Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Pesan Raja Ali Haji pada Penguasa, Oleh: UU Hamidy
Foto : ted.com

Pesan Raja Ali Haji pada Penguasa, Oleh: UU Hamidy

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi utusan terakhir untuk mengatur dan mengurus kehidupan umat manusia. Sepeninggal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para ulama menjadi pewaris Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memelihara kehidupan umat Islam, agar tetap beribadah menurut aturan yang benar dari Allah dan Rasul-Nya.

Demikianlah, dalam dunia Melayu telah tampil seorang ulama pengemban dakwah yang teguh memegang Syariah Islam. Ulama yang tegar pendiriannya itu ialah Raja Ali Haji. Dia naik haji bersama bapaknya, Engku Haji Tua, dan kabarnya belajar di Mekkah dan Mesir. Dia lahir tahun 1808 dan meninggal tahun 1870-an. Raja Ali Haji adalah cucu Raja Haji Fisabilillah, yang gugur dalam jihad melawan Belanda tahun 1784 di Teluk Ketapang.

Raja Ali Haji telah berjihad dengan jiwa, raga dan hartanya. Dia telah menulis sejumlah kitab yang amat bermanfaat bagi umat Islam. Karena bahasa menjadi sandaran budi pekerti, maka ulama ini menulis tatabahasa Melayu Bustanul Katibin dan kamus Pengetahuan Bahasa. Untuk meluruskan sejarah, beliau menulis kitab Salasilah Melayu dan Bugis dan kitab Tuhfat al-Nafis.

Pendidikan budi pekerti disampaikan oleh karangannya Syair Siti Sianah (bagi muslimah agar jadi ibu dan isteri yang sholehah) serta Syair Suluh Pegawai untuk tuntunan pengajaran agama. Kemudian karyanya yang paling terkenal Gurindam Dua Belas, telah memancarkan butir-butir mutiara ajaran Islam secara kaffah, karena meliputi panduan untuk pribadi, keluarga, masyarakat dan negara.

Sebagai seorang ulama, Raja Ali Haji punya keyakinan bahwa kerajaan atau negara harus diatur dengan Syariah Islam. Untuk mengatur kerajaan itu ulama ini telah menulis kitab Muqaddimah fi Intizam, khusus untuk menasehati raja dan para pembesarnya dan kitab Tsamarat al-Muhimmah kitab hukum untuk melaksanakan roda pemerintahan, mencakup nasehat perilaku raja dan pembesar negara serta aturan pemerintahan tentang hukum dan peradilan.

Kitab Tuhfat al-Nafis memberikan tekanan, pertama, tentang kelebihan ilmu, syarat pengangkatan pengambil keputusan dan tertib kerajaan. Kedua, persoalan hukum, mahkamah dan kerajaan. Ketiga, hal-hal yang harus ada dan harus ditolak dalam mengendalikan pemerintahan. Di sini ditegaskan raja adalah khalifah yang wajib menegakkan hukum syariat, sultan yang menegakkan hukum yang adil dan juga sebagai imam pemimpin keruhanian yang berdiri paling depan yang perintahnya tidak membawa kepada jalan yang kufur serta maksiat.

Dalam Muqaddimah fi Intizam, yang ditulis untuk pemegang teraju kekuasaan, Raja Ali Haji menegaskan, ‘’Bermula maksud kerajaan yang dikehendaki Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu yaitu dua jalan. Pertama-tama karena memeliharakan segala hamba Allah dari pada jatuh menganiaya setengah atas setengahnya daripada pertimbangan kesalahan dan kebenaran segala hamba Allah dan segala rakyat yang dibawah hukumnya dengan syariat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.‘’ Kedua, karena jasa dan balas yang amat besar di dalam akhirat dengan kepuasan di dalam surga…’’

Maka ada tiga macam orang lemah yang harus dilindungi oleh negara, yakni yang lemah kedudukan sosial ditindas oleh yang berkuasa, yang lemah ekonomi ditindas oleh yang kaya dan yang lemah fisik yang akan ditindas oleh orang kuat yang bagak. Maka negara menolong yang patut ditolong dengan harta ditolong dengan harta, yang patut dengan mulut (nasehat, petunjuk) ditolong dengan mulut, yang perlu tenaga ditolong dengan tenaga.

Dengan kitab Tuhfat al-Nafis dan Muqaddimah fi Intizam kita dapat gambaran bagaimana Raja Ali Haji memainkan peranan agar negara atau kerajaan dikendalikan oleh raja dan pembesarnya menurut Syariah Islam yang bersandar kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Jerih payah Raja Ali Haji ini telah mengantarkan masa kejayaan pada Kerajaan Riau dalam abad ke-19.

Dengan Islam sebagai fondasi kerajaan (negara) dan aturan yang kokoh pada agama Islam, maka Riau berhasil punya perpustakaan Kutub Khanah Marhum Ahmadi, yang buku-bukunya dibeli dari Timur Tengah senilai 10.000 ringgit, punya percetakan (penerbit) Mathaba’atul Riauwiyah, punya Syarikat Dagang Ahmadi dan perkumpulan cendekiawan Riau Rusydiah Klab yang kemudian berhasil pula menerbitkan majalah Al-Imam, yang membicarakan dunia Islam.

Begitulah Raja Ali Haji telah mengemban dakwah Islam dengan tekun dan tabah. Dia menghadapi tantangan dengan dada yang berisi ilmu dan iman, sehingga tidak gentar menyampaikan kebenaran Islam. Meskipun dia masih keluarga raja-raja Riau, namun dia tidak luntur oleh kaum kerabatnya. Dia dengan wibawa seorang ulama berani menegur para pejabat Kerajaan Riau yang diajak ikut berdansa di Batavia, ketika mendapat undangan dari pemerintah kolonial Belanda. Ulama yang piawai ini menegur para penguasa itu kira-kira dengan ucapan, ‘’Ini bukanlah kebiasaan kita orang Melayu.’’

Ulama negeri Melayu masa kini patut membanding diri terhadap apa yang telah dilakukan oleh Raja Ali Haji, yang telah menunaikan hidupnya dengan amal saleh dalam keadaan yang terhormat. Ulama negeri Melayu masa kini seyogianya tidak ikut menyokong sistem demokrasi yang kufur, yang telah menghancurkan umat Islam dan tatanan hidupnya.

Demokrasi sekuler itu harus disadari, tidak diturunkan dari Al-Qur’an dan as-Sunnah, sehingga jangan pernah berharap Islam akan tegak melalui sistem demokrasi. Demokrasi paling kurang telah meruntuhkan Islam dalam tiga perkara, yakni mengganti hukum Allah dengan hukum buatan manusia, menyamakan agama Islam dengan agama lain dan menyamakan suara manusia dengan suara Tuhan. Tiga perkara ini bisa membatalkan syahadat umat Islam sehingga akidahnya hancur dan dia jatuh kepada jalan maksiat.

Akhirnya, perhatikanlah bagaimana Raja Ali Haji memberikan pesan kepada para penguasa pada zamannya. Raja Ali Haji memberi kata kunci sebagai peringatan penting kepada para penguasa sesuai dengan sabda Junjungan Alam Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang kematian. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan bahwa manusia yang pintar ialah manusia yang banyak mengingat mati. Jika Alquran adalah peringatan yang berbicara, maka mati adalah peringatan yang diam.

Maka ulama yang cemerlang ini berpesan memberi nasehat kepada Yang Dipertuan Muda Riau, Raja Ali (1843-1857) pemegang teraju kekuasaan di Riau yang juga dapat dipandang sebagai simbol penguasa bagi dunia Melayu masa kini, ‘’Jangan sekali-kali lupakan akhirat itu meskipun apa dapat kesukaran dan kedukaan, kenangkan juga akhirat itu, jikalau berat sekalipun kepada hati memikirkan akhirat itu, gagahkan juga memikirkannya, karena ingatan akhirat itu pohon segala kebajikan dan kesenangan adanya.’’ ***

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *