Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Tabrani Rab; ’’Tempias’’ yang Bisa Menjengkelkan, Oleh: UU Hamidy
Foto : Getty Images

Tabrani Rab; ’’Tempias’’ yang Bisa Menjengkelkan, Oleh: UU Hamidy

1. Bayangan Nasib Riau dan Reformasi

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menyampaikan pesan, bahwa siapa yang ingin bahagia di dunia harus dengan ilmu, mau bahagia di akhirat juga dengan ilmu. Bagi orang yang bertakwa, kehidupan di akhirat adalah sebaik-baik kehidupan. Tabrani Rab — yang ayahnya seorang tokoh Muhammadiyah serta mantan mufti Kerajaan Siak Sri Indrapura — tentulah amat menghayati pesan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam itu. Ilmu punya peranan penting dalam kehidupan manusia.

Tentulah dengan dasar ini Tabrani Rab sebagai intelektual muda Riau berhasil meyakinkan Gubernur Riau Arifin Achmad, bahwa jalan satu-satunya untuk memajukan Riau ialah dengan membuka peluang pendidikan seluas-luasnya. Kesadaran ini telah ditandai sebelumnya oleh cendekiawan Riau dengan mendirikan Universitas Riau, yang tokoh kita Tabrani Rab juga terlibat. Maka, Arifin Achmad sebagai anak jati Riau tentu dengan mudah menerima gagasan itu. Kemudian berdirilah Yayasan Dana Mahasiswa Riau (YDMR) pada awal tahun 1970. Tabrani Rab langsung diberi peluang sebagai ketua yang dipercayai untuk memegang teraju yayasan tersebut.

Yayasan Dana Mahasiswa Riau telah berhasil menyediakan asrama untuk mahasiswa Riau yang belajar di Padang, Jakarta, Jogjakarta dan Malang. Di samping itu masih dapat memberikan bantuan kepada mahasiswa untuk menyelesaikan skripsinya dengan segera agar dapat pulang ke Riau untuk berbakti. Hasilnya, cukup banyak mahasiswa Riau yang relatif cepat menyelesaikan studinya. Setelah pulang ke Riau, sebagian menjadi tenaga pengajar pada Universitas Riau yang memang sangat memerlukan ketika itu, di samping ada pula yang bekerja pada kantor Gubernur Riau maupun lembaga lainnya. Inilah langkah awal mulainya anak jati Riau memainkan peranan di daerahnya.

Meskipun demikian, sukses awal YDMR, ternyata tak dapat berjalan panjang. Hal itu paling kurang disebabkan oleh dua perkara. Pertama, gubernur yang menggantikan Arifin Achmad tidak lagi anak jati Riau sehingga perhatian terhadap kepentingan tersebut tidak lagi memadai. Sementara itu, yang kedua, ekonomi Indonesia yang selalu digerogoti oleh korupsi ditambah dengan pukulan inflasi, menyebabkan dana YDMR semakin tidak bernilai. Akhirnya, hanya bertahan asrama mahasiswa yang dikontrak atau sudah dibeli.

Satu di antara keistimewaan lintasan hidup Tabrani Rab ialah bayangan nasib Riau yang dipantulkannya. Tokoh ini telah memainkan peranan yang unik dalam belantara riwayat Riau. Dalam belantara perjalanan nasib Riau itu, Tabrani Rab telah menjadi lambang perlawanan Riau terhadap Jakarta. Karena Riau telah dizalimi hampir sepanjang riwayat republik ini oleh pemerintah pusat.

Setelah Gubernur Riau berpindah tangan dari anak jati Riau Arifin Achmad, maka Riau memasuki masa-masa yang semakin suram. Gubernur yang dipilih harus loyal kepada Orde Baru, patuh setia kepada pemerintah pusat. Maka semua Gubernur Riau setelah itu boleh dikatakan semuanya perpanjangan tangan dari Jakarta. Maka Riau dengan mudah dijadikan sapi perahan serta kuda tunggangan untuk meraup berbagai kekayaan yang berada di Riau, sesuai dengan selera hawa nafsu yang tak kunjung reda.

Sungguhpun begitu, Riau yang pernah punya tradisi cendekiawan, menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya agar harga diri terpelihara, ternyata tidak dapat dilanyau begitu saja terus menerus oleh pemerintah pusat dengan sistem demokrasi yang munafik. Kemuliaan dan kesadaran harga diri tumbuh kembali karena tradisi budaya Melayu yang berpijak kokoh pada agama Islam memang tak pernah akan sejalan dengan watak pemerintah yang zalim. Maka setelah Jakarta dengan sayap Orde Baru mencengkram Riau lebih kurang 15 tahun, dengan tidak disangka-sangka, Riau berani melakukan perlawanan terhadap kezaliman. Peristiwa perlawanan itu telah ditandai oleh Peristiwa 2 September 1985, sebagaimana telah direkam dengan baik oleh buku Tragedi Riau, 2004.

Peristiwa 2 September 1985 telah mendedahkan, dalam pemilihan gubernur, anggota DPRD Riau telah mengalahkan Imam Munandar yang dijagokan Jakarta oleh Ismail Suko anak jati Riau, yang hanya dipasang sebagai calon pendamping alias topeng demokrasi, dengan perbandingan suara 17:19. Namun, meskipun proses pemilihan itu telah disahkan oleh Dirjen PUOD Departemen Dalam Negeri Tojiman Siddik, tapi ironinya ditolak Jakarta. Peristiwa ini mengguncangkan politik nasional. Sebab, kata Ryaas Rasyid, walau peristiwa itu sekecil apapun dalam pemerintahan yang establish dan rigid, bunyi letupannya bisa seperti bom. Dengan peristiwa itu, sesungguhnya Riau telah menanam bibit reformasi yang kelak muncul 1998 memberikan otonomi daerah sekarang ini.

Peristiwa 2 September 1985 telah menjadi riwayat nasib Riau. Dalam peristiwa itu Tabrani merupakan anak jati Riau yang paling berani memberikan dukungannya. Meskipun dia menantang Imam Munandar sebagai alat pemerintah pusat, namun dia juga dapat berkata dengan jujur bahwa Imam Munandar tidak ikut merampok kekayaan Riau. Untuk menyelamatkan Ismail Suko, dia mengusulkan Ismail Suko dibawa ke Singapura, kemudian mencari tempat suaka politik pada salah satu negara Eropa. Namun, Thamrin Nasution sebagai komandan Peristiwa 2 September 1985, meminta Ismail Suko meninggalkan Pekanbaru. Akhirnya Ismail Suko berangkat ke Padang dan terbang ke Jakarta. Operasi penyelamatan itu dipersiapkan, dibantu dan diatur sepenuhnya oleh tokoh kita Tabrani Rab.

Peristiwa 2 September 1985 telah menjadi bukti sejarah, betapa Riau punya keberanian intelektual menantang keangkuhan. Dalam peristiwa itu, Tabrani Rab telah memainkan peranan yang cukup unik. Dikatakan unik, karena dia bukanlah bagian dari 19 anggota DPRD yang memilih Ismail Suko. Tetapi keterlibatannya dalam peristiwa itu malah melebihi anggota Dewan yang memilih Ismail Suko. Dan tidak hanya sebatas itu. Setelah Ismail Suko menjadi tokoh dilematis, Tabrani Rab tatap memainkan peranan berani menantang Jakarta. Keberanian Riau menantang Jakarta telah menyebabkan Orde Baru dengan demokrasi yang munafik, semakin cepat tergelincir sehingga akhirnya terjerembab pada tikungan reformasi.

Setelah reformasi berjalan, Riau sekali lagi membuat kejutan dengan peristiwa yang juga menantang Jakarta. Pemerintah Abdurrahman Wahid memberi kesempatan kepada rakyat Riau untuk menentukan sikap dan pendiriannya. Hasilnya, setelah diadakan penghitungan suara, rakyat Riau memilih opsi merdeka, bukan opsi otonomi khusus. Munculnya opsi merdeka itu tak dapat dilepaskan dari keberanian Tabrani Rab menantang Jakarta. Tak heran, jika dia diperiksa oleh unsur Polda, Kejakti dan Dit Sosopol Riau yang tentu sebagai taktik agar tokoh ini mengendurkan ‘serangannya’.

Sebenarnya, opsi merdeka yang muncul dalam Kongres Rakyat Riau semasa pemerintahan Gus Dur itu harus dibaca paling kurang dua arah. Pertama, sebagai manifestasi perlawanan intelektual dari pihak Riau terhadap Jakarta yang tetap angkuh terhadap Riau. Yang kedua yang agaknya lebih penting, adalah semacam teori tawaran tinggi dari Riau terhadap Jakarta. Tawaran itu memang diyakini tidak akan diterima, sehingga diperhitungkan tentu akan diturunkan kepada tawaran di bawahnya, yakni otonomi khusus. Namun bagaimana kenyataannya? Jakarta dengan sombong tidak menghiraukan aspirasi rakyat Riau serta tidak menawarkan otonomi khusus sama sekali. Pihak Jakarta, melalui lidah Gur Dur, malah kembali meremehkan Riau dengan ucapan ‘’Riau itu tidak ada apa–apanya’’. Begitulah riwayat Riau, tidak pernah dihargai dalam rumah besar yang bernama Indonesia ini. Namun perlawanan intelektual dari Tabrani Rab tak kunjung surut. Dalam setiap kesempatan dia dengan mudah membidas Jakarta sehingga dia mendapat julukan Presiden Riau Merdeka, yang kemudian diralat menjadi Riau Berdaulat.

2. ‘’Tempias’’ yang Bisa Menjengkelkan

Peranan yang dimainkan Tabrani Rab sebagai intelektual yang berani menantang tirani, mendapat tempat yang lapang dengan rubrik ‘’Tempias’’ yang disediakan surat kabar Riau Pos. Sebenarnya, bibit rubrik ‘’Tempias’’ itu telah disemaikan oleh Tabrani Rab paling kurang sejak tahun 1980–an, masa kejayaan Orde Baru, kurang lebih sepuluh tahun sebelum terbitnya Riau Pos. Pada masa itu, Tabrani Rab menyediakan ruang khusus di belakang rumah sakitnya Rab Hospital di Jalan Sudirman Pekanbaru. Di ruang istimewa itu, Tabrani memberi kesempatan kepada intelektual yang kritis berbicara, didengar oleh kalangan terbatas mahasiswa dan intelektual muda Riau. ‘’Tempias’’ menjadi strategis di ujung pena Tabrani Rab. Rubrik ini digunakan untuk arena kritik, peringatan serta gagasan oleh Tabrani Rab.

Tabrani Rab punya perhatian terhadap nasib rakyat Riau. Dengan Lembaga Studi Sosial Budaya Riau yang didirikannya bersama Pak Soeman Hs, dia tampil membela hak ulayat masyarakat terasing. Dia membela suku Sakai mempertahankan hak ulayatnya di Penaso dari rampasan PT ADEI. Hal semacam ini menjadi rangkaian tulisan dalam ’’Tempias’’. Penaso bagi suku Sakai, dipandang Tabrani Rab bagaikan Benteng Alamo punya suku Indian yang dirampas oleh keserakahan kaum kulit putih Amerika Serikat. Karena itu, dengan rubrik ’’Tempias’’ Tabrani Rab telah menjadi tokoh populis, menjadi antitesis terhadap kebijakan pembangunan yang menyengsarakan rakyat jelata.

Bagaimanapun juga, rubrik ‘’Tempias’’ memang diperlukan oleh iklim politik dan tingkah laku budaya masa kini, baik untuk Riau maupun untuk Indonesia. Dengan ‘’Tempias’’ dapat dibuka topeng yang dimainkan oleh seseorang, siapa dia yang sebenarnya. Melalui rubrik ini bisa dikenal akal bulus perusahaan sehingga masyarakat harus hati-hati mendekatinya. Kecepatan Tabrani Rab mengumpulkan data, dokumen serta mencatat peristiwa, telah membuat hujahnya cukup kokoh sehingga hampir tak berani orang menandinginya.

Rubrik ‘’Tempias’’ telah ditampilkan Tabrani Rab dengan berbagai gaya. Mulai dari gaya kiasan atau perlambangan yang disukai oleh orang Melayu, disusul dengan gaya ironi sampai pada sindiran tajam. Maka rubrik ‘’Tempias’’ yang ditampilkan pena Tabrani Rab telah menjadi rubrik yang khas bagi Riau Pos. ‘’Tempias’’ bisa terkesan lebih menyentak dan dinamis. Bisa membuat pembaca merasa puas dan lega di samping juga rasa kesal dan tersinggung. Rubrik ini dapat membuat pembaca bertepuk tangan karena gembira di samping tentu ada yang bersungut atau jengkel.

Rubrik ‘’Tempias’’ oleh pena Tabrani Rab seakan-akan menjadi tempias, yakni air hujan yang terbawa angin ke mana saja. Tak heran jika orang jadi jengkel oleh tempias ketika hujan. Sebab, meskipun sudah pakai payung, tapi masih basah juga oleh tempias. Jangankan baju dan celana bisa basah oleh tempias, tiang rumah pun bisa dibuatnya lapuk.

Begitulah juga, kiasan yang dapat diberikan oleh rubrik ‘’Tempias’’ di ujung pena Tabrani Rab. Bagaimanapun juga orang menyembunyikan tipu dayanya atau kemunafikannya, tapi rupanya dapat juga rupanya dijangkau oleh tempias. Bagaimanapun juga kekuasaan dan kekayaan hendak direbut serta dipertahankan, barangkali bisa lapuk juga oleh rubrik ‘’Tempias’’ Tabrani Rab. ‘’Tempias’’ memang bisa menjengkelkan orang-orang tertentu, bahkan bisa merah telinganya. Tapi jika tak ada ‘’Tempias’’, barangkali serigala akan semakin merajalela menerkam domba yang lengah, tidak berteduh ketika tempias tiba.***

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *