Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bayangan Jihad dalam Catur Melayu, Oleh: UU Hamidy

Bayangan Jihad dalam Catur Melayu, Oleh: UU Hamidy

Jihad dewasa ini hampir dipandang sebagai hantu, sebab diberi topeng teroris. Padahal jihad adalah keberanian membela yang benar. Kalau tak ada keberanian membela yang benar, kita tak akan pernah kuat dan punya harga diri. Tetapi sebaliknya dipandang enteng, sehingga diperalat dan dipermainkan.

Ketakutan membela yang benar menimbulkan para pengecut yang kerdil, pembual yang pongah, koruptor yang culas, pengambil muka yang munafik, politisi yang licik, pemilik modal yang serakah, alat negara yang khianat dan penguasa yang zalim.

Manusia dan kebudayaan hampir tak terpisahkan. Manusia dan budaya berada dalam keadaan balas-membalas. Kebudayaan dipakai sebagai pola tingkahlaku. Kebudayaan juga dipakai sebagai dasar nilai, padahal ini tidak memadai. Karena itulah kebudayaan juga memberikan gambaran alam pikiran, sehingga pada muaranya menggambarkan pula masyarakatnya.

Berkenaan dengan itu cukup menarik memperhatikan catur Melayu yang juga telah berkelindan dengan dunia Melayu di Riau. Catur Melayu ini disebut juga catur perang. Ada yang menamakan main (catur) rimau, sebab anak catur membunuh dengan cara melompati lawannya, bagaikan harimau.

Tapi disebut juga main laut, karena permainan ini sering dimainkan di bibir pantai dengan mempergunakan benda yang ada di pinggir laut. Di Jawa disebut juga main dam. Tapi main dam agak berbeda dengan catur Melayu, meskipun papan caturnya hampir sama.

Gambar papan catur Melayu ini merujuk pada catur perang di Rantau Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi. Papan catur terbagi dua, masing-masing punya rimba dan padang. Padang merupakan wilayah peperangan dan rimba menjadi wilayah pertahanan. Tempat strategis dalam permainan (pertempuran) ada tiga.

Pertama, tapak lapan, berada di tengah papan catur. Inilah daerah yang tidak bertuan (kosong) yang menjadi pusat pertempuran. Kedua, kepak (sayap) dapat menjadi arah serangan sebelah kiri dan kanan. Yang ketiga, cekik, yakni tempat sempit menuju rimba (daerah pertahanan).

Ada beda yang mendasar antara catur Melayu dengan catur internasional. Catur internasional yang satu pihak punya 16 anak catur punya dua kelompok. Kelompok pertama ialah delapan bidak di barisan depan, yang harus maju terus, tidak boleh mundur. Kedua, delapan pembesar di belakang, boleh maju dan mundur. Ini berarti semua serdadu (bidak) harus bersedia bekorban, sedangkan para pembesar dapat bergerak pada beberapa arah untuk menyelamatkan dirinya.

Serdadu (bidak) dalam peperangan ternyata punya tiga tujuan. Pertama, untuk menjaga para pembesar, terutama raja. Yang kedua, untuk mendapat kenaikan pangkat. Ketika bidak berhasil mencapai batas terakhir daerah lawan, dia akan naik pangkat jadi pembesar, kecuali menjadi raja. Ketiga, kalau bisa membunuh raja lawan.

Sementara itu dalam catur internasional nilai pengabdian terhadap manusia (raja) amat kentara. Pertempuran boleh dikatakan hanya untuk melindungi sang raja. Sebab apabila raja mati, maka peperangan jadi usai serta mengaku kalah, meskipun masih ‘hidup’ sejumlah serdadu dan pembesar lainnya.

Karena itu serangan untuk membunuh raja pihak lawan, yang sebenarnya menjadi tujuan utama ternyata hanya jadi tujuan kedua, karena hanya dapat berlaku jika pihak raja kita tidak terancam. Jadi, sebenarnya peperangan dilakukan hanya sebatas kepentingan dunia yang sempit. Tidak atas dasar pandangan hidup dengan makna yang abadi.

Papan catur Melayu pertama-tama menggambarkan medan kehidupan. Ada dua medan yang penting, yakni padang dan rimba. Padang adalah wilayah, tempat mencari kebutuhan hidup. Di sinilah dibuat perkampungan, kebun dan ladang. Rimba adalah hutan-tanah penyangga kehidupan. Tidak boleh dijadikan ladang dan kebun, tetapi harus terpelihara dengan lestari untuk kebutuhan hidup bersama dalam arti luas.

Tanda-tanda tempat strategis pada papan catur Melayu juga memberikan makna kehidupan. Tapak lapan adalah nama lain untuk delapan macam mata pencaharian (tradisional) puak Melayu, yaitu beladang, berkebun, beternak, baniro, berdagang, bertukang, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan.

Kepak atau sayap mempunyai saran bahwa kita harus punya tenaga (fisik dan ruhani) untuk mengolah delapan macam pencaharian tersebut. Sedangkan cekik berarti, pengambilan hasil-hasil hutan harus diawasi dengan keras, sehingga tidak mudah orang masuk merusak hutan tersebut.

Selanjutnya dengan merujuk kepada catur perang di Rantau Kuantan, anak catur tiap pihak terdiri dari 18 buah. Dari jumlah itu, 11 anak catur berada di padang dan 7 lagi berada di rimba. Yang berada di padang adalah para serdadu yang akan langsung bertempur, sedangkan yang berada di rimba bagaikan para pembesar yang akan menjadi kekuatan pertahanan terakhir.

Tidak ada beda status sosial anak catur Melayu, seperti anak catur internasional. Yang ada hanya sekadar beda tempat (peranan) yaitu di rimba dan padang, buat sementara sebelum pertempuran berlangsung sampai usai.

Peperangan dimulai dengan langkah pertama kepada tapak lapan. Semua anak catur depat bergerak ke muka dan ke samping. Tidak boleh mundur. Tidak ada hak istimewa dalam pertempuran. Jika tidak dapat membunuh lawan, dia dapat bertahan atau menghindar agar tidak dibunuh.

Yang terbaik ialah dapat membunuh lawan tanpa risiko. Tapi itu sulit. Yang sering terjadi, kawan gugur satu, tapi dapat dibalas dengan membunuh lawan 2 sampai 3 orang sekaligus. Jika seorang serdadu sampai batas akhir daerah lawan, dia dapat hak bergerak mundur, untuk kembali menyerang lawan.

Kemenangan akan mudah dicapai jika dapat menguasai tempat strategis yakni tapak lapan, kepak dan cekik. Jadi, dalam catur Melayu ada geografi bumi yang menjadi medan perang, tidak seperti catur feodal internasional yang tidak mengenal bumi dalam medan perangnya.

Permainan catur Melayu cukup jelas membayangkan jihad, dalam arti berperang adalah untuk menegakkan yang benar, yang dalam dunia Melayu yang islami bermakna tegaknya kalimah Laa ilaaha illallah di muka bumi. Membela kebenaran tak boleh mundur. Kalau mundur yang bathil akan berjaya melakukan kerusakan.

Karena itu dalam catur Melayu berperang bukanlah untuk mengabdi atau membela seorang manusia seperti raja, atau untuk mendapatkan kenaikan pangkat (jabatan). Peperangan semata-mata hanyalah untuk membela dan menegakkan kebenaran. Itulah sebabnya para serdadu telah berani maju ke medan tempur, karena benar.

Dalam pertempuran, prajurit dan pembesar tak terbedakan lagi. Mereka punya tekad yang sama: membela yang benar dan mencegah yang bathil. Bertempur habis-habisan serta tidak boleh gentar apalagi mundur.

Kekalahan atau perang berakhir bukanlah oleh tewasnya sang raja, tapi gugurnya syuhada yang terakhir. Jika menang, kebenaran akan tegak sedang kebathilan akan hancur. Jika kalah, atau terbunuh, adalah kematian dalam kemuliaan membela yang benar, yakni syahid fi sabilillah.***

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Riau Pos, 6 Juni 2010

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *