Alhamdulillah, kami diberi musibah oleh Allah dengan meninggalnya Ibu kami (rahimahallah) di saat kami telah mengenal dakwah sunnah. Sedih, tentu sudah pasti. Tetapi, sungguh tak terbayangkan rasanya jika kami menerima musibah ini dalam kondisi kami yang dahulu. Semoga Allah Azza Wa Jalla tetap memberi kami hidayah ini sampai akhir hayat.
Ibu menghadap Ilahi hanya beberapa detik menjelang adzan Subuh, Sabtu 24 Muharram 1443 H atau 4 September 2021. Alhamdulillah, kami tiga beranak tak ada lagi debat. Semua bulat bermufakat. Ibu diselenggarakan sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Salah satu keinginan Ibu semasa hidupnya alhamdulillah dapat kami penuhi. Kami pun, jika sampai ajal nanti, juga sangat berharap dapat diselenggarakan seperti ini.
Kami segera menghubungi kawan-kawan di Sahabat Peduli Cendikia (#SPC) dan Tim Janaiz Masjid Raudhatul Jannah Islamic Center (RJIC). Mereka segera tanggap dan sigap membantu. Menyelenggarakan jenazah disunnahkan lebih cepat lebih baik. Kami sepakat Ibu dimandikan pukul 8.00 dan disholatkan di Masjid RJIC pukul 10.00.
Belum sempat membuka jendela rumah, para keluarga dekat dan sahabat sudah berdatangan. Mereka membawakan kami sarapan dan ikut berbenah rumah untuk persiapan penyelenggaraan jenazah.
Pukul 7 lebih sedikit, teman-teman #SPC dan Tim Janaiz RJIC sudah berdatangan. Para senior seperti Pak Daryanto dan Pak Jasnur langsung turun tangan membantu menyiapkan segala hal yang diperlukan. Pukul 8, tim memandikan bekerja tangkas dan ligat. Alhamdulillah Ibu bisa dimandikan dan dikafankan dengan privasi yang sangat terjaga. Tiada auratnya yang tersingkap. Hasil kerja sungguh kemas, bersih dan rapi.
Kami tidak pening memikirkan makan dan minum para pentakziyah karena mereka paham bahwa tidak boleh makan dan minum di rumah mayit. Kami tidak disusahkan dengan mengadakan suguhan makanan. Kami tidak perlu banyak pikir. Justru kami yang dipikirkan dan diurus oleh teman-teman. Ma syaa Allah, memang begitulah semestinya. Insan yang berduka, sesuai fitrahnya, tentu sungguh takkan nyaman jika harus memikirkan segala tetek-bengek mengurus orang lain.
Tak lama setelah selesai dimandikan, tanpa upacara ini itu, kami menuju masjid untuk sholat jenazah. Kami sungguh terharu melihat teman-teman Ibu sesama mengaji datang untuk ikut mensholatkan. “Afwan, kami tak sempat ke rumah. Kami langsung ke masjid saja.” Ya Allah, teman seperti inilah yang kita cari. Kawan yang kita harap ikut menyelenggarakan jenazah kita jika sudah tiada nanti. Padahal, qaddarullah, karena waktu yang sangat kasip, berita duka hanya dapat kami sampaikan lewat media sosial dan beberapa telepon saja. Teman-temanlah yang banyak membantu dalam menyebar-luaskan informasi.
Setelah sholat, langsung pula menuju pekuburan. Di pekuburan, orang berlumba-lumba untuk mendapat giliran membantu. Tentu demi harapan pahala 1 qiroth lagi. “Ayo, gantian sekop dan cangkulnya.” Begitulah antusiasme mereka ingin ikut serta. Walaupun cuma sekedar beberapa menit. Bukan dibiarkan orang yang itu-itu saja yang bekerja. Semua pun ingin dapat bagian.
Pulang ke rumah, sudah banyak yang mengantarkan makanan. Kami tinggal menikmati. Malam hari, kami kembali dikunjungi. Dibawakan lagi berbagai makanan. Teman-teman menghibur dan mengipuk-ipuk hati kami.
Selama beberapa hari, ada saja orang yang mengantarkan kami makanan. Bahkan, setelah lebih seminggu Ibu pergi pun masih ada yang mengantarkan makanan. Lagi-lagi hanya tinggal menikmati. Bahkan karena banyaknya, alhamdulillah kami berpeluang pula memperpanjang sedekah-sedekah itu dengan berbagi kepada jiran. Mudah-mudahan dengan demikian semakin berkah pula lah hendaknya.
Kami tidak disibukkan dengan ritual-ritual yang meletihkan. Tidak penat oleh perkara-perkara yang tidak ada tuntunannya. Sederhana, ringkas dan mudah. Sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sesuai pula dengan fitrah manusia yang tengah diberi musibah.
Ibu pergi Subuh hari. Jarak antara beliau berpulang dengan penyelenggaraan jenazah tidak terlalu lama. Hanya kurang lebih 3 jam. Ini sungguh besar hikmahnya. Dengan waktu yang demikian sedikit, orang tidak punya kesempatan untuk berbuat hal-hal yang tidak disyariatkan. Kami pun tidak perlu payah-payah menegah. Sebab memang tidak ada yang berbuat. Salah satunya, atas izin Allah, adalah karena kasipnya waktu tadi.
Mungkin, banyak yang merasa asing ketika melihat penyelenggaraan Ibu. Rasanya kok aneh. Ganjil dan tidak biasa. Saudaraku, yang seperti inilah yang dicontohkan oleh Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Yang kita bersyahadat menyebut namanya.
Jauh-jauh hari Ibu sudah menasehati. “Kadang, penyelenggaraan jenazah sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu sering dikatakan sama seperti menguburkan kucing. Karena ndak ada pakai acara-acara. Maka harus banyak bersabar sajalah kita,” kata Ibu, dulu, suatu hari.
Ayah pun, atas berkat dan rahmat Allah, telah memberi tahu hal ini dalam kuliah-kuliah yang beliau berikan. “Cobalah berpikir logis saja. Berapa dana yang diperlukan untuk satu kali acara? Kalikan berapa jumlah acara yang dibuat. Apakah itu kira-kira akan menolong saudara dan keluarga kita yang di dalam kubur?”
Yang mudah, ringkas, sederhana, dan yang sewaktu dengannya in syaa Allah jauh lebih selamat. Karena itulah keberkahan Islam. Kalau yang sesuai syariat itu justru jauh lebih mudah (dan malah berpahala), mengapa kita malah memilih yang ribet dan memberatkan?
Ibu, kepergianmu diiringi begitu banyaknya hikmah yang Allah berikan. Salah satunya ukhuwah sunnah yang indah. Dalam hujan airmata, kami menerima penghiburan yang luar biasa. Yang membuat kami sungguh terenyuh hingga tak sanggup berkata-kata. Jazaakumullah khairan saudara dan saudariku. Baarakallahu fiikum. Begitu terasa kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.***