Ibu bukan orang terkenal. Tidak pula sekolah tinggi-tinggi. Beliau hanya seorang guru Sekolah Dasar. Hampir 90 persen masanya ketika berkhidmat sebagai cikgu, dihabiskan dengan menjadi wali kelas I. Jenjang pendidikan paling bawah yang mengajarkan para murid membaca, menulis dan berhitung. Menghadapi anak-anak yang kadang masih buang air kecil dan besar di celana, kanak-kanak yang masih takut bersekolah sehingga orangtuanya terpaksa masih ikut duduk di dalam kelas.
Namun bagi kami, Ibu adalah pendakwah sejati. Atas izin Allah, beliau lah yang mengenalkan kepada kami dakwah sunnah. Tanpa kenal lelah, Ibu mengetuk pintu hati kami untuk menyelami indahnya syariat dan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sudah barang tentu bukan hal yang mudah. Karena mendakwahi keluarga adalah salah satu yang paling susah. Ibu tunak, bersabar menghadapi kami. Pantang menyerah, memohon kepada Allah agar kami diberi hidayah.
Dan memang skenario Allah tetaplah yang paling indah. Kurang lebih 20 tahun yang lalu, Allah mengirimkan seorang ustadz untuk menjadi jiran kami. Tinggal tepat di sebelah rumah. Belakangan baru kami tahu, ternyata beliau lulusan Universitas Islam Madinah.
Awalnya, kami pikir ustadz ini ya tentu seperti ustadz pada umumnya. Tiap waktu sholat, beliau pergi ke masjid. Dan kalau kebetulan ketika itu aku sedang menyapu di teras, beliau akan mengucapkan salam, “Assalamualaikum.”
Terasa ada hal yang asing. Anggota keluarga yang lelaki, ketika itu, baru Ayah yang rutin sholat lima waktu ke masjid. Yang lain paling-paling hanya Maghrib atau Isya. Maka ketika waktu sholat sudah masuk, dan kami ketika itu masih santai-santai di teras, lewatlah Ustadz Fulan tadi. “Ayo, ke masjid,” katanya dengan senyumnya yang khas.
Lalu, ramailah orang datang ke rumah Ustadz Fulan. Ternyata beliau mengadakan kajian. Ibu, yang pada dasarnya memang senang menghadiri taklim, ikut pula mengaji ke rumah tetangga. Makin lama, makin banyak jamaahnya. Rumah Ustadz tak muat lagi. Sampai-sampai, yang laki-laki harus rela duduk di atas sepeda motor, parkir di halaman, demi mendengarkan kajian.
Kami mulai heran, apa betul yang dikaji Ustadz Fulan ini, sampai sebegitu relanya jamaahnya berpanas-panas di luar demi mendengarkan ceramah? Untunglah halaman cukup luas. Ibu pun mulai kecanduan kajian. Tiap jadwal yang ditentukan, dia tak pernah ketinggalan.
Timbul lah rasa penasaran. Memang apa betul kajinya? “Pokoknya elok-elok kaji orang tu,” kata Ibu.
Ketika jamaah kian bertambah, Ibu akhirnya menyediakan rumahnya sebagai tempat kajian. Qaddarullah, ketika kajian akan dimulai, salah seorang dari kami sedang berada di kamar depan. Pintu keluarnya pas di depan ruang tamu. Mau keluar, rasa tak sedap hati karena jamaah sudah banyak dalam rumah. Akhirnya, terkurunglah dalam kamar. Kajian pun dimulai. Membahas tentang tata cara wudhu. Eh, ternyata banyak ilmu baru yang kami baru tahu. Maka ikutlah menyimak kajian secara diam-diam.
Lalu Ibu pun ikut pula kajian Ustadz Maududi di sebuah masjid kecil dalam lingkungan Sekolah Nurul Madinah di Jalan Ampi. Tiap Ahad pagi, aku yang bertugas mengantarnya. Dekat tengah hari, aku menjemput Ibu kembali. Jarak dari rumah ke Jalan Ampi hampir 7 Km. Lumayan juga pulang pergi dua kali sehari. Tapi, daripada penat bolak-balik, Ibu tak pula menawarkan padaku untuk menunggunya atau ikut saja kajian. Aku sudah mau mengantarnya saja, itu sudah membuat Ibu bahagia.
Ketika Ustadz Fulan akhirnya pindah, Ibu semakin giat ikut pengajian. Entah dari mana dia dapat info jadwal kajian karena ketika itu Ibu belum punya handphone. Kajian di Masjid Umar bin Khattab, kajian di masjid Jalan Balam, kajian di Masjid Fatimah, kajian di Balai Sudirman, dan lain sebagainya. Walaupun Ibu tidak bisa bawa kendaraan, ada saja caranya untuk pergi kajian. Jalan kaki pulang pergi pun tak masalah. Dari Ibu lah kami tahu bahwa Masjid Raudhatul Jannah Islamic Center (RJIC) akan dibangun.
Ibu memang tidak banyak cerita. Tapi, kami melihat penampilan Ibu berubah. Kami melihat Ibu sibuk pergi ke pengajian. Lalu, pelan-pelan, dia mulai berani menasehatiku dengan penuh kasih sayang. “Cobalah panjangkan sedikit lagi jilbab tu,” katanya. Maka ketika aku membeli jilbab yang agak lebih dalam, Ibu gembira sekali. Padahal, aku tahu, bukan jilbab seperti itu yang Ibu mau. Yang dibeli itu masih kurang dalam. “Ndak apa-apa. Kalau langsung pakai yang dalam, mungkin terasa berat. Atau terlalu cepat. Pelan-pelan saja,” hiburnya.
Lambat-laun, Ibu memberi tahu beberapa hal yang selama ini aku anggap biasa, tetapi ternyata tidak dibolehkan oleh agama. “Semua ada dalilnya. Kenapa begini dan begitu, segalanya ada dasarnya. Shohih,” ujarnya.
Tapi aku masih seperti siput. Hanya beringsut-ingsut. Kadang malah diam di tempat. Hanya menjadi pengamat. Maka Ibu pun ganti metode dakwah. Dia beli radio portabel dan parabola Telaga Hati TV. Kami dua beranak, punya kebiasaan suka bebual di kamar Ibu. Tiap ke kamar Ibu, aku selalu menjumpainya sedang mendengarkan Radio Hidayah 103,4 FM. “Daripada dengar yang lain-lain, lebih baik dengar Hidayah kalau kalian naik mobil,” sarannya.
Maka rumah pun berubah. Siaran radio Hidayah terdengar di mana-mana. Kalau Ibu memasak, radio diangkut ke dapur. Kalau Ibu duduk-duduk di depan, radio ikut pindah juga. TV dipenuhi oleh kajian dan ceramah. Mau tidak mau, telinga dan mata kami ikut mendengar dan melihat kajian. Sungguh teknik komunikasi dan diplomasi yang mumpuni.
Maka mulailah kami mendengar radio Hidayah kalau sedang naik mobil. Ternyata, siarannya bagus-bagus belaka. Ketika dakwah sunnah kian gencar di TV, Ibu pun membeli parabola lagi. Tiap hari, radio dan TV inilah yang mendampingi aktivitas Ayah dan Ibu di rumah. Kami sering melihat mereka berdua mendengarkan radio. Atau duduk berdua di ruang TV mendengarkan kajian. Kadang diselingi diskusi.
Berkat pertolongan dan hidayah dari Allah serta tentu juga doa Ibu serta Ayah siang dan malam, kenal lah kami pada dakwah sunnah. Jalannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ketika sampai di titik ini, terasalah oleh kami bagaimana beratnya perjuangan Ibu. Betapa kami yang dahulu tentu menjadi beban pikiran bagi beliau. Namun demi kami, Ibu tetap teguh. Pantang menyerah mengenalkan dakwah sunnah. Bukan berarti kami sudah baik. Tidak sama sekali. Allah sajalah yang menutupi aib-aib kami.
Ibu sungguh telah memberi kami contoh dan teladan yang luar biasa. Hingga di usia senjanya, dia tetap semangat belajar tahsin dan mendatangi taman-taman surga. Semangat menuntut ilmu hingga ke akhir hayatnya. Selalu berusaha mencatat isi kajian.
Sungguh indah rencana Allah. Dia siapkan kami jauh-jauh hari untuk menerima musibah ini. Dan Ibu, adalah orang yang punya andil besar dalam persiapan itu. Sungguh tak terbayangkan bagaimana jika kami mendapat musibah ini dalam keadaan belum mengenal dakwah sunnah.
Ibu, hidup kami setelah kepergianmu memang sungguh tidak mudah. Sudah setua ini umur kami, alhamdulillah, segala kesedihan dunia, atas izin Allah, berkurang kadarnya melalui kehadiranmu. Nasehat-nasehatmu yang menyejukkan. Elusan dan pelukanmu yang menenangkan. Semangatmu, senyum tawamu yang menjadi pelipur lara, pembasuh duka.
Akan tetapi, berkat rahmat Allah, engkau persiapkan kami dengan cara yang indah. Mengenalkan kami pada dakwah sunnah. Sehingga ketika kapal ini terasa oleng dan ingin tenggelam, Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang memberi kami pertolongan. Allah ingatkan kami untuk kembali pada Al Qur’an dan as-Sunnah. Allah ingatkan kami pada nasehat-nasehatmu.
“Perbanyaklah doa.”
“Jangan lupa baca mushafmu.”
“Berusahalah tahajud.”
“Jangan berhenti berdzikir.”
“Jangan putus istighfar.”
Itulah di antara sebagian penawar yang selalu Ibu ucapkan.
Kini, salah satu pintu surga kami telah pergi. Salah satu orang yang doanya mustajab sudah tiada lagi. .Semoga Allah menolong kami untuk senantiasa mendoakanmu. Semoga segala jerih payahmu mengenalkan kami pada dakwah sunnah dicatat oleh Allah sebagai amal jariyah. Semoga doa-doa yang ditujukan kepadamu, ada yang membuat arasy-Nya bergetar, sehingga dimudahkanlah dirimu di alam kubur. Semoga Allah limpahi kami dengan sabar. Karena kami berharap musibah ini membuat kami diberi ganjaran oleh Allah. Pahala tanpa batas. Semoga segala amal kebaikan yang telah Ibu lakukan selama ini, dapat kami lanjutkan dan teladani. Semoga Allah senantiasa memberi kami hidayah, membantu kami untuk tetap istiqomah, tegar di atas sunnah hingga ke akhir hayat.
Seperti kata Ayah, “Purni, kalau kita sandarkan kepergian Ibumu kepada dunia, yang ada niscaya adalah kesedihan belaka. Tapi anakku, kalau kita sandarkan kepada akhirat, tentu tidak akan demikian. Kita doakan Ibumu dilapangkan jalannya oleh Allah. Kita yang tinggal ini, sedaya upaya harus berusaha sekuat tenaga bagaimana memperbanyak amal sholeh, berbuat kebaikan. Mudah-mudahan, dengan demikian, Allah kelak akan berkenan mengumpulkan kita kembali di surga-Nya. Bertemu lagi dengan Ibumu.”
Ibu mungkin memang tidak dikenal. Tapi, Ibu seperti inilah yang alhamdulillah diberikan Allah untuk kami. Ibu yang menjadi sebab oleh Allah kami mengenal dakwah sunnah. Tiada nikmat yang paling besar setelah nikmat Islam selain daripada nikmat mengenal sunnah.***