Allah Yang Maha Bijaksana dengan Utusan-Nya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menyampaikan kepada umat manusia bahwa tak ada satupun yang diciptakan-Nya dengan main-main atau sia-sia. Hal ini terbukti setelah pengetahuan dengan ilmu dan teknologi, manusia dapat meneroka berbagai ciptaan Allah di muka Bumi dan jagad raya.
Berbagai ciptaan Allah telah dapat dipahami bahkan dikuasai oleh umat manusia dengan nikmat ilmu dan teknologi yang diberikan Allah. Sungguh tak ada yang terjadi secara kebetulan seperti pendapat ilmuwan sekuler. Melainkan semuanya berada dalam kekuasaan Allah Yang Maha Memelihara.
Allah telah menciptakan sesuatu dengan berpasangan. Dalam pasangan itu ada beda, tetapi bukan untuk persaingan, melainkan untuk kebaikan bagi yang bersangkutan. Begitulah telah ujud pasangan lelaki dan perempuan, agar manusia dapat menunaikan tugasnya masing-masing dengan baik, sehingga terjalin suatu kehidupan yang saling membutuhkan serta menguntungkan.
Dengan demikian dapat dilihat dengan mudah bagaimana fatalnya pandangan demokrasi sekuler yang menyamakan lelaki dengan perempuan melalui sistem gender (persamaan jenis kelamin). Sistem ini menentang fitrah manusia itu sendiri. Segala sesuatu yang tidak berlaku sesuai dengan fitrahnya niscaya mendatangkan kerusakan.
Lelaki dan perempuan akan mengemban tugas sesuai dengan fitrahnya. Kalau keduanya disamakan, maka mereka kehilangan fitrahnya, yang menyebabkan kehilangan peranan dan kehormatannya. Ini sudah terbukti oleh rumahtangga masyarakat demokrasi sekuler di Barat yang merancang sistem gender itu. Rumahtangga mereka berantakan, karena lelaki dan perempuan kehilangan fitrahnya. Tak kenal lagi untuk apa mereka diciptakan Allah serta apa peranan dan kewajibanmereka masing-masing.
Puak Melayu yang telah menyandang Islam menjadi pedoman hidupnya telah memahami makna penciptaan lelaki dan perempuan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pasangan lelaki dan perempuan dapat disadari melalui pasangan sigai dengan enau. Lelaki bagaikan sigai dan enau bagaikan perempuan.
Pasangan sigai dengan enau benar-benar selaras dengan pasangan lelaki dengan perempuan. Lelaki sesuai fitrahnya bagaikan sigai yang dapat peluang mencari enau yang akan diteteknya (dikelolanya) sebagaimana lelaki mendapat kesempatan memilih perempuan jadi isterinya. Sigai harus punya ketahanan dan kekuatan agar dapat mengurus enau sepanjang masa, sebagaimana lelaki (suami) harus punya kemampuan menafkahi keluarganya.
Enau (perempuan) punya kehormatan karena berada dalam posisi dicari. Enau tidak perlu kutung-katang mencari sigai sebab sigai yang akan datang mencarinya. Maka pertemuan sigai dengan enau melambangkan terbentuknya rumahtangga yang bahagia. Sebab, masing-masing telah menunaikan peranan sesuai dengan kodratnya.
Begitulah Syariah Islam terbentang dengan indah dalam budaya Melayu yang bersendi syarak yakni bersandar kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Lelaki dan perempuan jadi mulia dan terhormat karena melakukan perannya sesuai dengan fitrah penciptaannya oleh Allah Yang Maha Mengetahui. Lelaki jadi pemimpin rumahtangga sedangkan perempuan adalah benteng rumahtangga itu sendiri. Jika keduanya disamakan seperti kehendak sistem gender, maka tugas mereka jadi kacau, sehingga binasalah rumahtangga.
Enau tidak dapat memberi manfaat begitu banyak jika tak ada sigai yang akan memelihara dan mengelolanya. Air nira yang amat bernilai dari tandannya tidak akan dapat diambil dan dimanfaatkan jika tak ada sigai. Begitu pula sigai, tanpa disandarkan kepada enau untuk memanjat dan mengelola enau juga tidak begitu bermanfaat.
Apalah gunanya sigai jika tidak digunakan untuk memanjat dan mengelola enau. Apalah gunanya lelaki yang hanya hidup sebatang kara untuk dirinya sendiri dan perempuan yang tidak bersuami sepanjang umurnya. Sementara manusia yang baik itu ialah yang paling banyak memberi manfaat kepada orang. Dan cara yang paling baik memberi manfaat yang banyak itu ialah dengan berumahtangga, agar dapat menunaikan tugas hidup dengan sempurna.
Sekarang, asas sigai mencari enau terdesak oleh sistem gender demokrasi sekuler yang memberi kebebasan kepada semua orang untuk hidup tanpa panduan Syariah Islam. Maka terjadilah keadaan bukan lagi lelaki yang menjadi sigai tetapi sebaliknya bagaikan enau mencari sigai. Keadaan ini membuka peluang jatuhnya martabat lelaki dan perempuan, karena keduanya mengalami perubahan kedudukan serta peranan dalam rumahtangga.
Logikanya sederhana. Sigai (lelaki) semestinya teliti mencari atau memilih enau (perempuan) yang baik yakni punya iman dan akhlak mulia. Begitu pula enau sepatutnya dapat memilih sigai yang baik yang datang kapadanya. Tanpa melalui pemilihan dengan cara yang benar menurut Syariah Islam, jalan hidup yang ditempuh olah umat manusia niscaya akan mendatangkan bencana di dunia. Sedangkan di akhirat akan dinanti oleh azab yang berat lantaran tidak mau mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan apa yang dilarang.***