Dua panggilan dalam keluarga yang sangat utama dalam keluarga di Indonesia ialah bapak dan ibu. Sejak kapan penggilan itu mulai dipakai, sehingga akhirnya dirasakan sebagai milik bangsa Indonesia, sukarlah ditentukan dengan pasti. Masalah ini sudah lama larut dalam arus pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan budaya kita. Dalam ujung arus yang demikian, maka kita melihat dewasa ini beberapa peristiwa yang dialami oleh sepasang panggilan tersebut.
Walaupun semula panggilan bapak dan ibu merupakan panggilan yang mewarnai hubungan keluarga –sehingga panggilan itu juga menggambarkan struktur kekeluargaan—yaitu panggilan anak-anak kepada orangtua mereka, tapi dalam pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan budaya kita, dia telah mendapat pergeseran. Dua panggilan itu dewasa ini telah meluas fungsinya. Dia tidak hanya dipakai sebagai penggilan dalam keluarga, tetapi sudah dipakai dalam pergaulan umum, terutama dalam komunikasi resmi. Perluasan fungsi itu telah menimbulkan gejala semacam kesulitan dan komunikasi.
Jika dalam periode pertama panggilan ibu dan bapa adalah panggilan yang mewarnai kekeluargaan, sehingga misalnya dengan panggilan Bapak Amir dan Ibu Amir, hanya berarti bapak si Amir, maka dalam perluasan fungsinya dalam periode sekarang ini, bisa lain lagi daripada itu. Suatu panggilan Bapak Amir tidak hanya menunjukkan kepada seperti referensi yang pertama itu, tetapi juga bisa menunjukkan kepada seseorang yang bernama Amir.
Dengan pengertian seperti ini, maka sering panggilan bapak menimbulkan kesalahpahaman dalam komunikasi. Juga terhadap panggilan ibu terjadi hal yang serupa. Dalam panggilan Ibu Maryam, belum tentu hanya dimaksudkan ibu si Maryam atau ibu kepunyaan Maryam, tetapi juga dapat menunjukkan seseorang yang bernama Maryam. Malah terhadap panggilan ini telah terjadi pergeseran yang cukup jauh. Dalam panggilan ibu yang bisa disingkat menjadi bu seperti misalnya Bu Amir, sudah sering pula diartikan istri Amir.
Jika kita bandingkan dua keadaan atau periode ini, maka kelihatan betapa suatu nilai budaya yang begitu jauh bergeser dari akar pertumbuhan dan perkembangannya. Dua periode mengenai referensi yang ditunjuk oleh panggilan bapak dan ibu ini benar-benar telah menimbulkan dua nilai yang sangat berbeda. Bagaimana tidak akan kita katakan demikian, karena dengan panggilan Bapak Amir yang semula hanya berarti bapak si Amir, lalu kemudian berkembang kepada referensi yang sebaliknya, yaitu seseorang (bapak) yang bernama Amir –dia berubah diri milik anak menjadi milik bapak. Demikian pula halnya dengan panggilan Ibu Maryam, bukan hanya sekadar bergeser kepada referensi seseorang (ibu) bernama Maryam, tetapi dapat lagi menyimpang lebih jauh seperti dalam Bu Amir, yang bisa memberikan maksud istri Amir.
Dengan perkembangan seperti ini maka beberapa dimensi dari panggilan bapak dan ibu sudah mulai lemah –malah mungkin dapat dikatakan tidak lagi dipakai sebagai ukuran. Dimensi arti yang pertama yang mulai lemah ialah, bahwa panggilan bapak dan ibu yang mengandung arti telah mempunyai anak atau keturunan, dan dimensi kedua ialah, bahwa panggilan itu mengandung arti sudah berumur atau usia lanjut. Keadaan yang sekarang dapat menunjukkan lain. Seseorang yang mendapat panggilan seperti itu mungkin saja belum berkeluarga, dia masih cukup muda. Tetapi lantaran posisi yang dicapainya dalam tangga kepegawaian atau dalam taraf kehidupan, maka dia mendapat panggilan yang demikian, kendatipun yang memberi panggilan jauh lebih tua daripadanya.
Akibat dari panggilan bapak dan ibu yang bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam komunikasi –lebih-lebih tentu bagi orang asing yang belum begitu menguasai bahasa Indonesia—menyebabkan timbulnya kecenderungan untuk memakai panggilan lain. Misalnya panggilan ayah sebagai pengganti panggilan bapak yang mewarnai hubungan kekeluargaan. Dalam pada itu, panggilan ibu masih cenderung bertahan, karena tampaknya belum didapatkan penggantinya yang seimbang dengan panggilan ayah. Memang ada pasangan panggilan ayah dan bunda, tetapi panggilan bunda saja dalam pasangan itu masih lebih banyak merupakan panggilan dalam surat-menyurat, daripada untuk panggilan sehari-hari.
Sebenarnya jika kita hendak mempertahankan panggilan bapak dan ibu yang hanya khusus untuk lingkungan keluarga, maka kita untuk menggantinya dalam komunikasi umum atau resmi dapat memanggil panggilan tuan dan nyonya. Tetapi sikap masyarakat belum begitu tertarik untuk memakai panggilan ini. Suatu hal yang jelas ialah, bahwa panggilan ini sering ditujukan kepada orang asing atau terhadap seseorang yang baru dikenal sehingga panggilan ini masih belum berakar kuat untuk menggantikan panggilan bapak dan ibu dalam komunikasi resmi. Tapi kesulitan juga akan terasa pada panggilan nyonya, yang telah menjurus kepada perempuan yang sudah bersuami, sedangkan dalam suatu komunikasi resmi, mungkin saja kita berhadapan dengan sejumlah perempuan yang sudah bersuami dan yang belum bersuami.
Di samping pertumbuhan dan perkembangan panggilan bapak dan ibu, kita melihat sepasang panggilan lain yang mulai banyak disukai orang. Panggilan itu ialah papi dan mami dengan variasi papa dan mama. Panggilan papi sama referensinya dengan panggilan bapak dalam hubungan kekeluargaan, dan panggilan mami pun sama pula arti yang didukungnya dengan panggilan ibu dalam keluarga.
Jika kita hubungkan panggilan papi dan mami ini dengan persoalan yang ditimbulkan oleh panggilan bapak dan ibu, maka timbul pertanyaan: apakah panggilan ini mulai banyak dipakai lantaran kesalahpahaman yang bisa ditimbulkan oleh panggilan bapak dan ibu? Tampaknya tidaklah semata-mata oleh persoalan yang demikian. Nilai rasa dan subyektifitas keluarga sedikit banyaknya sudah berpengaruh, sehingga pilihan jatuh kepada panggilan itu. Faktor karena panggilan ini juga dipakai oleh (keluarga) orang asing serta beberapa keluarga yang dipandang terhormat, sudah banyak mempengaruhi, walaupun dugaan yang demikian tentulah sangat sukar dibuktikan dengan sebuah angket atau penyelidikan terhadap keluarga yang memakai panggilan tersebut.
Kalau demikian halnya, kita melihat, bahwa unsur-unsur nilai tertentu dalam pemakaian panggilan dalam keluarga, dengan maksud untuk menimbulkan kesan mereka ‘keluarga terhormat’ atau ‘keluarga maju (modern)’ masih membayang dalam tingkahlaku sosial masyarakat. Gejala yang lebih nyata mengenai pembayangan tingkahlaku atau sikap sosial seperti itu, tampak lebih jelas dalam pemakaian panggilan om dan tante, yang secara sederhana seimbang dengan panggilan paman dan bibi. Sikap yang kita baca dalam pemakaian panggilan ini cukup memberikan kesan kepada perasaan ingin lebih terhormat atau lebih maju daripada jika memperoleh panggilan paman dan bibi, yang tampaknya diberi kesan sebagai kampungan.
Panggilan om dan tante ini sudah begitu luas dipakai, sehingga panggilan paman dan bibi sudah cukup jauh didesaknya. Bahkan juga agaknya panggilan pak lek dan bu lek, serta panggilan sejenis ini dalam beberapa bahasa daerah lainnya sudah banyak digeser oleh panggilan ini. Karena dengan panggilan om dan tante juga dianggap memberi kesan sebagai ‘orang kota’ maka banyaklah orang yang pernah tinggal di kota lalu memakai panggilan itu, kendatipun mereka sudah berada atau tinggal di desa.
Hal yang menarik lagi dalam pemakaian panggilan om dan tante ini ialah dalam hal reaksi sosial yang ditimbulkannya. Dalam hal ini untuk menunjukkan sebuah contoh, kita cukup melihat tukang catut karcis atau tiket di mana-mana dan tukang pendayung becak. Mereka ini lebih suka memakai panggilan om dan tante daripada misalnya panggilan pak lek dan bu lek. Dan sikap pihak memanggil cukup membayang, betapa dengan panggilan itu dia sangat menghormati lawan kontak sosialnya sehingga mudah dicapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Sebaliknya di pihak yang mendapat panggilan, membayang pula dia atau mereka berdua adalah keluarga yang terhormat atau ‘orang yang maju’. Dengan perkataan lain, yang mendapat panggilan seperti itu rasa mendapat tambahan harga diri sehingga jika dipanggil dengan panggilan pak lek dan bu lek misalnya, lalu memberikan reaksi yang kurang bersahabat, lantaran dengan panggilan yang lain ini dirasa tidak diperoleh tambahan harga diri itu –malah mungkin menimbulkan kesan mereka dianggap orang kampung, padahal yang diharapkan adalah sebaliknya.
Dalam hal ini mungkin orang akan beralasan, bahwa mereka kurang menyenangi panggilan yang telah lazim dalam bahasa Indonesia –misalnya paman dan bibi, atau dalam bahasa daerah Jawa pak lek dan bu lek—karena panggilan itu lebih mewarnai hubungan kekeluargaan. Sebaliknya, panggilan om dan tante terasa lebih umum. Namun pembayangan nilai ingin dipandang ‘lebih terhormat’ atau pokoknya mempunyai ‘’derajat yang tinggi’’ masih jelas dapat dibaca dalam kontak-kontak sosial.
Hal yang serupa juga terjadi terhadap panggilan You pengganti panggilan kamu. Lalu apakah pembedaan yang dapat kita temukan sebagai alasan untuk memakai panggilan ini pengganti kamu? Lain tidak hanyalah oleh suatu perasaan atau latar belakang ingin dipandang ‘lebih terhormat’ atau kita dapat berkesan orang ‘’berpendidikan’’ atau ‘’intelektual’’. Tapi panggilan itu bukan hanya memberikan kesan seperti yang diharapkan itu saja, dia juga telah memanifestasikan secara tidak langsung, bahwa sipemakai sebenarnya dilatarbelakangi oleh perasaan rasa rendah diri. Kita dapat berkata demikian, karena dengan panggilan kamu tidak ada yang mengandung penghinaan sedikitpun; kata itu sebenarnya mempunyai nilai rasa yang netral. Dengan pemakaian panggilan tadi, rasa rendah diri itu hendak diselimuti, tetapi sayang selimut itu sendiri membuka rahasia tersebut. Bukankah juga kecenderungan untuk memakai kami pengganti saya memberi kesan rasa rendah diri itu lebih jelas kepada kita? –kendatipun dalam beberapa hal pemakaian seperti itu dapat dibenarkan.
Gejala lain yang sejajar dengan masalah ini telah terasa cukup lama dalam bidang ilmu pengetahuan. Banyak kecenderungan untuk memakai kata-kata asing dalam tulisan-tulisan, uraian dan berbagai publikasi ilmiah lainnya, dengan harapan agar hasil pikiran yang disusun dengan mempergunakan kata-kata asing itu, akan dianggap sebagai buah pikiran yang mendalam. Akibatnya lebih jauh, muncullah diktat-diktat kuliah yang bermacam prasaran diskusi penuh dengan sederetan istilah-istilah asing. Hal ini belum tentu mempertinggi mutu dan daya guna ilmu tersebut bagi masyarakat, tetapi malah sebaliknya dapat memperlebar jurang komunikasi antara ilmuwan dengan masyarakat, sehingga dapat menyebabkan putusnya hubungan komunikasi. Padahal sebenarnya cukup banyak materi bahasa Indonesia yang dapat menggantikan atau dapat membentuk maupun diciptakan untuk pengganti istilah-istilah asing tersebut. Gejala ini disamping dapat mencerminkan rasa rendah diri, juga mencerminkan betapa kesadaran memakai atau membina bahasa nasional, masih kurang bagi anggota masyarakat kita.
Persoalan mengenai keinginan memperoleh kesan ‘harga diri lebih tinggi’ yang terkandung dalam berbagai panggilan ini, cukup menarik kalau dibandingkan dengan beberapa tokoh yang digambarkan dalam cerita rakyat. Dalam cerita rakyat pun tokoh-tokohnya telah mencoba berusaha mendapatkan rasa harag diri yang demikian. Cerita rakyat semacam itu telah memberikan gambaran kepada kita, bahwa raja-raja telah berusaha agar dia dapat dipanggil sebagai ‘raja keinderaan’ atau ‘’raja titisan dewa’’.
Demikianlah cerita rakyat seperti: Jaka Tarub di Jawa, Aryo Menak di Madura dan hikayat Syah Mahmud di Aceh telah menceritakan kepada kita, bahwa raja-raja yang disebut dalam cerita itu telah berhasil kawin dengan bidadari dari kayangan. Atau kalaupun mereka semula bukan sebagai raja, tetapi keturunan mereka kemudian adalah raja-raja. Sawerigading dalam cerita rakyat di Sulawesi Selatan, malah bukan hanya kawin, tetapi telah sengaja turun ke kayangan, lalu menjelma jadi manusia dalam bambu kuning, dan kelak menurunkan raja-raja di Sulawesi Selatan. Dengan peristiwa yang digambarkan dalam cerita tersebut, maka anak cucunya dapat dipanggil sebagai ‘raja keturunan dewa’ atau ‘keinderaan’ maupun ‘titisan dewa’. Dengan panggilan itu dia merasa pantas memperoleh penghormatan dan pemujaan dari rakyatnya. Memang bukan hanya sekadar untuk merasa ‘lebih mulia’ atau ‘lebih agung’ saja maksud sang raja dengan cerita itu. Dengan panggilan itu dia lebih mudah tunduk kepadanya. Sebaliknya, rakyat juga dapat berbangga diri, karena mereka mempunyai dan diperintah oleh ‘raja keinderaan’ atau ‘’raja titisan dewa’’. Di atas segalanya itu sang raja dnegan mudah dapat mengendalikan pemerintahan.***
(Agama dan Kehidupan dalam Cerita Rakyat, UU Hamidy)