1. Tak Mampu Merasa
Bangsa Indonesia, tidak hanya sekedar merasa tak mampu, tapi juga tak mampu merasa. Perhatikanlah tindakan kekerasan dan perlakuan kasar dalan perilaku bangsa ini. Baik dari kalangan rakyat jelata, juga para pejabat yang mestinya memberi teladan yang baik dan lebih-lebih tindakan para penegak hukum yang lebih menakutkan daripada yang ditakuti.
Memang banyak hal yang bisa berkelindan dengan perangai tercela ini. Tapi hanya sedikit barangkali orang yang menyadari bahwa hal ini sebenarnya berpangkal pada bahasa yang kacau dan membingungkan. Bahasa adalah pendukung budaya. Bahasalah yang menyampaikan pesan, arti, makna dan nilai budaya. Maka, bahasa yang kacau yang membingungkan, akan menghasilkan pikiran yang kusut, sebagaimana minyak pelumas (bahasa) menentukan kelancaran jalannya mesin (pikiran). Pikiran yang tidak jernih inilah yang mendorong tampilnya perilaku budaya yang buruk tadi.
Perhatikanlah nasib Bahasa Indonesia. Tiap hari, tiap jam bahkan tiap menit, bahasa ini menampung bahasa asing (Inggeris) tanpa perhitungan. Apakah kata-kata bahasa asing itu, memang sangat diperlukan, dalam arti mempertajam pikiran, memperhalus rasa serta memandu budi pekerti. Lihatlah beberapa contoh: illegal logging, klarifikasi, provokator, dead lock, drop out, komitmen, kontribusi, kondusif, manuver, opsi, back up, konfirmasi. Deretan kata ini dengan mudah dapat diganti dengan: balak liar, penjelasan, perusuh, kandas, putus sekolah, kesungguhan, membantu, aman, mengancam, pilihan, mendukung, dihubungi (beri tahu) yang semuanya dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak.
Selanjutnya, perkirakanlah, hanya berapa persen rakyat Indonesia yang 230 juta itu dapat mengerti, memahami dan menghayati kata-kata asing tersebut. Dalam pemakaian bahasa ada tiga makin yang penting, yakni makin mudah dipahami, makin banyak orang mengerti dan makin cepat orang dapat berbuat. Ketiga kepentingan ini, kandas oleh pemakaian kata-kata bahasa asing.
2. Kerusakan Negeri
Tak diragukan lagi rangkai gurindam Raja Ali Haji: jika hendak tahu orang yang berbangsa, lihat kepada budi bahasa. Hari ini, bangsa Indonesia tidak hanya sebatas orang tak berbangsa (martabat) tapi justru telah menjadi negeri yang rusak binasa. Sekarang, kata amplop, bukan hanya berarti sampul surat, tapi lebih sering dipakai untuk maksud uang sogok atau suap. Juga kata uang kopi maupun uang rokok, bukan yang dimaksud uang sekadar pembeli secangkir kopi atau sebungkus rokok. Sasaran makna kata itu juga uang suap atau sogok.
Pada beberapa tempat pelayanan umum sering tertulis: jangan pakai calo. Tetapi dalam tulisan itu rupanya tersisip pesan ‘’pakailah calo’’ kalau mau cepat selesai. Sebab tanpa calo, urusan jadi panjang dan tak kunjung selesai. Begitu pula tulisan tidak dipungut bayaran, rupanya yang berlaku adalah kebalikannya. Maka benarlah konon Khalifah Ali bin Abi Talib mengatakan, bahwa kerusakan suatu negeri dapat dikenal melalui bahasanya.
3. Bangsa Bongak
Para pemuja bahasa asing itu bangga dengan bahasa asing yang dipakainya. Sebagian lagi hanya latah, ikut-ikutan walaupun tak mengerti. Sebagian lagi memang dengan maksud membuat bingung, sehingga dengan mudah berkilah ketika dikritik atau disalahkan orang. Inilah yang sering dilakukan para pejabat untuk melepaskan tanggungjawab.
Kesukaan memakai kata-kata asing itu sebenarnya adalah mental peniru, pemalas. Dengan meniru tidak perlu lagi berpikir dan berusaha. Sebab itu, budaya ini telah mematikan semangat kebebasan membuat kata-kata baru dalam Bahasa Indonesia. Lihatlah, sulit kita jumpai kata-kata baru dalam karya penulis, kalangan terpelajar dan cendikiawan Indonesia. Sementara Pusat Bahasa tak akan mampu menghadapi air bah kata-kata asing ini. Sebab, budaya ini didukung oleh para penulis dalam jumlah besar serta merajalela pada tiap media. Kalau tak ada kesadaran budaya yang bermartabat, tingkahlaku budaya ini takkan pernah surut.
Mari perhatikan kemampuan bahasa bangsa Indonesia, terutama kalangan terpelajar terhadap delapan pasang kata berikut ini: siap-selesai, tukar-ganti, Ahad-Minggu, tunggu-nanti, guna-peranan, bulat-bundar, cocok-cucuk dan lolos-lulus. Pasangan kata-kata ini amat menentukan logika pemakai Bahasa Indonesia. Namun kenyataan memberi bukti, hanya sedikit sekali kalangan terpelajar yang dapat membedakannya. Sebagian besar menyamakan saja pasangan kata-kata ini, sehingga logika bahasanya tumpul bahkan dapat menyesatkan.
Sebagai contoh, rumah yang dapat dihuni ialah rumah yang selesai dibangun, bukan yang siap dibangun. Mengganti pemimpin lebih baik daripada menukar pemimpin. Sebab, dalam menukar pemimpin, kedua pemimpin itu sana nilainya. Jadi tak ada harapan akan maju. Kalimat atau ucapan ‘’kita berangkat Ahad depan’’ jauh lebih tajam daripada ‘’kita berangkat Minggu depan’’. Pengulas sepak bola sering berkata, “selagi bola masih bundar, padahal bola itu bulat. Kata cocok artinya sesuai, kata cucuk artinya tancapkan (tusukkan). Sebab itu yang benar ialah cucuk tanam bukan cocok tanam.
Partai yang ikut Pemilu itu yang lulus seleksi atau lolos seleksi? Kata lolos punya makna buruk, tapi nyatanya yang dipakai kata lolos. Kalau dari delapan pasang kata itu saja tidak dapat membedakan artinya maka jangan tersinggung kalau dikatakan tidak punya kemampuan berbahasa Indonesia yang memadai. Dalam bahasa Melayu kampung orang seperti itu disebut bongak.***