Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bagaikan Aur dengan Tebing, Oleh: UU Hamidy

Bagaikan Aur dengan Tebing, Oleh: UU Hamidy

Bagaimana tebing sungai sekarang ini? Keadannya lebih daripada mencemaskan. Sementara hampir tak ada pihak yang memperhatikannya, apalagi memeliharanya. Beberapa negeri atau kampung di pinggir sungai sudah runtuh ke dalam sungai. Ada kampung yang terkepung disebut Pulau Kepung, karena tanah di hulu dan di hilir sungai runtuh ke dalam sungai.

Banyak pula jembatan runtuh, karena tebing sungai yang mengancam pangkal jembatan. Sedangkan jamban kayu untuk turun ke sungai sering hanyut, ketika tebing sungai runtuh. Beberapa peladang kehilangan peladangan di pinggir sungai. Sungguh begitu banyak bencana yang telah menimpa yang disebabkan oleh tebing sungai.

Sungguhpun demikian, orang patut Melayu masa silam amat paham akan ancaman tersebut. Kearifannya yang bersandar pada Syariah Islam, telah menjadi sebab baginya mendapat ilham dari Allah Yang Maha Bijaksana, bagaimana menjaga alam semula jadi. Orang terpandang ini berhasil dengan baik merancang tradisi memelihara alam.

Mereka menganjurkan agar warga masyarakat menanam aur sepanjang tebing sungai. Ternyata rumpun aur dapat menahan tebing sungai dari keruntuhan. Ketika tiba banjir, air sungai yang melintas ke perkampungan tidak begitu deras, karena mendapat hambatan dari aur di tebing sungai. Maka, kerusakan oleh banjir dapat berkurang oleh aur di tebing sungai.

Puak Melayu yang punya perkampungan sepanjang daerah aliran sungai masih punya beberapa kebiasaan lagi memelihara tebing sungai. Di samping menanam aur, mereka menanam lagi buluh di tebing sungai, yang masih sejenis dengan aur. Aur dan buluh banyak sekali gunanya.

Batang aur yang lebih tebal dapat dipakai untuk tiang dapur, tiang pelantar dan tiang dangau-dangau tempat menunggu ladang atau kebun. Sedangkan buluh yang lebih tipis, dipakai untuk lantai rumah (disebut bilah), dinding rumah (disebut tadir), mengkawan (bingkai atap rumbia), lukah dan membuat lemang. Jadi, aur dan buluh pada satu sisi dapat menjaga tebing sungai, pada sisi lain amat banyak gunanya dan sangat ekonomis dipakai.

Kelestarian tebing sungai di samping dipelihara dengan menanam aur dan buluh juga dilakukan dengan kebiasaan lainnya. Kebiasaan itu ada beberapa cara. Pertama, puak Melayu biasanya membatasi kampung mereka dengan gugus hutan kecil yang bisa berupa bermacam pohon buah-buahan seperti durian, rambutan, manggis, mempelam, pauh, rambai, duku dan jambak.

Kemudian pohon rengas, jambu air dan jai-jai (semacam bakau) yang sering tumbuh di tebing sungai, tidak diusik oleh siapapun juga. Semua pohon ini, di samping menjaga tebing sungai juga sering digunakan oleh lebah untuk bersarang. Sedangkan madu lebah amat banyak khasiatnya.

Demikianlah jagad Melayu (di Riau khususnya) telah mewariskan suatu kebiasaan yang baik memelihara tebing sungai. Panduan atau tradisi ini sangat sejalan dengan ajaran Islam, yang melarang umat manusia membuat kerusakan di muka bumi. Begitu indahnya alam dengan tebing sungai yang terpelihara oleh aur, buluh dan kayu-kayuan lainnya.

Keindahan, keserasian dan keakraban aur dengan tebing diharapkan juga diteladani oleh suami-isteri. Karena itu perumpamaan “bagaikan aur dengan tebing” telah dipakai pula sebagai pesan kepada suami-isteri dalam setiap khutbah nikah oleh puak Melayu di Riau.

Sekarang aur dengan tebing telah berkecai-kecai. Ketika tiba banjir, air sungai dengan deras melanda perkampungan, sehingga rumah sampai hanyut. Ini berlaku karena kecerobohan pemegang teraju kekuasaan yang tidak mau memperhatikan tradisi yang baik yang bersandar kepada Syariah Islam, yang terbukti telah melestarikan alam semula jadi ratusan tahun. Mereka membuat sistem hutan tanah Melayu yang begitu baik, hancur berantakan. Mereka cuai terhadap amar makruf, sehingga yang mungkar merajalela.

Pemegang teraju kekuasaan masa kini yang mendapat kedudukan melalui demokrasi sekuler tidak mau memperhatikan panduan dan peringatan Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak mau Allah dan Rasul-Nya mengatur kehidupan umat manusia.

Mereka mau hidup dengan aturan atau hukun buatan thagut yang menentang Syariah Islam, sehingga dapat sesuka hati melepaskan hawa nafsunya. Mereka lebih suka taat dan patuh pada tatanan dunia global yang diatur dengan sistem dajjal daripada bernaung dibawah tatanan hukum Allah yang mengatur jagad raya dengan Maha Bijaksana lagi Maha Perkasa.

Lalu bagaimana akibatnya? Terjawab dengan mudah oleh sunatullah. Siapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya niscaya binasa di dunia — sebagaimana sekarang telah jadi kenyataan — sedangkan di akhirat akan menerima azab yang pedih.***

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Riau Pos, Ahad 15 Juli 2012

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *