- Kekayaan sebagai Simbol Prestasi
Dunia ekonomi dewasa ini dengan kiblat kapitalisme-materialisme telah memandang kekayaan sebagai satu-satunya bukti prestasi seseorang. Dalam hal ini dilihat ada hubungan sebab-akibat antara kekayaan dengan waktu. Waktu harus bernilai uang sebagaimana terungkap dalam rangkai kata ‘’times is money’’. Waktu yang tidak mendatangkan uang adalah suatu kerugian.
Karena itu lingkaran hidup berawal dari uang, lalu mencari uang dan juga untuk uang. Siapa yang tidak dapat uang dalam waktunya, adalah orang yang lalai. Dia adalah orang yang gagal, sehingga daripada dia menjadi beban lebih baik mampus. Itulah sebabnya tujuan seorang politisi dalam dunia liberal kapitalis, tidak hanya sebatas kekuasaan. Kekuasaan harus dipakai untuk mencari uang atau materi.
Maka kekayaan telah menjadi simbol prestasi. Besar kecilnya kekayaan dipakai sebagai indikator tingkat keberhasilan seseorang dalam pekerjaan atau karirnya. Makin besar jumlah kekayaan, makin tinggi prestasi dan sekaligus semakin tinggi harga diri. Orang miskin adalah orang yang tak punya prestasi dan layak dipandang tidak punya harga diri.
Menjadikan kekayaan sebagai simbol prestasi dan harga diri, membuat tujuan hidup terarah kepada kekayaan. Kalau bisa menjadi kaya raya dan paling kaya, itulah yang terbaik. Lihatlah dunia kapitalis yang, tiap tahun mengumumkan daftar orang kaya di segala penjuru dunia. Inilah yang menjadi perangsang kepada umat manusia mencari kekayaan di mana-mana, dengan segala cara.
Hasrat akan kekayaan dunia yang membuih itu mendapat jalan lapang dari paham sekulerisme, yang mencampakkan nilai-nilai agama dan akhlak mulia. Dalam sekulerisme tidak ada kategori halal-haram, Yang dipakai hanya kategori baik-buruk. Yang baik adalah yang mendatangkan keuntungan materi, sedangkan yang buruk ialah yang tidak mendatangkan uang.
Bila kekayaan sudah direngkuh, maka sebagian di antara keuntungan itu dipergunakan untuk bersenang-senang memuaskan selera dan hawa nafsu. Pantaslah dalam Surah Muhammad ayat 12 dibidas ‘’orang-orang kafir itu bersenang-senang di dunia makan minum bagaikan binatang, neraka adalah tempat tinggal mereka.’’
Demi mendapatkan kekayaan sebagai bunga-bunga kehidupan dunia yang akan sirna) banyak manusia yang telah menempuh segala cara, mencari kekayaan mulai dari cara yang tidak melanggar hukum buatan manusia, sampai cara mempermainkan hukum lalu berakhir dengan perampokan atau nan sungguh hebat, hukum buatan manusia yang bersifat sekuler, telah memberi peluang kepada si penjahat menjadi kaya-raya.
Perhatikanlah satu contoh saja. Perampok Bank Century lebih kurang Rp362 M, hanya diganjar 4 tahun penjara, sementara hasil rampokan tidak disita oleh pengadilan. Dengan demikian, dalam satu tahun di penjara, perampok itu mendapat bagian tidak kurang dari Rp90 M. Siapa yang bisa mendapat kekayaan sebesar itu dalam setahun dengan kerja halal?
Maka, bagi koruptor atau perampok, memang sudah benar logika matematik mereka. Kalau ingin kaya-raya, silakan korupsi (merampok) sebesar-besarnya. Nilai materi hasil korupsi berpuluh lipat lebih besar daripada hasil kerja halal. Apalagi bila yang merampok itu para pejabat atau konglomerat (kapitalis). Hukuman baginya niscaya amat ringan.
Tidak akan seperti Mpok Minah yang dituduh mencuri tiga biji kakao senilai Rp2.000,- yang harus kena hukuman tiga bulan penjara. Keadaan dalam penjara dapat ‘dirundingkan’ oleh sang koruptor sehingga segala kepentingan dapat diatur agar keadaan dalam penjara menjadi nyaman.
- Harta yang Utama Berkahnya Bukan Jumlahnya
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan kapitalis-sekuler, kekayaan itu yang penting adalah jumlahnya. Inilah yang dapat dihitung yang akan jadi ukuran sukses atau prestasi dalam kehidupan, Pandangan ini niscaya tidak akan mampu menanggulangi perilaku korupsi melalui hukum buatan manusia.
Sebab, justru hukum buatan manusia sendiri punya andil terhadap kejahatan (korupsi) sebagaimana tadi dibuktikan dengan mudah. Sebab itu, memandang budaya ekonomi dalam tradisi Melayu tampaknya cukup berarti, untuk pada ekonomi dalam tradisi Melayu, maka perilaku ini niscaya akan jauh berkurang. Malah mungkin darat direm pelan-pelan, agar tidak lagi punya kekuatan yang memadai.
Budaya ekonomi dalam tradisi Melayu di Riau, memandang harta atau kekayaan itu yang utama ialah berkahnya, bukan jumlahnya. Harta yang berkah itu adalah harta yang diperoleh dengan jalan halal serta digunakan pada jalan yang halal pula, yakni sesuai dengan jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Harta yang tidak halal berapapun jumlahnya, hanyalah sia-sia belaka. Bahkan harta yang demikian, akan dapat mendatangkan penyakit dan bencana, baik di dunia dan lebih-lebih azab yang tiada tertanggungkan.
Sedangkan harta berkah itu di akhirat dipercayai akan tahan lama, baik di dunia memberikan kesejahteraan, maupun di akhirat yang insya Allah jadi karcis masuk surga. Dengan demikian, harta itu bukan hanya sebatas menjawab kebutuhan hidup di dunia, tetapi juga dapat diharapkan memberi keselamatan di akhirat jika dipergunakan di jalan Allah.
Berkenaan dengan itu, kekayaan dalam tradisi Melayu yang piawai, bukanlah pertama-tama prestasi apalagi kesombongan. Kekayaan adalah nikmat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang Dia berikan kepada siapa saja. Jika Allah tidak memberi, maka orang tidak mmenggunakan waktu Siang-malam mencari kekayaan.
Nikmat Allah berupa kekayaan itu, dapat menjadi kebajikan, tapi juga dapat mendatangkan bencana. Begitulah maha adil dari sisi Allah. Jika hamba itu mempergunakan harta di mempergunakan Allah, maka niscaya Allah akan menambahnya. Tapi, jika ingkar, maka nantilah azab yang pedih.
Bersabit dengan nilai harta yang utama berkahnya, maka sifat serakah dicela dalam dunia Melayu. Sebab sifat itu akan membuka jalan mengambil (mencari) harta di luar batas halal. Sedangkan sifat kikir juga dipandang buruk. Sebab, meskipun barangkali mendapat harta dengan halal, tetapi tidak digunakan di jalan Allah, sehingga juga tidak akan berkah. Inilah sebabnya, tradisi Melayu telah sejak dulu mencela sifat dan perilaku kapitalis, dengan pepatah ‘’seperti Belanda minta tanah, diberi sejengkal mau sehasta, diberi sehasta mau sedepa’’.
- Harta adalah Beban
Budaya ekonomi dalam tradisi Melayu yang islami, juga memandang harta sebagai beban. Baik beban di dunia dan lebih-lebih beban di akhirat yang tidak tertanggungkan. Banyak orang tidak menyadari hartanya adalah beban. Dia tidak sadar betapa tenaga dan pikirannya begitu sibuk mengurus dan menjaga harta.
Banyak orang tenggelam oleh urusan dan pekerjaan mencari harta. Tak ada lagi waktu istirahat, apalagi tenang sejenak mengingat Allah. Sebagian lagi telah terkungkung dan terikat oleh hartanya, sehingga untuk pergi ke masjid saja selama 15 menit tidak bisa.
Kenyataan itu akan jauh bedanya dengan orang yang hanya punya harta sebatas yang diperlukan. Bisa hidup tenang, punya waktu beribadah kepada Allah dengan hati yang lapang serta ikhlas. Tradisi Melayu di Riau menganjurkan orang memakai harta dengan hemat, sehingga tahan lama sampai anak-cucu. Bukan gasak atau habiskan sekarang juga, seperti tingkahlaku Orde Baru dan Neoliberal dewasa ini, sehingga tidak ada lagi bagian anak-cucu di belakang hari, selain hutang yang makin menggunung.
Tradisi inilah yang menyebabkan alam semula jadi terpelihara di Riau dalam rentangan ratusan tahun, meliputi kekayaan hutan belantara, flora dan fauna serta biota lainnya. Namun setelah datang gelombang budaya kapitalis yang diamalkan oleh pemegang teraju bangsa ini, maka kekayaan alam itu habis berkecai-kecai. Dirampok oleh para pejabat yang zalim, pemilik modal yang serakah serta alat negara yang khianat. Untuk menghalalkan tindakan itu dipakailah kata ‘’demi pembangunan’’, yang diiringi oleh peraturan yang dapat dipermainkan sekehendak perut.
Tradisi Melayu di Riau, juga memandang hutang bukan hanya sebatas beban material tetapi lebih-lebih beban moral. Hutang bukanlah positif sebagaimana dipandang oleh pemegang teraju kekuasaan di Indonesia. Tetapi negatif, sebab dapat menjatuhkan harga diri. Jika tidak lansai semasa hidup akan jadi beban anak cucu.
Sebab itu tradisi Melayu memberi arah agar tidak sampai mati dalam keadaan berhutang. Maka gunakanlah kekayaan, pikiran dan tenaga untuk berbuat kebajikan. Jangan ingin kaya sendiri, tapi kalau timbul musibah tak ada orang yang mau membantu. Sebaliknya, jika banyak menolong orang bahkan juga menolong makhluk lainnya, ketika datang bencana niscaya banyak yang hendak membantu. Sebab, sebaik-baik harta rupanya adalah saudara atau sahabat.***
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Riau Pos, 29 Agustus 2010