2. Etika Kepemimpinan Melayu
Dalam pandangan tradisional puak Melayu di Riau, kerajaan atau negara bukanlah didirikan untuk memenuhi ambisi politik seseorang atau suatu kaum (golongan), tetapi didirikan untuk memelihara dan melindungi rakyat dari penindasan oleh pihak yang satu terhadap yang lain. Kerajaan atau negara harus melindungi yang lemah kedudukannya dari penindasan yang berkuasa, yang miskin dilindungi dari keserakahan yang kaya, yang lemah fisik harus dilindungi dari penganiayaan orang yang kuat atau bagak.
Dalam hal ini, Raja Ali Haji –pemimpin, ulama dan pengarang Melayu Riau yang piawai—telah memberikan penjelasan sebagai berikut:
‘’Bermula maksud kerajaan yang dikehendaki Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu yaitu dua jalan. Pertama-tama karena memeliharakan segala hamba Allah daripada jatuh menganiayai setengah atas setengahnya, daripada pertimbangan kesalahan dan kebenaran segala hamba Allah dan segala rakyat yang di bawah hukumannya dengan syariat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Kedua, karena jasa dan balas yang amat besar di dalam akhirat dengan kepuasan di dalam surga … ‘’
Maka seorang pemimpin dan lebih-lebih pemegang teraju kekuasaan, menurut pesan Raja Ali Haji, hendaklah berjasa kepada rakyat dan bangsanya. ‘’Hendaklah berjasa kepada yang sebangsa’’, begitu bunyi di antara gurindam beliau. Karena itu, dalam dunia Melayu di Riau, seorang pemimpin hendaklah selalu memikirkan dan mencari jalan untuk memakmurkan rakyatnya. Sekali lagi ditegaskan oleh beliau:
‘’Jangan lain dipikirkan melainkan hendak mencari jalan kesenangan isi negeri yang di dalam perintah paduka adinda, sama ada rezekinya atau jalan piciknya ; yang patut ditolong dengan harta, tolong dengan harta ; yang patut ditolong dengan mulut, tolong dengan mulut ; dan yang patut ditolong dengan anggota, tolong dengan anggota.’’
Dengan demikian, dalam pandangan dunia Melayu di Riau, mencari kedudukan, jabatan dan kekuasaan, bukanlah menjadi tujuan oleh seorang pemimpin atau pejabat. Tujuannya ialah untuk berbakti kepada rakyat banyak dalam rangka menunaikan ajaran Islam yang membawa rahmat bagi segenap alam. Itulah sebabnya raja-raja Melayu di Riau tak ada yang menjadi raja sampai botak dan pikun 30 tahun lebih. Malah ada di antara mereka, yakni Yang Dipertuan Muda Riau Raja Haji Abdullah (1857-1858) hanya mau menjadi raja (memegang kendali pemerintahan) selama satu tahun saja. Perhatikanlah ucapan beliau:
‘’Saya ini, apabila sampai setahun di dalam pekerjaan raja ini, saya hendak berhenti. Jika dikehendaki oleh Governement, adalah ganti saya anak saya Muhammad Yusuf. Adapun anak-anak salbi saya, tiadalah yang kebetulan kepada hati saya, yang saya hendak pindah ke Bintan atau mana-mana tempat yang sunyi membuat ibadat.’’
Di atas segalanya ini, pandangan tradisional Melayu di Riau, tidak meletakkan kategori orang besar sebagai orang yang punya jabatan tinggi atau kekuasaan yang besar. Ukuran kebesaran seseorang bukan pertama-tama dari sudut politik atau kekuasaan, tetapi dari kategori akhlak. Sebab itu, kata Raja Ali Haji, orang besar-besar itu bukanlah orang yang keturunan bangsawan atau yang memiliki kedudukan dengan kekuasaan tinggi, tapi adalah orang yang menjaga budi pekertinya. Dengan penilaian itu, seorang pemimpin dalam tradisi Melayu di Riau, akan kehilangan wibawanya serta kendali pimpinannya, apabila berbuat zalim dalam tingkahlaku pemerintahannya. (bersambung)
One comment
Pingback: Nilai-nilai Kepemimpinan Melayu (Bagian 1), Oleh: UU Hamidy – Bilik Kreatif