Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Berempat Makan di Dulang, Oleh: UU Hamidy

Berempat Makan di Dulang, Oleh: UU Hamidy

Berempat makan di dulang adalah budaya Melayu yang telah melarutkan Syariah Islam dalam kehidupan puak Melayu di Riau dan juga rantau Melayu lainnya. Budaya ini memberi bukti bahwa seorang muslim mengutamakan persaudaraan seiman dalam pergaulan sosial.

Dengan budaya ini, tidak akan dipilih musuh-musuh Allah sebagai teman apalagi sebagai pemimpin. Sebab, orang mukmin itu dipertalikan hatinya oleh iman, bukan oleh Tanah Air maupun harta benda.

Bila seseorang mendapat ucapan salam, ia segera sadar bahwa ia berhadapan dengan seorang mukmin yang memakai Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam tindakan dan perangainya. Sebab, Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itulah tali yang teguh tempat berpegang agar selamat dunia akhirat.

Kebiasaan berempat makan di dulang dapat dijumpai sampai tahun 1950-an dalam berbagai upacara mendoa di rumah orang Malayu. Orang Melayu akan mendoa di rumahnya tiap hari baik, bulan baik, misalnya pada hari raya Islam, pindah rumah baru, turun mandi anak, melepas anak pergi mengaji dan lain sebagainya.

Mendoa itu dipandang sebagai tanda bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketika itu, jamuan terhidang di atas dulang, yakni pinggan besar terbuat dari seng dengan diamater sekitar 50 Cm. Tiap dulang berisi nasi dan lauk-pauk yang akan dimakan oleh empat orang lelaki atau empat orang perempuan.

Setelah tuan rumah memberikan kata sambutan sekedarnya, maka para handai-taulan dipersilakan menyantap hidangan masing-masing. Tuan rumah akan memperhatikan mana dulang yang perlu ditambah nasi dan lauk-pauk. Sementara tiap kelompok yang sedulang, makan bersama sambil bercakap-cakap dengan suasana yang penuh persahabatan.

Tradisi berempat makan di dulang telah memelihara hubungan silaturahmi dan ukhuwah islamiyah dalam dunia Melayu. Hubungan silaturahmi dan ukhuwah islamiyah yang terpelihara itu telah meluaskan rezeki mereka. Serta menimbulkan suatu kekuatan dalam masyarakat melakukan amal makruf nahi mungkar.

Namun demikian, budaya silaturahmi yang dapat membentuk akhlak mulia ini jadi redup setelah puak Melayu hidup dalam alam demokrasi sekuler yang menolak hukum Allah secara total. Maka aqidah mereka jadi ternoda karena mengikuti gaya hidup Barat yang bertentangan dengan Syariah Islam. Akibatnya, mereka jatuh hina di bawah ketiak pemerintah yang zalim. Persaudaraan mereka jadi rapuh, masyarakat bercerai–berai sehingga hidup jadi bertikai-pangkai.***

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *