain hal. Diantara buku mati ini yang menarik diperhatikan ialah buku-buku pelajaran yang tidak boleh lagi dipakai dalam kegiatan belajar dan mengajar. Serta buku-buku yang dilarang beredar oleh pemerintah.
Terhadap buku yang dilarang beredar oleh pemerintah (Kejaksaan Agung), bagi yang telah memilikinya, bisa saja buku itu masih berguna. Tapi terhadap penerbit dan toko buku yang mengedarkannya, buku itu menjadi tidak beharga, sehingga juga dapat dikatakan mati. Keadaan ini juga telah merugikan pihak pengarang. Potensinya begitu rupa yang ujud dalam bentuk buku, telah kehilangan komunikasi dengan sidang pembaca. Dan lebih daripada itu, dia juga telah kehilangan nilai ekonomis daripada bukunya. Sebab dengan pelarangan buku itu, mungkin sekali pihak penerbit membatalkan pembayaran honororiumnya. Itulah sebabnya masalah pelarangan peredaran buku, sering banyak menimbulkan polemik.
Buku-buku pelajaran (buku teks) di sekolah-sekolah menjadi buku mati, pertama karena perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum sering terjadi seiring dengan pergantian menteri atau sekurang-kurangnya direktur jenderal pendidikan. Biasanya tiap menteri atau dirjen mempunyai sikap dan pandangan sendiri terhadap pendidikan. Karena itu, lembaga pendidikan yang berada di bawah urusannya, dipandang perlu mendapat perubahan. Satu diantara perubahan yang terlalu sering dilakukan ialah kurikulum yang berisi muatan pelajaran. Tiap muatan pelajaran disajikan dalam bentuk buku pelajaran. Sebab itu, bila kurikulum berubah maka berubahlah muatan pelajaran, yang pada muaranya berubah pula buku pelajaran.
Perubahan buku teks ini amat kentara pada tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah lanjutan atas. Serta sekolah kejuruan pada tingkat yang sama. Sering suatu buku pelajaran paling lama cuma bertahan 5 tahun. Setelah itu terjadilah perubahan. Maka buku-buku lama tidak boleh lagi dipakai oleh guru dalam kegiatan belajar dan mengajar. Jadi, semua buku lama untuk berbagai mata pelajaran atau bidang studi menjadi buku mati.
Masih ada lagi buku mati yang terjadi karena masalah lain di luar kurikulum. Kadangkala buku teks ditulis oleh pembuat (penulis) buku teks menyimpang daripada garis-garis yang telah ditetapkan oleh pihak pemerintah, misalnya bercanggah dengan ketentuan Kementerian Pendidikan. Akibatnya, timbul nilai-nilai yang tak diharapkan dari buku itu. Dalam hal ini pada satu sisi barangkali memang sebagai akibat daripada kelemahan atau kelalaian penulis buku pelajaran tersebut. Tapi mungkin saja memang telah disengajakan begitu rupa, karena ada tujuan-tujuan tertentu. Buku serupa ini pada satu pihak bisa menyebabkan tujuan bidang studi tidak tercapai dengan mempergunakan buku tersebut.
Karena itu pihak pemerintah (misalnya Kementerian Pendidikan) melarang pemakaian buku itu. Tapi bisa juga menimbulkan keresahan kepada wali murid karena dengan buku teks tersebut, anak didik mendapatkan nilai-nilai yang sesat atau tak diharapkan oleh paraorangtua peserta didik tersebut. Keadaan yang terakhir menimbulkan protes dari pihak wali murid terhadap sekolah maupun pemerintah. Mereka minta buku pelajaran semacam itu diganti.
2. Buku mati sebagai masalah pendidikan
Pada satu sisi buku mati terjadi agar muncul buku baru. Buku baru diharapkan lebih sesuai dengan keperluan, sehingga dapat diharapkan tercapai tujuan tiap satuan pelajaran yang didukung oleh buku tarsebut. Tetapi terhadap orangtua anak didik, tidaklah selalu demikian. Bagi mereka, tiap buku mati juga merupakan tambahan biaya pendidikan terhadap anak-anaknya. Sebab buku-buku ‘lama’ yang sudah dibeli atau dapat dipinjam, tak dapat lagi dipakai.
Banyak orang tua berharap buku-buku yang telah dibelinya dapat dipakai oleh anak-anaknya, sehingga tidak begitu banyak mengeluarkan belanja untuk pembelian buku-buku pelajaran tersebut. Kenyataannya, hal itu makin jarang terjadi. Tiap anak ternyata harus punya buku pelajaran sendiri, berbeda dengan abang atau kakaknya, meskipun selisih umur mereka hanya sebatas satu sampai dua tahun.
Buku mati ternyata juga amat besar pengaruhnya terhadap keberadaan penerbit. Pada tahun 1970-an (semasa kurikulum 1975) amat terkenal penerbit Hasmar di Medan. Pada masa itu buku-buku pelajaran sebagian besar diterbitkan oleh penerbit ini. Tapi setelah kurikulum 1975 tidak berlaku lagi (digantikan oleh kurikulum 1984) penerbit Hasmar akhirnya bangkrut, sebab buku-buku hasil terbitannya yang berpijak pada kurikulum 1975, menjadi buku mati. Jadi, kalau penerbit tidak tajam pengamatannya mengenai kemungkinan perubahan buku pelajaran, maka bisa mengalami kerugian besar dalam menerbitkan buku teks.
Hal yang sama juga berlaku terhadap toko buku. Toko buku yang telah membeli buku-buku pelajaran, tapi kemudian terjadi pergantian buku teks, maka buku yang lama itu menjadi beban, karena tidak akan laku lagi dijual. Pihak penerbit juga tidak akan mau menerima kembali buku-buku tersebut. Sebab itu, pembelian buku pelajaran dalam jumlah besar oleh toko buku, juga berisiko tinggi. Itulah sebabnya banyak buku pelajaran sering habis di toko buku, sebab memang toko buku hanya memesan buku-buku itu secara terbatas.
Terhadap para penulis buku teks, terlihat pula suatu iklim yang tidak sehat. Penulis buku teks ada kalanya ditunjuk dengan rekomendasi pihak Kementerian Pendidikan. Dalam keadaan serupa itu, tertutup kemungkinan terhadap penulis lain, meskipun mereka punya kemampuan melebihi dari pihak yang mendapat rekomendasi. Kemudian pihak penulis buku teks dan penerbitnya, terkesan kurang diawasi oleh pihak pemerintah (Kementerian Pendidikan) sehingga sering terbit buku-buku yang meresahkan masyarakat dan orangtua anak didik.
Keadaan yang tidak sehat itu masih panjang rentetannya. Keadaan ini telah membuka peluang melakukan kerjasama perbuatan curang (kolusi) antara penerbit dengan penulis buku teks dan sekolah. Karena penulis buku teks pada umumnya masih dari kalangan guru, maka setelah buku diterbitkan, pihak penerbit segera menghubungi guru-guru di sekolah untuk memasarkan bukunya. Dengan cara ini, maka buku teks yang dibeli oleh toko buku sering tidak laku lagi.
3. Bahan pertimbangan
Menghadapi kerumitan serupa ini, perlu dipikirkan bagaimana kerangka pengolahan buku teks. Agaknya perlu dibuat dua macam buku. Pertama, buku pegangan yang berisi dasar-dasar atau prinsip-prinsip daripada suatu mata pelajaran. Buku ini tentu bisa dibuat dan dipakai di mana-mana. Buku serupa ini dapat memberikan pokok-pokok suatu mata pelajaran terhadap murid, sehingga semua murid bertolak dari pengetahuan dasar yang relatif sama di mana-mana.
Karena buku itu berisi prinsip-prinsip penting tentang suatu mata pelajaran (bidang studi) maka tentu buku itu dapat dipakai dalam jangka waktu yang panjang. Buku pegangan ini baru bisa berubah jika sudah ada semacam penemuan teori baru yang akan dapat mengubah pandangan terhadap prinsip-prinsip bidang studi tersebut. Buku ini mungkin amat baik ditulis oleh pihak pusat.
Buku yang kedua, ialah buku latihan. Buku latihan dapat disesuaikan dengan lingkungan tiap sekolah, di mana sekolah itu berada. Hal ini amat berguna dalam rangka keterkaitan dan kesesuaian (link and match) antara sekolah dengan masyarakat, alam dan lapangan pekerjaan. Jika buku pegangan ditulis oleh pihak pusat, maka buku latihan alangkah baiknya ditulis oleh pihak daerah, yaitu tiap Kanwil Pendidikan.
Maka perubahan buku latihan akan dihubungkan dengan perubahan masyarakat setempat, yang tentu akan merujuk kepada keadaan sosial, ekonomi, iptek dan kebudayaan di rantau itu. Dengan cara ini, perubahan buku teks dapat diterima oleh pihak orangtua murid, karena memang ada hubungannya dengan kepentingan peserta didik yang akan dipersiapkan terjun ke dalam masyarakat.
Buku pegangan yang berisi prinsip-prinsip suatu bidang studi hendaklah dimiliki oleh guru. Murid boleh memiliki, boleh tidak. Jika murid tak memilikinya, dia akan memiliki juga pengetahuan tentang hal itu melalui gurunya. Hanya buku latihan yang harus dimiliki oleh semua murid dan tentu juga guru. Buku ini digunakan dalam berlatih di kelas dan di rumah. Pihak guru dapat menambah dan mengubah-suai buku latihan itu, sesuai dengan perubahan-perubahan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Buku latihan ini tak perlu diganti tiap tahun. Sebab materinya sudah dirancang oleh tiap Kanwil Pendidikan, sesuai dengan keadaan daerah di mana sekolah berada. Maka para guru hanya sedikit merevisi bagian-bagian tertentu, sesuai dengan variasi berbagai lokasi (desa) di daerah itu. Setelah sekian tahun terjadi perubahan yang begitu banyak, barulah dilakukan perubahan terhadap buku latihan itu.
Dengan cara ini maka masalah buku mati tidak akan begitu cepat terjadi. Ini juga berarti biaya pendidikan yang ditanggung oleh orangtua murid menjadi lebih sederhana. Sementara itu ada semacam pembagian pekerjaan (kegiatan) dalam menulis buku teks. Belahan pusat membuat buku pegangan, sedangkan pihak daerah membuat buku latihan. Dangan demikian juga ada semacam pemerataan dalam tugas dan pendapatan.***