Pengucapan bunyi bahasa (fonem) harus baik. Bunyi bahasa itu sebaiknya diucapkan seperti diucapkan oleh pemakai bahasa ibu (native speaker). Karena bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Melayu yang terbina di Riau oleh Raja Ali Haji yang kemudian terpelihara menjadi bahasa Melayu tinggi, maka seyogianya pengucapan bahasa Indonesia itu memperhatikan pengucapan bahasa Melayu yang terpelihara itu.
Bahasa Melayu dibina oleh Raja Ali Haji pertama dengan membuat tata bahasa Melayu yang bernama Bustanul Katibin tahun 1857. Kemudian dibuatnya pula semacam kamus yang mirip ensiklopedi bernama Pengetahuan Bahasa tahun 1859. Selepas itu, bahasa Melayu ini diperkaya dengan berbagai karya tulis seperti gurindam, syair, hikayat, kitab sejarah, agama dan sebagainya.
Pembinaan bahasa Melayu itu dilanjutkan oleh sejumlah pengarang Riau dan pengarang lainnya yang tergabung dalam perkumpulan cendekiawan Rusydiah Klab. Bahasa Melayu yang dibina oleh Raja Ali Haji dan para pengarang Rusydiah Klab ini terkenal juga dengan bahasa (dialek) Riau-Johor. Dari bahasa (dialek) Melayu Riau-Johor inilah kelak tumbuh dan berkembang bahasa Indonesia di Indonesia, bahasa Melayu di Singapura dan Brunei Darussalam serta bahasa Melayu di Malaysia.
Pengucapan bahasa Indonesia yang baik itu tidak terpengaruh oleh dialek (bahasa) daerah. Berbagai fonem atau bunyi bahasa daerah yang tidak sesuai dengan bunyi bahasa Indonesia yang standar hendaklah dihindarkan. Perhatikanlah beberapa contoh pengucapan bahasa Indonesia yang sering terpengaruh oleh dialek (bahasa) daerah seperti di bawah ini :
kerbau – kerbo
gulai – gule
botol – bothol
beras – begas, bare
Bandung – mbandung
lepaskan – lepasken
kerjakan – kerjain
ubah – obah
betul – betul (e lemah, bukan e keras)
lubang – lobang
haram – harom
kebun – kebon
Pengucapan bahasa hendaklah bersesuaian dengan maksud yang dituju. Pengucapan yang tidak sesuai dengan maksud yang dituju akan menimbulkan kesalahpahaman terhadap pendengar ucapan bahasa tersebut. Perhatikanlah pengucapan bahasa yang bisa menyebabkan penyimpangan makna terhadap pendengar dalam beberapa contoh di bawah ini :
air manis – air mani
bulu – buluh
lihat – liat
telur – telor (kesalahan pada lidah)
perburuhan – perburuan
pekan – pakan
lulus – lolos
Tradisi pengucapan kata-kata dalam bahasa Indonesia seyogianya berpedoman kepada pemakai bahasa ibu (native speaker). Karena bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Melayu, sedangkan bahasa Melayu yang terpelihara ialah dialek Melayu Riau (Riau-Johor), maka tradisi pengucapan bahasa Indonesia yang baik patut memperhatikan pengucapan dialek Melayu Riau yang terpelihara. Perhatikanlah beberapa contoh pengucapan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang kurang baik, pada kata-kata sebelah kanan di bawah ini :
pelabuhan – pelabuan
diubah – dirubah, dirobah
mengubah – merubah
dimungkiri – dipungkiri
pertunjukan – pertunjuk-an
pengurusan – pengurus-an
bantuan – ban-tuan
Maluku – malu-ku
Zakaria – Jakaria, Zakar-ia
ozon – ojon
gizi – giji
makin – mangkin
lemparkan – lemparken
Bentuk kata “dirubah” dan “dirobah” tidak bisa diterima. Sebab kata dasarnya “ubah” bukan “obah”. Sementara awalan yang ada ialah bentuk “di-“ bukan “dir-“ dan “me-“ bukan “mer-“. Begitu pula bentuk “dipungkiri”. Kata dasarnya “mungkir” bukan “pungkir”.
Perlu diingatkan kembali bahwa vokal bahasa Indonesia itu ada 6, yaitu /a/, /i/, /u/, /o/, dan /e/ lemah dan /e/ keras. Tetapi karena untuk bunyi /e/ baik lemah maupun keras hanya memakai satu tanda saja, maka banyak orang yang tidak mampu membedakan antara /e/ lemah dan /e/ keras dalam berbagai perkataan yang memakai lambang bunyi /e/. Hal ini di samping pengucapannya tidak baik, juga dapat menimbulkan kekacauan arti kata. Semua bunyi /e/ pada awalan yaitu ke-, me-, per-, se- dan ter- adalah bunyi /e/ lemah.***
(Dari Bahasa Melayu Sampai Bahasa Indonesia, UU Hamidy)