- Sastra Lisan
Sastra lisan adalah karya sastra yang tersimpan dalam bentuk lisan, yakni ingatan seseorang tentang suatu cerita, yang kemudian dapat lagi diungkapkannya dalam bentuk cerita pula. Jadi sastra lisan ialah karya sastra yang ada dalam ingatan tukang cerita. Dia hafal teks cerita itu. Dengan demikian sastra lisan tersimpan pada tukang cerita, terpelihara teksnya dalam ingatan.
Ada beberapa tipologi sastra lisan, dipandang dari sudut tukang cerita yang menguasai atau menghafalnya. Pertama, sastra lisan yang hanya diingat oleh tukang cerita sebatas jalan cerita. Dia tak hafal teksnya. Dia hanya sebatas mengingat tokoh cerita dan jalan cerita. Kedua, tukang cerita mengingat atau hafal sebagian besar atau sebagian kecil teks cerita.
Ketiga, tukang cerita hafal semua teks cerita, tetapi tak mampu menampilkannya sebagaimana mestinya. Keempat, tukang cerita menguasai semua teks cerita dan mampu menampilkan teks itu, sebagaimana pernah ditampilkan. Kelima, tukang cerita hafal semua teks cerita, menguasai lagu cerita, tapi juga mampu memberikan tambahan teks atau perubahan lagu dalam penampilannya.
Di Riau ada sejumlah sastra lisan yang pernah berjaya dan menarik ditampilkan dalam zamannya. Kebanyakan sastra lisan Melayu di Riau, masih diminati khalayak sampai tahun 1950-an. Di antaranya dapat disebutkan, kayat di Rantau Kuantan, sesombou (basiacung) di Kampar, koba dalong di Pasipengaraian, lamut dan madihin di Indragiri Hilir, surat kapal di Indragiri Hulu dan nyanyi panjang di Petalangan. Beberapa tukang cerita yang pernah terkenal misalnya Mail Silu dan Jumat di Kuantan Singingi, Hasyim di Indragiri Hilir dan Mak Pilih di Petalangan.
- Petalangan
Mungkin banyak orang yang tidak mengetahui, apa dan di mana Petalangan. Petalangan mungkin berasal dari kata talang atau tolang, yakni sejenis bambu yang banyak tumbuh liar di hutan belantara. Tetapi dengan kata petalangan (dan juga talang seperti pada Talang Mamak) dimaksud suatu perkampungan di tepi rimba belantara, yang biasanya dilalui oleh sungai-sungai kecil atau anak sungai.
Petalangan, merupakan perkampungan yang relatif terpencil dari perkampungan Melayu lainnya, yang biasanya mendiami daerah aliran sungai besar, bahkan mendiami daerah pinggir jalan raya pinggir kota.
Petalangan yang relatif terpencil dari kehidupan ramai, menyebabkan pula punya kehidupan masyarakat dan budaya dengan sifat dan warna yang juga cukup istimewa. Masyarakat petalangan yang mendiami Pangkalan Kuras di Kabupaten Pelalawan, pada tahun 1987 mempunyai penduduk 10.154 orang. Terdiri dari 4.986 lelaki dan 5.168 perempuan.
Mereka terdiri dari beberapa suku, dengan batin sebagai pemipin pucuk suku. Dari 29 batin yang pernah berada di bawah Kerajaan Pelalawan, 8 di antaranya berada di Petalangan, yakni Batin Tua, Napuh di Pangkalan Lesung, Batin Sengerih di Pangkalan Kemang, Batin Penatan di Sorek, Batin Hitam di Sungai Medang, Batin Putih di Sungai Air Hitam, Batin Muda di Genduang, Batin Muncak Rantau di Lubuk Kembang Bunga dan Batin Monti di Talau.
Masyarakat Melayu Petalangan yang mendiami belantara Pangkalan Kuras berada pada 17 kampung atau desa. Mereka berasal dari beberapa puak Melayu di sekitarnya seperti Rantau Kuantan, Kampar, Malaysia dan Minangkabau.
Ragam suku itu telah lebur kedalam warna budaya, sehingga dialek Melayu Petalangan ini membayangkan ada warna dialek Kampar, Kuantan dan Minangkabau. Mereka mendiami daerah Petalangan ini, mungkin sekitar 150-170 tahun yang silam. Awal kehadiran nenek moyang mereka itu telah ditandai dengan rangkai kata:
Tatkala gagak masih putih
Tatkala bangau masih hitam
Tatkala nenek makan keluang
Tatkala Kuantan belum bernama Kuantan
sungai keruh akan namanya
Tatkala Batanghari belum bernama Batanghari
sungai deras akan namanya
Tatkala Kampar belum bernama Kampar
sungai embun akan namanya
Leluhur puak Melayu Petalangan yang paling terpandang ialah Datuk Demang Serail. Dialah tokoh masyarakat yang pertama membuka kampung di Petalangan. Karena dia menyangkutkan gongnya pada kayu kuras, maka itulah sebabnya daerah Petalangan itu disebut Pangkalan Kuras.
Kata pangkalan artinya tempat singgah atau bermukim, yang nanti dibuat lagi pangkalan berikutnya. Walaupun dalam tambo tiap suku masih dapat diketahui beda asal-usul, namun dalam jalinan nilai melalui perkawinan, mereka akhirnya merasakan satu masyarakat dengan citra kehidupan yang sama, sebagaimana telah terpatri dalam nyanyi panjang :
Ketuku batang ketakal
ketiga batang kelimuyang
Sesuku kita seasal
seusul kite semoyang
- Mak Pilih
Khazanah sastra lisan Melayu Petalangan, sudah tersingkap oleh beberapa penulis. Tenas Effendy –budayawan yang harum namanya itu– telah membukukan cerita Bujang Si Undang, 1988 dan Bujang Tan Domang, 1997. Griven H Putra mengumpulkan cerita rakyat Pelalawan, yakni Cerita Pinang Beribut 2001 dan Si Kopal Pulut 2005.
Herman Maskar menuliskan cerita atau Nyanyi Panjang Balam Ponganjuw tahun 2007. Sedangkan menumbai (puisi mengambil madu lebah sialang) dapat dibaca dalam karya UU Hamidy Rimba Kepungan Sialang, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 1987.
Dari enam dokumentasi itu, Herman Maskar berhasil mencatat tukang cerita yang paling terkenal di Petalangan. Tokoh itu ialah Mak Pilih. Mak Pilih lahir di Sorek Pangkalan Kuras tahun 1934, sehingga pada tahun 1987, sewaktu Herman Maskar menjumpainya untuk menyalin nyanyi panjang Balam Ponganjuw, dia telah berusia 72 tahun.
Mak Pilih adalah tokoh nyanyi panjang yang paling populer di Petalangan. Nyanyi panjang adalah sastra lisan yang paling disukai oleh masyarakatnya. Tenas Effendy memperkirakan ada sekitar 100 judul cerita nyanyi panjang, Sudirman Shomary mencatat ada 27 judul, sedangkan Mak Pilih menguasai 35 Judul cerita.
Mak Pilih adalah zuriat ketiga tukang nyanyi panjang. Zuriat (generasi) pertama ialah neneknya yang bernama Soi (mungkin dari nama lengkap Sori) setelah itu ialah ibunya yang bernama Doyun. Yang ketiga barulah Mak Pilih.
Mak Pilih belajar nyanyi panjang dari ibunya. Dia mengikuti ibunya pergi ke mana-mana menampilkan nyanyi panjang, sambil belajar dan menghafal cerita-cerita yang ditampilkan ibunya. Dalam waktu senggang, Mak Pilih mencoba mengulang-ulang nyanyi panjang yang dihafalnya, sehingga dia jadi mahir menyanyikannya dengan baik.
Dengan kebolehannya mendendangkan nyanyi panjang, Mak Pilih telah melalui lintasan hidupnya sebagai seniman nyanyi panjang. Berbagai kampung dan pelosok Petalangan telah dikunjunginya untuk menampilkan kesenian ini.
Pada satu sisi dia menghibur dirinya yang hanyut dalam duka kehidupan dunia. Pada seberang sana, dia menghibur hati khalayak. Dengan nyanyi yang indah lagi bermakna, penampilannya bagaikan ventilasi pada jendela, yang mampu memberikan udara, segar dalam cuaca kehidupan dunia yang begitu panas.
Ada 7 judul cerita nyanyi panjang yang dihafal dengan baik oleh Mak Pilih. Ketujuhnya ialah ‘’Sutan Paminggie’’, ‘’Lanang Bisai’’, ‘’Tuangku Kombang’’, ‘’Malin Dewa’’, ‘’Mogek Bimbang’’, ‘’Gando Bujang’’, ‘’Kojo Intan’’ dan ‘’Balam Ponganjuw’’.
Di samping itu dia masih menghafal 35 judul cerita nyanyi panjang, yang niscaya juga dapat didendangkannya. Dengan demikian, Mak Pilih sebenarnya adalah gudang sastra lisan nyanyi panjang di Petalangan. Penampilannya sulit dicari tandingannya.
Demikianlah lintasan hidup Mak Pilih sebagai seniman nyanyi panjang. Dalam rentang waktu yang panjang itu, dia tidaklah mendapatkan keuntungan materi, seperti yang berlaku sekarang ini. Dia hanya mendapat kepuasan hati karena seni yang ditampilkannya telah mendapat sambutan yang baik dari khalayak.
Sementara masyarakatnya sendiri tidak memberi cendera mata atau piagam tanda penghargaan. Mereka menghargai Mak Pilih sebagai seniman dengan pemberian sekadarnya, dari kehidupan mereka yang sederhana pula.
Pada tahun 1999 Mak Pilih dengan inisiatif Herman Maskar, menampilkan nyanyi panjang yang amat disukainya, di hadapan mahasiswa Fakultas Keguruan Universitas Islam Riau, di Pekanbaru. Penampilan itu, agaknya sebagai penampilan terakhir perjalanan hidupnya.***
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Riau Pos, 27 Desember 2009