Di mana tak ada elang,
Akulah elang kata belalang
Metafor Melayu
Tiap bahasa punya keistimewaannya masing-masing. Keistimewaan itu terletak pada sistemnya. Karena itu dapat dikatakan tidak ada bahasa yang benar-benar sama bentuk dan sifatnya dengan bahasa lain. Bahasa Inggris dan Arab sama-sama bahasa fleksi, membedakan jenis kata atas kategori waktu dan jenis kelamin.
Tetapi sistem jenis kata bahasa Arab lebih fleksi lagi daripada bahasa Inggris. Dalam bahasa Arab kebanyakan kata-katanya bertolak dari akar kata. Tiap akar kata menurunkan sejumlah bentukan kata dengan artinya masing-masing. Dalam bahasa Arab, semua kata benda diberi jenis kelamin. Karena itu ketepatan maknanya sangat tajam.
Bahasa Melayu punya keistimewaan dalam lambang dan kiasan, yang keduanya dirangkum dengan kata metafor. Orang Melayu dapat dikatakan begitu dekat pada alam, sehingga berbagai barang, benda, kerja dan sifat telah dibandingkan dengan kenyataan alam.
Akibatnya, ada yang dapat diganti dengan alam sebagai lambang. Sesuatu yang diganti dengan yang lain disebut dilambangkan dan dikiaskan. Begitulah laki-laki dilambangkan dengan kumbang atau embun. Perempuan dilambangkan dengan bunga. Hidup terkungkung atau terpenjara dikiaskan dengan burung dalam sangkar. Mencintai perempuan yang tak sebanding dengan kita, dikiaskan dengan pungguk rindukan bulan.
Kenyataan ini membuat bahasa Melayu amat kaya dengan lambang dan kiasan, sebagaimana dapat dijumpai dalam pepatah, ibarat, perumpamaan dan peribahasa. Semuanya tergambar dengan indah dalam gurindam dan pantun Melayu.
Akulah Elang
Elang adalah burung pemangsa yang besar. Dalam dunia mitos, elang raksasa bernama garuda. Elang punya bentuk dan penampilan yang sanggam, gagah, perkasa, anggun tapi juga dapat menakutkan. Elang punya ketajaman mata yang luar biasa, kemampuan terbang yang lama lagi jauh, bisa menangkap serta menyerang dengan paruh dan cakarnya yang hebat.
Daya jelajahnya, tidak hanya sebatas padang dan belukar. Jelajahnya melintasi rimba belantara, laut dan pulau, bahkan bisa mendunia. Dengan bentuk, sifat dan penampilan yang demikian, elang telah dipakai oleh orang Melayu untuk melambangkan yang menggenggam kekuasaan, pemegang teraju pemerintahan, seperti raja, sultan. Yang Dipertuan, yang disapa dalam bahasa Melayu purba dengan Duli Tuanku.
Perlambangan itu seakan hendak mengatakan, bahwa seorang pemegang teraju pemerintahan, tidak bisa hanya dari kalangan orang sembarangan. Dia tidak layak tampil hanya dengan suara terbanyak, seperti hasil Pemilu demokrasi sekuler. Seorang pemegang teraju pemerintahan harus punya kategori bagaikan elang, baru dapat mengemban tugasnya dengan jaya lagi gemilang.
Seorang pemimpin yang cemerlang tidak akan tampil tanpa kategori keunggulan seperti elang, tersandang pada dirinya. Pemilihan pemimpin dengan sistem demokrasi sekuler tidak akan mampu menampilkan seorang pemegang teraju kekuasaan yang tangguh bagaikan elang.
Kategori pemimpin dalam alam demokrasi sekuler, hanya berpijak pada satu ketentuan suara terbanyak. Sedangkan suara terbanyak terbukti dapat diperoleh dengan jalan culas, licik lagi munafik. Karena itu tidak ada satupun di dunia demokrasi sekuler seorang pemegang teraju yang dapat berkata ‘’Akulah Elang’’.
Amerika sekalipun yang dengan sombong dijuluki negara adidaya, nyatanya gedung pencakar langit World Trade Centre justru runtuh di depan matanya. Setelah kalah perang di Vietnam, dia juga tak berdaya mengalahkan Al Qaida dan Taliban. Padahal dia telah dibantu oleh sejumlah negara sekutunya dengan ribuan tentara dan senjata perang yang canggih. Namun insya Allah, dia akan masuk lumpur kehinaan oleh mujahidin Taliban yang hanya memakai senjata sederhana. Sebab Allah tidak akan membiarkan orang kafir memusnahkan orang beriman.
Sungguhpun demikian, jika kita jujur membaca jalan sejarah, kita akan mendapatkan pemimpin dunia yang bagaikan elang. Mereka adalah para Khalifah Islamiyah yang memegang teraju kekuasaan atas dasar syariah Islam. Dengan pedoman syariah Islam yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, telah terbukti dapat tampil pemimpin yang mendunia, yang mampu memberikan kesejahteraan pada siapapun tanpa pandang bulu.
Jelajah kekuasaan Khalifah Islamiyah, pernah mendunia dari Cordova di Spanyol sampai Konstantinopel di Turki. Atau, dari tanah Andalusia di Eropa sampai Baghdad di Asia. Bahkan sampai Nusantara, sebab raja-raja Melayu di Nusantara semuanya berlindung di bawah sayap Khalifah Islamiyah yang menjagad itu.
Bacalah kepiawaian mereka memimpin dalam sejarah, yang terjadi bagaikan legenda. Simaklah kejujuran dan ketinggian budi pekertinya. Perhatikanlah keteguhannya memegang hukum Allah dan saksikan keperkasaannya membela umat yang tertindas. Dan untuk yang terakhir tinjaulah kesederhanaan hidupnya yang berdampingan dengan kedermawanan yang tiada tara.
Khalifah Umar bin Khattab memikul sendiri gandum untuk rakyatnya yang miskin. Khalifah Ali bin Abi Thalib mengaku kalah dalam perkara dengan rakyatnya orang Yahudi yang miskin. Khalifah Al-Mu’tashim, tidak jadi mereguk kopinya, setelah mendengar seorang muslimah dizalimi. Khalifah Muhammad Al-Fatih membebaskan kota Konstantinopel dengan benteng yang perkasa. Sedangkan Salahuddin Al-Ayyubi memenangkan Perang Salib yang tentara kafirnya bagaikan air bah.
Pemimpin Belalang
Sekarang perhatikanlah sifat, tabiat, perangai dan tingkahlaku para peiabat yang dipandang sebagai pemimpin. Mereka jauh sekali dari lambang elang. Sebab mereka mendapat jabatan bukanlah melalui ukuran jasad keruhanian, tetapi oleh ukuran suara yang dapat dibeli dan dibuat-buat melalui berbagai tipu daya.
Demokrasi sekuler yang memakai ukuran suara inilah yang telah menampilkan pemimpin kelas belalang. Demokrasi sekuler hanya memutus perkara dengan hukum tagut buatan manusia. Hukum dari Allah Yang Maha Adil Lagi Maha Bijaksana, mereka campakkan.
Lantas, hanya apa hasilnya? Hanya apa yang dapat diandalkan dari seekor belalang? Belalang takkan pernah menyamai elang. Sebab belalang punya kemampuan jasad dan ruhani yang amat terbatas. Sedangkan untuk menjadi pemimpin yang tangguh diperlukan kondisi keperkasaan jasad dan ruhani yang mulia.
Maka sekarang, timbul semacam ironi. Rakyat mengharapkan pemimpin yang tangguh untuk mengatasi berbagai kesulitan dan persoalan hidup. Tetapi, berapa kali dan di mana saja diadakan Pemilu dengan sistem demokrasi sekuler, yang muncul tetaplah pemimpin belalang. Inikan aneh. Lambang negaranya garuda atau elang raksasa, tapi pemimpinnya belalang. Lalu apa yang dilakukan oleh pemimpin tipe belalang ini?
Bandingkanlah dengan apa saja yang dilakukan belalang. Kerja belalang hanya mengisap bunga padi, sehingga padi jadi hampa. Petani gagal panen, jatuh miskin dan melarat. Begitulah jugalah kurang lebih tipe pemimpin belalang.
Kerjanya cuma mengisap kekayaan negara ini. Hidup mewah dengan gaji besar dan kemudahan yang melimpah, bagaikan belalang enak-enak mengisap bunga padi tanpa ikut menanam padi. Korupsi dan hukum tidak masalah, sebab semuanya dapat diatur, seperti pernah disindir oleh almarhum Adam Malik. Lantas bagaimana dengan rakyat yang jatuh melarat? ‘’Emang gue pikirin’’.***
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Riau Pos, Senin 21 Februari 2011