Allah Maha Bijaksana telah menyampaikan lewat Alquran kitab pedoman hidup umat manusia bagaimana nasib yang menimpa berbagai umat terdahulu, karena menolak wahyu Allah yang disampaikan para rasul Allah kepada mereka. Mereka lebih percaya kepada ajaran nenek moyang yang tidak masuk akal sehat sehingga selalu berada dalam kesesatan. Kenyataan ini menarik melihat kenyataan dunia masa kini dengan sebagian besar umat manusia lebih percaya kepada paham demokrasi yang dibuat oleh nenek moyangnya. Dengan demokrasi itu mereka berpendapat telah berbuat sebaik-baiknya, padahal sebenarnya berada dalam kerugian yang nyata, karena tak mau mengikuti aturan Allah yang merupakan puncak kebaikan dan keadilan.
Lihatlah cara kerja demokrasi. Demokrasi membuat partai-partai yang katanya memberi jalan kemakmuran dan kesejahteraan. Tetapi nyatanya partai itu bersandar kepada kaum kapitalis untuk mendapatkan dana bagi kekuatannya. Keadaan itu membuat partai-partai hanya jadi kuda tunggangan oleh kaum kapitalis untuk menguasai berbagai sumber daya alam di mana-mana. Lihatlah bagaimana negara Amerika Serikat dan sekutunya mengirimkan beribu tentara kepada negeri muslim, untuk melindungi kepentingan perusahaan besar dari negerinya. Untuk menjaga muka tidak dituduh penjajah, maka dipakailah dalih untuk membasmi teroris yang dengan mudah dapat dibuat melalui teori konspirasi.
Partai-partai dalam alam demokrasi memakai kategori kader sebagai syarat utama untuk diberi kedudukan dalam partai serta jabatan dalam pemerintahan. Bagaimana kaderisasi partai hampir tak pernah diketahui dengan jelas bagaimana programnya. Yang jelas kader yang baik ialah yang rajin mengikuti rapat serta pertemuan partai. Bukan pelatihan memecahkan masalah kehidupan. Ternyata hasil pengkaderan ialah kemampuan menarik anggota dan pendukung sebanyak mungkin, agar banyak dapat suara dalam tiap pemilihan umum. Karena itu kader juga harus punya taktik yang hebat mendapat bantuan dana yang besar dari kaum kapitalis serta punya kiat yang licik mengambil hati rakyat dalam kampanye.
Dari kenyataan seperti itu terbukalah rahasia, mengapa kader partai, bahkan tokoh partai tidak mampu menyelesaikan masalah ketika menjadi pejabat dalam pemerintahan. Mereka memang tidak dilatih berpikir membuat ide, gagasan dan rancangan tentang peri kehidupan oleh partai, sehingga selalu kandas mendapat jalan keluar yang diharapkan oleh rakyat. Mereka mengharapkan jabatan pemerintahan bukan pertama-tama untuk membuat prestasi gemilang meninggalkan jasa baik kepada rakyat, tetapi gambaran kehidupan mewah dengan berbagai kemudahan yang menggiurkan. Karena itu apa yang disampaikannya dalam kampanye Pemilu untuk mengambil hati rakyat, hanya menjadi fatamorgana. Rakyat hanya mendapat para pembual dari kader partai.
Mengapa hasil kaderisasi partai tidak dapat diandalkan untuk memegang teraju kepemimpinan dalam bernegara atau pemerintahan, sebenarnya telah terjawab oleh faktor sebab-akibat kualitas kader partai sebagaimana dapat terbaca dalam gambaran di atas. Tapi marilah kita pertajam lagi agar kita paham benar mengenai hal ini sehingga tidak terjadi kerusakan dan maksiat yang lebih besar. Harus ditegaskan bahwa partai-partai dalam alam demokrasi gagal menampilkan kader yang berkualitas paling kurang oleh dua perkara yang mendasar. Pertama, kesalahan yang paling fatal ialah, karena partai tidak mendidik para kader partai supaya punya akhlak mulia. Kader partai ternyata hanya dilatih punya akal yang cerdik dan kecerdikan itu hanya untuk kepentingan dirinya dan partainya. Karena itu kader partai setelah mendapat jabatan pemerintahan melakukan kecurangan, menindas rakyat bahkan sampai korupsi. Ternyata tidak ada partai yang merasa malu dengan perbuatan kadernya melakukan kecurangan terhadap rakyatnya. Tidak ada partai yang merasa perlu minta maaf kepada rakyat atas kejahatan yang dilakukan oleh kadernya. Bahkan meskipun kejahatan itu dilakukan oleh tokoh partai, tetap dipandang tidak menjadi aib, sehingga partai tidak akan pernah membubarkan dirinya oleh kejahatan perbuatannya.
Mengapa terjadi demikian? Kenyataan itu terjawab oleh faktor kedua, yakni paham demokrasi yang dianut oleh partai dan negara. Dalam paham demokrasi tidak ada tempat bagi akhlak mulia. Sebab demokrasi telah memberikan kebebasan individu pada siapapun juga, tanpa perlu merasa bersalah apalagi berdosa dalam berbagai perbuatannya. Bahkan dalam demokrasi, lewat hak asasi manusia (HAM), seorang penjahat sekalipun tetap punya hak menjadi pemimpin. Karena itu selama budi pekerti akhlak mulia tidak diindahkan oleh partai-partai itu, jangan berharap mendapat pemimpin yang jujur, adil lagi bijaksana. Itulah sebabnya pemimpin dalam Syariah Islam bersandar kepada akhlak mulia sebagaimana telah dipandu oleh pedoman hidup umat manusia yaitu Alquran dan As-Sunnah. Nabi Muhammad Saw telah memberi contoh dan tauladan, bagaimana memimpin umat manusia dengan akhlak mulia, sehingga beliau berhasil menampilkan generasi umat manusia yang terbaik di muka bumi. Benarlah, Junjungan Alam itu telah diutus oleh Allah Yang Maha Bijaksana untuk menyempurnakan akhlak umat manusia.***
Kredit foto: Malang Bersyariah