Amuk massa makin banyak terjadi. Dulu semasa Orde Baru hampir tak terjadi, karena ada sistem otoriter yang menekan terus gejolak perasaan rakyat. Sistem otoriter itu memperlambat gejolak yang bagaikan bengkak akan meletus.
Tekanan itu berlaku terus bagaikan pompa yang menekan ke bawah. Namun pada batas akhir akan berbalik dari bawah ke atas. Begitulah secara sederhana keadaan masyarakat yang selalu tertindas.
Orang yang berpandangan sekuler akan melihat amuk massa dari sudut pandang psikologi sosial, aparat penegak hukum, tingkahlaku pemerintah dan otonomi daerah yang kusut. Pandangan itu ada benarnya, tetapi tak dapat memberikan penjelasan yang lengkap.
Kelemahan pertama ialah, tingkat emosi masyarakat yang hampir tak pernah dipantau oleh pemegang teraju pemerintahan. Sistem demokrasi sekuler hanya menampilkan penguasa yang zalim, memerintah tanpa mengingat kematian.
Dunia Melayu punya tingkat emosi: malu, merajuk, latah, aruk dan amuk. Masyarakat yang tentram berada pada tingkat emosi malu sampai merajuk. Pada tingkat latah dan aruk, sudah ada arah kepada perlawanan. Tapi belum dilakukan secara terbuka serta belum terorganisir. Perlawanan secara massal dan terbuka terjadi pada tingkat amuk.
Amuk massa dapat dipahami dengan mudah melalui sistem demokrasi kapitalis yang telah melahirkan peta pertarungan hidup, tiga lawan satu. Tiga yang pertama ialah penguasa, pemilik modal dan pemegang senjata (alat negara). Sedangkan pihak yang satu yaitu rakyat.
Tiga pertama dalam demokrasi kapitalis membuat semacam hubungan yang saling menguntungkan. Penguasa memberikan kemudahan kepada sang kapitalis untuk mengolah berbagai sumber alam, sedangkan pemegang senjata memberi perlindungan kepada pengusaha. Pengusaha memberikan imbalan materi kepada keduanya.
Ketegangan timbul antara tiga pihak ini dengan rakyat ketika memperebutkan sumber-sumber kehidupan. Sumber kehidupan yang paling utama lagi mahal adalah hutan tanah, karena inilah yang tidak dapat dibuat oleh sang kapitalis. Hutan tanah yang berpijak pada tanah ulayat membuat masyarakat memandang, merekalah yang paling berhak memanfaatkan hutan tanah di negeri mereka.
Tetapi demokrasi kapitalis membuat rakyat jadi heran, mengapa hutan tanah mereka dengan mudah dikuasai oleh pemilik modal. Maka muncullah konflik antara pihak pengusaha dengan rakyat tempatan. Dalam konflik ini rakyat melihat, penguasa berada di pihak pengusaha sedangkan pemegang senjata juga ternyata membela sang kapitalis.
Rakyat mendapat tekanan agar tidak menentang kebijakan penguasa yang telah memberikan kemudahan kepada pengusaha. Ketika diadakan perundingan, rakyat disumbat aspirasinya dengan berbagai peraturan atau undang-undang. Keadaan ini membuat rakyat makin tak mengerti, bagaimana bisa ada undang-undang yang membuat mereka kehilangan hak atas hutan tanah mereka.
Ketika konflik antara pengusaha dengan rakyat sampai pada titik krisis atau klimaks, rakyat sekali lagi melihat, tidak ada yang membela mereka. Mereka paling-paling dibujuk oleh politisi atau tokoh yang diberi julukan tokoh masyarakat. Namun perkara tidak selesai, bahkan dada rakyat semakin sempit. Maka rakyat kehilangan harapan, kemudian kehilangan pegangan, sehingga lalu mengamuk.
Jadi amuk massa itu dapat memperlihatkan tiga perkara penting. Pertama, rakyat merasa tidak dipelihara oleh pemerintah, tapi merasa dipermainkan. Kedua, pengusaha hanya menjadikan rakyat sebagai obyek. Rakyat hanya untuk memutar roda perusahaan.
Jadi kuli yang kemudian diganti dengan sebutan buruh agar tidak merasa hina. Sedangkan nasibnya sehitam asap pabrik. Ketiga, materi menjadi nilai utama kehidupan, mengatasi nilai akhlak mulia. Akhlak mulia tidak berharga di depan mata materi atau bendawi.
Kenyataan ini semestinya membuka pintu hati kita, bahwa membangun dengan cara kapitalis tidaklah mendatangkan kesejahteraan kepada rakyat. Dengan sistem kapitalis memang pendapatan perkapita akan meningkat. Tapi peningkatan itu tidak menyentuh rakyat jelata.
Angka pertumbuhan ekonomi memang akan naik tajam, ketika para kapitalis mendapat peluang besar menanamkan modalnya. Tetapi pertumbuhan itu hanya pertama-tama untuk sang kapitalis dan segelintir elit pejabat dan politisi yang telah melapangkan jalan bagi pengusaha.
Sedangkan rakyat jelata mendapat berbagai malapetaka, mulai dari kehilangan hutan tanah sumber kehidupan, bencana yang datang oleh kerusakan alam sampai berbagai kekeringan dan banjir serta penyakit. Ini semuanya belum tentu sebanding dengan pajak yang diberikan oleh para kapitalis kepada negara tempat rakyat tertindas ini berada.
Gedung pencakar langit, jalan bebas hambatan dan hotel mewah, memang dapat dibangun oleh sang kapitalis. Tapi itu bukan kebutuhan utama rakyat. Dan bukan itu pada hakekatnya tujuan pembangunan yang sebenarnya. Apa gunanya segala sarana kemewahan ini, jika ternyata hanya digunakan untuk maksiat seperti perjudian, minuman keras, pelacuran, hiburan mengumbar nafsu dan segala praktik ribawi.
Apa artinya segala kemewahan yang materialistik dalam kehidupan yang tidak punya akhlak mulia. Ini semuanya tidak bernilai untuk menghadapi maut, yang kita pasti akan menjumpainya. Sampai kapan kita akan membangkang terhadap aturan hidup yang paling sempurna yang telah diberikan oleh Allah melalui Rasul-Nya, yang menjamin memberikan keselamatan, ketentraman dan bahagia, baik untuk hidup dunia yang singkat apalagi untuk hidup akhirat yang kekal abadi. Sampai kapan kita dengan kebenaran mengikuti hawa nafsu yang akan membinasakan langit dan bumi serta apa yang ada di dalamnya?
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Riau Pos, Jum’at, 17 Februari 2012